Eskalasi Kasus Akibat Varian Delta

Forum Diskusi Strategi dan Karya (FODISKA) bersama Fakultas Kedoteran Universitas Islam Indonesia (FK UII) menggelar webinar dengan mengangkat tema “Eskalasi Perkembangan dan Penularan Virus: Penangan dan Efektivitas Vaksin” pada Sabtu, (24/7).

“Orang yang merokok, hipertensi, dan asma memiliki risiko mendapatkan gejala Covid-19 yang lebih berat dikarenakan memiliki reseptor untuk virus yang bernama TMPRSS2 lebih banyak,” cetus dr. Gunadi, Ph.D, Sp. BA seorang dosen peneliti FK-KMK Universitas Gadjah Mada (UGM).

dr. Gunadi menyampaikan bahwa jumlah reseptor tersebut juga akan lebih banyak didapati pada orang lanjut usia, itulah mengapa lansia yang terinfeksi Covid-19 biasanya akan memiliki gejala yang lebih berat bahkan memiliki risiko kematian lebih tinggi

Mengikuti perkembangan varian baru Covid-19, salah satunya varian delta yang kini membuat Indonesia mengalami eskalasi (kenaikan) kasus, ternyata data di lapangan menunjukkan lebih banyak menyerang anak-anak daripada dewasa. ”Hal tersebut membuat kita harus meneliti lebih jauh lagi terhadap varian baru,” tambahnya.

Eskalasi Covid-19 di Indonesia pertama tinggi di tiga kota yaitu, DKI Jakarta, Kudus, dan Bangkalan yang diduga dikarenakan varian delta. dr. Gunadi menjelaskan ada tiga hal yang harus diwaspadai terhadap munculnya varian baru. Hal tersebut adalah penyebarannya yang cepat, pengaruh terhadap vaksin, dan apakah memberi tingkat keparahan yang tinggi.

Selanjutnya, Iqbal RF Elyazar, BSc, MPH, DPhil seorang Deputy Head Unit Dan Biostatistician Eijkman Institute menegaskan jika Indonesia saat ini belum menang melawan pandemi karena angka kasus yang dilaporkan jauh lebih rendah dari kasus nyata di lapangan. Jumlah aslinya bisa 3-5 kali jauh lebih besar, begitu juga angka kematian yang dilaporkan.

Iqbal juga menyampaikan mengenai lonjakan kasus kematian selama proses isolasi mandiri dikarenakan minimnya fasilitas dan pemantauan kesehatan yang didapatkan. Contohnya seperti berkurangnya tenaga kesehatan dan juga tabung oksigen yang jumlahnya terbatas. “Pada 24 Juli kematian selama isolasi mandiri sebanyak 2641 pasien,” jelasnya.

Iqbal menyampaikan jika kasus Covid-19 akan terus berlarut-larut, jika pemerintah tidak menerapkan regulasi yang jelas serta tegas. Memang kebijakan di Indonesia masih sangatlah lemah jika melihat kebijakan di luar negeri yang akan mendenda orang yang tidak memakai masker. Juga ditambah PPKM mikro yang ternyata tidak mampu membatasi pergerakan serta kerumunan orang.

Pada akhir sesi webinar, dr. Said Baraba, Sp.PD, FINASIM seorang relawan Covid-19 di RS UI Harapan Tegal membagikan pengalamannya dalam penanganan klinis Covid-19 khususnya di Kota Tegal.

“Kota kami termasuk kota yang memiliki manajemen penanganan pandemi yang baik. Hal tersebut membuat angka kesembuhan tinggi yaitu 77.96% dan angka kematian cukup rendah sekitar 5.86%,” paparnya.

dr. Said Baraba menambahkan jika menurut angka statistik, saat ini Tegal termasuk memiliki kasus yang tinggi dibandingkan saat gelombang pandemi pada Desember 2019 lalu. Ia berpesan jika dibutuhkan peran besar kerjasama antar Pemda dan tenaga kesehatan untuk terus menekan angka kasus dan Indonesia bisa bangkit lagi. (UAH/RS)