Doktor Baru dan Pendekatan Interdisiplin

Nikmat yang mengalir

Hanya kepada Allah kita bersyukur atas beragam nikmat yang mengalir tak henti diberikan kepada keluarga besar Universitas Islam Indonesia (UII). Ikhtiar dan iringan doa terbaik telah mengantarkan banyak capaian di 2022 ini. Semuanya adalah buat kerja kolektif.

Dari sisi kelembagaan, sejak kemarin, 28 Desember 2022, UII kembali mendapatkan akreditasi institusi Unggul yang berlaku sampai 2027, lima tahun ke depan. Dari 54 program studi yang UII kelola, sebanyak 36 program studi mendapatkan akreditasi A atau Unggul. Ini setara dengan 66,67% dari keseluruhan program studi. Jika enam program studi baru yang berakreditasi minimum tidak diikutkan, persentase yang berakreditasi A atau Unggul bahkan mencapai 75,00%.

Dari sisi kualifikasi dosen, semakin banyak dosen yang berkualifikasi Lektor Kepala atau Profesor. Khusus untuk profesor, saat ini UII mempunyai 29 dosen dengan jabatan akademik profesor. Saat ini, lebih dari 10 pengusulan profesor yang sudah disetujui oleh senat universitas dan sudah dikirim dari UII untuk diproses lebih lanjut oleh negara. Sekali lagi, ini adalah capaikan kolektif yang harus disyukuri.

Cacah dosen UII yang menyelesaikan doktor pun terus bertambah. Dengan memasukkan 18 doktor baru yang kita sambut hari ini, saat ini, sebanyak 31,95% (248 dari 776) dosen UII telah berpendidikan doktor. Persentase ini jauh melampaui rata-rata nasional yang baru mencapai 13,98% (42.825 dari 306.150 dosen).

Rasa syukur kita pun seharusnya semakin bertambah karena di akhir 2022 ini, sebanyak 166 dosen UII sedang menempuh program doktor di berbagai universitas baik dalam maupun luar negeri. Jika semua berjalan lancar, dalam empat tahun ke depan, cacah dosen berpendidikan doktor UII akan mencapai lebih dari separuh (53,35%; 414 dari 776).

Dalam kesempatan baik ini, izinkan saya mengucapkan selamat kepada 18 doktor baru yang telah menyelesaikan studi di 2022. Studi doktoral bukan tanpa tantangan. Memang banyak cerita membahagiakan yang bisa dibagi, tetapi saya yakin semua doktor baru menyimpan sisi menantang yang tidak semuanya nyaman untuk dikisahkan.

 

Studi yang tuntas

Di Amerika Serikat studi terhadap sekitar 50.000 mahasiswa doktoral dari 30 lembaga menemukan bahwa tingkat kesuksesan menyelesaikan studi doktoral bervariasi dari 49% sampai 64% tergantung dengan disiplin (dikutip oleh Young et al. 2019). Studi di konteks Eropa pun menghasilkan temuan serupa. Hanya 54,3% mahasiswa doktoral yang berhasil menyelesaikan misinya (Wollast et al., 2018).

Temuan tersebut berarti paling tidak, satu dari tiga kandidat doktor harus menyerah dan gagal di tengah jalan.

Sayang, data serupa dari Indonesia tidak bisa saya temukan.

Karenanya, dengan kesadaran bahwa tidak setiap yang mempunyai kesempatan studi doktoral bisa tuntas, rasa syukur pun seharusnya semakin bertambah, karena telah ditakdirkan oleh Allah menyelesaikan satu tahapan studi dengan baik, dengan segala cerita yang menyertainya.

Selamat juga saya sampaikan ke keluarga, program studi, jurusan, dan fakultas terkait. Insyaallah, akumulasi kepakaran ini akan menjadi modal penting untuk terus berkembang dan menebar manfaat yang lebih luas.

 

Perspektif dan riset interdisiplin

Izinkan saya pada kesempatan yang sangat membahagiakan ini berbagi sebuah perspektif yang mudah-mudahan bisa memicu diskusi lanjutan yang lebih produktif.

Saya yakin kita akan mudah bersepakat jika masalah yang dihadapi umat manusia semakin kompleks. Semakin banyak variabel yang terlibat dengan skala yang sangat bervariasi.

Kompleksitas masalah ini membutuhkan pendekatan baru dalam menyelesaikannya. Salah satunya adalah dengan melibatkan beragam kepakaran terkait untuk mendesain solusi yang efektif.

Dalam bahasa konsep, ini disebut dengan pendekatan interdisiplin. Pendekatan ini tidak hanya didasarkan pada keragaman disiplin yang terlibat (yang disebut sampai tingkat multidisiplin), tetapi mengharuskan ada irisan antardisiplin.

Paling tidak terdapat tiga argumen untuk menguatkan. Pertama, masalah yang kompleks tidak bisa dipecahkan disiplin tunggal. Kedua, penemuan dan kemajuan dalam riset lebih sering terjadi di perbatasan antardisiplin. Ketiga, interaksi antarperiset interdisiplin akan bermanfaat untuk memperluas perspektif dan memperjauh horizon.

Data yang dilaporkan oleh majalah sains terkemuka Nature (van Noorden, 2015), berdasarkan 35 juta artikel dari 14 disiplin dan 143 keahlian, mengindikasikan bahwa sejak pertengan 1980an terjadi kecenderungan peningkatkan cacah publikasi interdisiplin. Indikasinya adalah sitasi terhadap literatur di luar disiplin. Temuan tersebut valid, baik di bidang sains alam maupun sains sosial. Data yang disajikan menunjukkan bahwa sepertiga referensi artikel ilmiah berisi literatur dari disiplin lain (Ledford, 2015).

Apakah riset interdisiplin juga mendapatkan tanggapan baik?

Data menunjukkan bahwa publikasi interdisiplin memerlukan waktu yang cukup untuk menunjukkan relevansi dan menjadikannya disitasi. Temuan menyarankan untuk lebih berfokus pada riset interdisiplin yang tidak terlalu banyak disiplin terkait, dibandingkan yang melibatkan terlalu banyak disiplin yang saling berjauhan.

Analisis juga menemukan bahwa kecenderungan riset interdisiplin berbeda antara satu negara dengan yang lainnya. Berdasar artikel yang dipublikasikan oleh Elsevier, India adalah negara yang paling banyak menghasilkan riset interdisiplin, disusul oleh China, Taiwan, Korea Selatan, Brazil, Italia, dan Amerika Serikat (van Noorden, 2015).

Bagaimana di Indonesia?

Tidak ada data yang bisa diakses untuk memberikan gambaran besar. Namun ada banyak kisah yang tidak selalu membahagiakan terkait dengan riset interdisiplin di Indonesia. Salah satunya adalah soal pengakuan komunitas.

Meski pesan riset interdisiplin sering kita dengar, namun ketika terjadi di lapangan dan didokumentasikan dalam publikasi, sering kali ada “sengketa” terkait dengan relevansi disiplin dan bahkan soal pengakuan kelayakan menjadi syarat dalam kenaikan kewenangan akademik. Ini adalah pekerjaan rumah bagi kita, untuk mengedukasi diri kita sendiri.

Setiap kali ada masalah “sengketa disiplin”, saya teringat kisah ketika mengambil mata kuliah intensif di Universitas Malmo, Swedia pada Mei 2012 tentang manajemen publik. Seorang pengajar yang berlatar belakang yang lebih dekat dengan ilmu politik menceritakan dengan mata berbinar dan bahagia ketika artikelnya tentang pengelolaan sampah diterima di jurnal bereputasi dengan cakupan di bidang teknik. Bagi dia, hal itu adalah sebuah tantangan untuk membingkai riset dan menyajikannya dengan tepat sehingga diterima oleh komunitas disiplin lain.

Memang ada argumen lain yang kurang setuju. Alasannya termasuk bahwa riset interdisiplin akan membocorkan waktu, dana, dan juga sumber daya lain (Duerr & Herkommer, 2019).

Pada kesempatan ini, saya mengajak semua doktor baru untuk merenungkan bagaimana perspektif dan riset interdisiplin bisa dijalankan dengan baik dan produktif.

 

Referensi

Duerr, F., & Herkommer, A. (2019). Why does interdisciplinary research matter? Advanced Optical Technologies, 8(2), 103–104

Ledford, H. (2015). How to solve the world’s biggest problems. Nature525, 308-311.

Young, S. N., VanWye, W. R., Schafer, M. A., Robertson, T. A., & Poore, A. V. (2019). Factors affecting PhD student success. International Journal of Exercise Science12(1), 34.

van Noorden, R. (2015). Interdisciplinary research by the numbers. Nature525, 306-307.

Wollast, R., Boudrenghien, G., Van der Linden, N., Galand, B., Roland, N., Devos, C., De Clercq, M., Klein, O., Azzi, A. and Frenay, M. (2018). Who are the doctoral students who drop out? Factors associated with the rate of doctoral degree completion in universities. International Journal of Higher Education7(4), 143-156.

Sambutan dalam penyambutan 18 doktor baru Universitas Islam Indonesia pada 29 Desember 2022.