,

Eksaminasi Publik Putusan MK atas UU KPK

Pusat Studi Hukum (PSH) Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (FH UII) menyelenggarakan webinar bertajuk “Eksaminasi Publik Putusan MK Atas UU KPK” pada Sabtu (31/7) secara virtual. Webinar menghadirkan narasumber Guru Besar HTN Fakultas Hukum UII, Prof. Dr. Ni’matul Huda, S.H., M.Hum., Guru Besar Sejarah dan Peradaban Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Prof. Dr. AzyumardiAzra, M.A. dan Pimpinan KPK Periode 2011-2015, Dr. Bambang Widjojanto, S.H., M.Sc.

Sementara eksaminator diantaranya Prof. Susi Dwi Harijanti, S.H., LL.M., Ph.D. (FH Universitas Padjajaran), Bivitri Susanti, S.H., LL.M. (FH STIH Jentera), Iwan Satriawan, S.H., MCL., Ph.D. (FH UMY), Dr. Ridwan, S.H., M.Hum (FH UII), Dr. Trisno Rahardjo, S.H., M.Hum (FH UMY), Dr. W. Riawan Tjandra, S.H., M.Hum. (FH Universitas Atmajaya Yogyakarta), dan Dr. Zainal Arifin Mochtar, S.H., LL.M (Fakultas Hukum UGM).

Rektor UII, Prof. Fathul Wahid, ST., M.Sc., Ph.D. dalam sambutannya mengemukakan pemberantasan korupsi masih memerlukan waktu panjang untuk musnah dari bumi Indonesia. Mengutip data yang dikumpulkan oleh Indonesia Corruption Watch (ICW) pada semester pertama 2020. Dari 393 terdakwa kasus korupsi yang terdeteksi umurnya, sebanyak 14 orang di antaranya bahkan berusia di bawah 30 tahun. Data dari Mahkamah Agung (MA) sampai 18 September 2020 juga menguatkan temuan ICW. Dari 1.951 kasus korupsi di Indonesia, pelaku 553 (28,3%) kasus berusia antara 30-39 tahun.

Disampaikan Prof. Fathul, belum lagi permohonan uji formil atas UU KPK yang ditolak oleh MK, hingga saat ini masih belum ditemukan alasan yang jelas dan masuk akal untuk menerima argumen yang dibangun oleh MK atas penolakannya terhadap pengujian formil maupu materil UU KPK. Prof. Fathul berharap melalui webinar eksaminasi yang digelar dapat menemukan jawaban yang lebih lugas terkait putusan MK ini.

Prof. Susi sebagai ekasaminator mengatakan prosedur merupakan hal yang sangat penting dalam berbagai penyelenggaraan negara dan pemerintahan. Jika hal ini sudah dilakukan, maka hal yang penting selanjutnya adalah pengujian formil. Hal ini perlu dilakukan karena, dalam setiap taha prosedur dalam penyelenggaran negara dan pemerintahan senantiasa harus menjunjung tinggi keadilan prosedural yang akan mempengaruhi kualitas treatment (tindakan) dan kualitas decision making (pengambilan keputusan) pembentuk undang-undang. Dalam pelaksanaanya, penyelenggaraan negara itu sangat erat kaitannya dengan menghormati, netralitas, kepercayaan, dan suara yaitu suara-suara yang menunjukkan keberatan atau ketidak-setujuan dalam pembentukan suatu UU.

Menurut Prof. Susi, MK telah gagal melakukan pemenuhan keadilan prosedural, hal ini didasarkan pada tigal hal. Pertama, penggunaan batu uji. MK sangat lemah dalam menggunakan nilai-nilai konstitusi, prinsip-prinsip dasar, dan aturan-aturan konstitusi serta nilai etik untuk menilai prosedur pembentukan UU. Contohnya, MK tidak dapat memberikan argumentasi yang jelas kaitannya dengan persetujuan bersama antara Presiden dan DPR dengan tanpa pengesahan dari Presiden, seperti yang terjadi dalam UU KPK ini. Kemudian, MK juga tidak menyinggung kedudukan anggota DPR yang membahas tentang UU KPK ini, tidak semuanya termasuk anggota DPR yang terpilih untuk periode selanjutnya.

Kedua, penilaian alat bukti. Terkait argumentasi MK terhadap demonstrasi yang dilakukan oleh masyarakat Indonesia, seharusnya MK bisa menetapkan beban pembuktian uji formil ini kepada para pembuat UU, untuk membuktikan bahwa benar UU yang telah dibentuk adalah UU yang berkualitas. Ketiga, makna asas-asas pembentukan UU. Dalam hal ini, pendekatan yang dilakukan oleh MK sangat bersifat formalistik. MK lebih menggunakan pendekatan sebagai perancang daripada pendekatan sebagai seorang hakim.

“Dua kelemahan putusan MK, yaitu gagal memperlihatkan argumentasi dalam hal teori, asas, prinsip, dan hukum, karena sangat bersifat formalistik, dan kelemahan pembuktian, karena para hakim sebagian besar hanya cenderung menanggapi alasan-alasan pemohon, namun tidak menjawab pertanyaan pemohon,” ujar Prof. Fathul.

Selanjutnya Bivitri menyampaikan, adanya ketidak-adilan dalam hal pembuktian dalam putusan ini. Hakim sebelumnya telah meminta bukti kepada DPR terkait pembentukan UU ini, dalam bentuk video, dll. Namun, ternyata DPR tidak dapat memberikannya. Dalam hal ini, ketidakmampuan hakim untuk menghadirkan bukti itu malah dijadikan alasan untuk MK mengatakan bahwa ‘tidak cukup alasan bahwa benar ketidakhadiran fisik itu telah terjadi pada saat ketok palu UU KPK’. Menurut Bivitri, penting perlu adanya unsur beban pembuktian dalam prosedur formil pembentukan UU.

Bivitri juga mengungkapkan adanya penalaran hukum yang tidak wajar dalam pembentukan UU KPK ini, diantaranya yaitu: 1) Proses perencanaan yang dipaksakan, dan tidak dimaknai sebagai sebuah cacat formil oleh hakim, 2) Naskah akademik yang fiktif dan hanya dimaknai sesuai dengan KBBI, 3) Seminar dan diskusi yang tidak dilakukan dalam rangka pembahasan, dan justru itu yang dimaknai oleh MK sebagai sebuah pembahasan, 4) Hakim gagal meminta DPR untuk menghadirkan bukti, yang malah kemudian dijadikan dasar oleh hakim untuk menolak gugatan pengujian, 5) Demonstrasi dan penolakan yang demikian besar, tidak dianggap oleh hakim sebagai suatu bentuk penolakan terhadap UU KPK ini, dan 6) Argumen asas kejelasan tujuan, yang diambil oleh hakim justru berasal dari penjelasan UU.

“Menurut saya, MK ini gagal menghadirkan penalaran hukum yang wajar dalam konteks putusan MK No 70 maupun No 79 mengenai UU KPK ini,” ujarnya.

Eksaminator berikutnya, Zainal Arifin mengatakan adanya kesepakatan hakim yang sudah menolak secara formil, tidak boleh masuk ke materil. Karena seharusnya, dissenting opinion yang disampaikan oleh Wahiduddin Adams pada putusan MK No 79 juga ada dalam dissenting ipinion dalam putusan MK No 70. Kemudian, dalam hal ketidaksediaan Presiden untuk menandatangani pengesahan UU KPK ini, seharusnya perlu menjadi pertimbangan hakim dalam membuat keputusan. Zainal juga menyampaikan terkait SP3 ini seharusnya tidak perlu ada dalam KPK, karena KPK dalam memperkarakan seseorang.

“Saya merasa putusan ini adalah satu putusan dengan dua kematian. Putusan ini sebenarnya membutuh KPK dan membunuh MK sendiri dengan memperlihatkan moralitas konstitusional di MK itu sebenarnya mati,” ujarnya.

Selanjutnya, Riawan Tjandra mengatakan, dalam putusan MK ini tidak memberikan limitasi status kepegawaian KPK. Menurutnya, intervensi terhadap eksekutif asendesn dalam lembaga KPK dapat dicegah. Sehingga dalam hal ini, menurutnya Putusan MK No 70 ini gagal untuk melihat secara utuh apa yang seharusnya diterapkan oleh lembaga, contohnya, KPK yang diawalnya merupakan lembaga independen, saat ini malah ditetapkan sebagai rumpun lembaga eksekutif. Maka, dengan adanya putusan ini MK ini telah menunjukkan kegagalan marwah MK untuk menjaga independensi KPK.

Sementara itu, Trisno selaku eksaminator menyampaikan terkait penerapan SP3 seharusnya tidak ditetapkan. Dalam hal ini MK tidak memberikan penjelasan yang cukup, terkait pembatasan, pelaku tipikor yang berada di luar negeri, dll. Harus dipertimbangkan secara sungguh-sungguh oleh KPK terkait kewenangannya membeikan SP3 ini. Kemudian, menurutnya, kewenangan KPK ini sudah sangat lemah. Seharusnya, kalo pemerintah hendak memperkuat KPK, maka kejaksaan dan kepolisian tidak perlu diberi kewenangan penyelidikan dalam kasus korupsi. Sehingga, kalau memang KPK memerlukan bantuan tenaga yang besar untuk menindak korupsi yang terjadi di seluruh wilayah Indonesia, maka perlu dibangun struktur KPK yang kuat, dan dibentuk tenaga-tenaga pembantu KPK yang bisa ditempatkan di berbagai wilayah Indonesia.

Prof. Ni’matul Huda sebagai pemateri webinar menyampaikan terkait putusan MK No 70 ini memang ada ketidakseimbangan dalam penyampaian dissenting opinion hakim MK, karena seharusnya ketika ada dissenting opinion di putusan MK No 70, maka ada juga dissenting opinion MK No 79, karena kedua putusan itu saling berkaitan. Menurutnya, adanya karpet merah yang diberikan kepada MK, bisa jadi dapat berpengaruh pada mandulnya putusan MK. Jika melihat pada Presiden, kerap kali kebijakannya itu terjerat dengan adanya kepentingan politik antar partai. Sehingga, apabila pemerintah saat ini menghendaki KPK itu lemah, maka yang dapat dilakukan masyarakat yang masih memiliki semangat yang panjang ini adalah bersama-sama untuk menguatkan KPK.

Iwan Satriawan dalam pemaparannya mengatakan ada public distrust kepada lembaga negara, yakni KPK, MK, dan juga Presiden. Hal ini dikarenakan adanya oligarkhi dan kepentingan politik yang senantiasa mempengaruhi kebijakan-kebijakan lembaga negara di negara ini. Seandainya, lembaga negara dapat tegak lurus menjaga prinsipnya dari berbagai kepentingan politik, masih bisa dimungkinkan untuk tetap baik. Menurutnya, setelah 10-15 tahun pasca reformasi ini dirasa semakin mundur. Hal ini karenakan oligarkhi bisa mengkonsolidasikan dirinya dengan baik, sedangkan civil society saat ini tidak dapat mengkonsolidasikan dirinya dengan baik.

Kaitannya dengan putusan MK, menurut Iwan Satriawan putusan MK ini tidak dapat membongkar sampai ke akarnya, contohnya dalam hal penempatan MK di cabang kekuasaan eksekutif. MK juga tidak tegas dalam penetapan terkait Pasal 37E ayat (1) yang menjadi pintu masuk awal masuknya intervensi Presiden kepada KPK. MK hanya menyinggung, namun tidak menjelaskan secara jelas atau bahkan membatalkan pasal ini. Menurutnya, untuk ke depan, perlu adanya konsep ulang terkait Dewan Pengawas dan sistem check and balances terhadap KPK. Selain itu, Iwan menambahkan,

“Kekuasaan negara akan menjadi kuat jika civil society-nya lemah, namun kekuasaan negara atau rezim otoritarian tidak akan menjadi kuat jika civil society-nya kuat,” ujarnya.

Ridwan yang juga sebagai eksaminator mengatakan, adanya perubahan redaksi yang berimplikasi pada pindahnya kedudukan KPK di bawah rumpun eksekutif akan mengakibatkan fungsi dari KPK itu tidak dapat berjalan dengan baik. Hal ini dikarenakan, fungsi ASN memiliki fungsi khusus yaitu: fungsi melaksanakan kebijakan publik, pelayan publik, dan perekat dan pemersatu banga. Jika tiga fungsi tersebut diterapkan pada fungsi KPK terkait penyidikan, penyelidikan, dan penuntutan yang dilakukan oleh KPK tentu tidak akan relevan. Selain itu, pengangkatan ASN itu melalui instrumen yang berupa keputusan yang hubungannya itu bersifat dinas publik, yang berimplikasi adanya monoloyalitas terhadap pejabat yang mengangkatnya.

Lebih lanjut dijelaskan Ridwan, ASN dalam melaksanakan tugasnya akan terikat pada institusi fungsi pemerintahan yang lain. Sehingga dalam pelaksanaan tugasnya ASN ini tidak bisa mandiri. ASN juga memiliki keterikatan erat dengan komisi ASN, lembaga negara, dan BKN yang bertugas untuk mengelola dan mengatur kinerja ASN. Sehingga, menurut Ridwan, adanya frasa “di bawah rumpun kekuasaan eksekutif” dalam UU KPK ini, Presiden sebagai pimpinan kekuasaan eksekutif dapat dengan mudah mengendalikan KPK sebagai ASN ini dan akan menyebabkan KPK tidak dapat bertindak independen.

Narasumber lainnya, Azyumardi Azra menyampaikan jika melihat pada pengesahan UU KPK ini ada persekongkolan antara Presiden dengan DPR dan juga MK dalam penetapan UU KPK hingga penetapan putusan MK. Mulai dari adanya pelanggaran dalam pembentukan formil hingga materil UU KPK ini merupakan salah satu bentuk dari penyimpangan amanat reformasi. Menurutnya, jika Presiden memang memiliki iktikad baik, maka seharusnya presiden dapat meengambil alih masalah ini untuk menghentikan kegaduhan yang terjadi di bawah kewenangannnya, yaitu KPK dan BKN.

Terakhir, Bambang Widjajanto selaku narasumber menyampaikan setidaknya ada tiga hal yang dapat dipahami dari putusan MK ini, yaitu MK telah menggali otensitasnya sebagai OASE dalam penanganan soal konstitusional, Putusan MK telah melanggar asas penyelenggaraan kekuasaan kehakiman, dan MK telah melakukan pelanggaran terhadap tujuan pembentukan Mahkamah Konstitusi.

Menurutnya, pembentukan UU harus sesuai dengan kehendak rakyat dan cita-cita demokrasi, namun dalam perubahan UU KPK ini, telah menyimpang dari cita-cita demokrasi dan tidak sesuai dengan kehendak rakyat. Sehingga, dalam hal ini, MK telah melanggar tujuan dari pembentukan Mahkamah Konstitusi itu sendiri sebagai pengawal konstitusi, yang seharusnya bertugas untuk menjaga dan mengawal UU agar senantiasa sesuai dengan cita-cita demokrasi dan kehendak rakyat, bukan malah sebaliknya. (EDN/RS)