FH UII Gelar Eksaminasi Publik Pasca Putusan MK Pemilu Presiden

Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (FH UII bekerjasama dengan Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Daerah Istimewa Yogyakarta (APHTN-HAN DIY) menggelar Eksaminasi Publik dengan mengangkat topik Putusan Mahkamah Kontitusi (MK) Tentang Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (Pemilu) Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2024 pada Sabtu (4/5), di Ruang Mini Auditorium Lantai 4 Gedung FH UII dan via zoom meeting.

Hadir narasumber dalam kegiatan ini Prof. Dr. Ni’matul Huda, S.H., M.Hum (Ahli Konstitusi FH UII), Prof. Susi Dwi Harijanti, S.H.,M.Hum. (Ahli Hukum Tata Negara Universitas Padjajaran Bandung), Dr. Mudzakkir, S.H., M.H. (Ahli Hukum Pidana FH UII), Dr. Hamdani, M.M., M.Si, Ak. (Ahli Keuangan Negara dan Daerah Universitas Andalas), dan Abdul Gaffar Karim, Ph.D. (Ahli Politik dan Pemerintahan Universitas Gadjah Mada).

Jalannya eksaminasi publik didahului dengan penyampaian sambutan dari Wakil Dekan Bidang Sumber Daya FH UII, Dr. Sri Hastuti Puspitasari, S.H., M.H. Menurutnya, topik yang diangkat masih hangat meskipun putusan MK sudah final.

“Topik yang diangkat ini sebenarnya sedang hangat, walaupun putusan MK sudah final, tetapi dengan eksaminasi publik ini putusan tersebut masih bisa kita debatkan, diskusikan, dan kita kritisi dari berbagai sudut pandang,” tuturnya.

Mudah-mudahan kegiatan ini dapat berjalan dengan lancar dan kita semua mendapatkan manfaat. Selamat mengikuti eksaminasi publik ini dengan penuh semangat dan perhatian yang serius terhadap materi yang diberikan oleh para pakar,” harap Dr. Sri Hastuti.

Diskusi dimulai dari pemaparan Prof. Ni’matul Huda terkait perlunya memahami konstitusi dilihat dari lintas bidang ilmu, tidak hanya pada bidang hukum.

“Konstitusi tidak hanya tentang hukum, disitu ada sosial, politik, ekonomi, sehingga tidak bisa dimonopoli oleh bidang hukum saja. Ketika pilpres tidak semata-mata perdebatan hukum tetapi ada perdebatan ekonomi, etika, penyelenggaran negara dan lain sebagainya sehingga tidak bisa dilihat secara komprehensif dengan hanya berpedoman pada bidang hukum.” paparnya.
Lebih lanjut Prof. Ni’matul Huda menyinggung terkait dengan penyelenggaraan etika. “Tidak semua hal bisa diformalkan dengan aturan hukum, maka ada nilai-nilai etika yang mana hukum dan etika sama-sama dapat dipatuhi. Apabila sesuatu yang sudah menjadi etika lalu dibuat hukumnya, putusan hukumnya tidak terlalu menarik dan sedikit agar merepotkan dalam penyelenggaraan negara,” tambah Prof. Ni’matul.

Senada dengan Prof. Ni’matul Huda, Prof. Susi menjelaskan tantangan MK dan perlunya kapasitas hakim dalam mengadili perkara konstitusi. “Mahkamah Kontitusi sebagai peradilan konstitusi akan menghadapi tantangan yang sangat besar karena mengadili konstitusi tidak hanya dengan pandangan juridical tetapi ada pandangan non-juridical yang juga akan berpengaruh, sehingga kapasitas hakim menjadi penentu,” tutur Prof. Susi.

Berbeda dari bahasan dua pakar sebelumnya, Abdul Gaffar Karim, Ph.D memaparkan sisi dari studi politik mengenai pengelolaan perselisihan pemilu pada persidangan MK beberapa waktu lalu. Persidangan MK ini memegang fungsi penting yang mencegah dan mengatasi perselisihan politik pasca pemilu terlepas dari hasilnya.

“Proses dialog dan komunikasi yang sangat kaya terjadi di persidangan MK sehingga saluran komunikasi lancar. Masyarakat merasa persidangan MK membuktikan bahwa kita masih memercayai upaya penegakan hukum di Indonesia. Ribuan halaman laporan yang dilaporkan dalam persidangan dan banyak pihak seperti tim sukses serta saksi ahli yang buka-bukaan merupakan cerminan dari transparansi dan akuntabilitas,” jelasnya.

Lebih lanjut disampaikan Abdul Gaffar Karim, MK adalah harapan orang ketika pihak-pihak yang bertikai dan penyelenggara pemilu tidak netral, yang mampu melakukan mediasi dan menciptakan resolusi konflik. Dalam proses inklusif pun semua orang terlibat, banyak ahli tentunya ahli hukum, semua universitas, bidang sosiologi politik juga angkat bicara, dan kesaksian-kesaksian juga didengarkan.

“Setidaknya 5 dari 7 proses pengelolaan perselisihan pemilu sengaja atau tidak sengaja tercakup di persidangan MK yang berimplikasi dengan meredamnya suhu pemilu di Indonesia,” terang Abdul Gaffar, Ph.D.

Lebih lanjut, Dr. Mudzakkir memaparkan terkait analisisnya takan penyelenggaraan pemilu. Menurutnya eksaminasi publik bertujuan untuk mengawasi baik produk-produk hukum yang dihasilkan maupun proses hukum yang dilakukan oleh aparat dan praktisi yang berupaya memastikan transparansi, akuntabilitas, dan kepatuhan terhadap prinsip-prinsip hukum yang berlaku.

Menurut Dr. Mudzakkir, pilihan metode atau cara perhitungan suara hasil pemilu masih menjadi perselisihan dengan perubahan secara tiba-tiba dari sistem sirekam menjadi manual. Selanjutnya adanya campur tangan atau penyalahgunaan wewenang dari lembaga lain baikperseorangan maupun institusi) yang mampu memengaruhi perolehan suara baik secara langsung atau tidak langsung.

“Hal tersebut menjadi akar dari pelanggaran hukum dan pelanggaran hukum pidana yang menyertai penyelenggaraan pemilu,” jelas Dr. Mudzakkir

Dr. Mudzakkir juga memberikan evaluasinya terhadap hasil pemungutan suara. “Evaluasi untuk pengumumkan hasil pemungutan suara harusnya dimulai dari kabupaten (disiarkan secara lokal) dan selanjutnya diproses oleh provinsi hingga pusat. Dengan demikian, mampu mengontrol dan meminimalisir perselisihan hasil perhitungan yang dilakukan oleh KPU denga hasil perhitungan yang dilakukan oleh peserta pemilu,” tambah Dr. Mudzakkir

Sementara itu Dr. Hamdani dalam paparannya menjelaskan pandangannya terhadap bantuan sosial saat pemilu. Menurutnya terdapat beberapa pelanggaran dan penyalahgunaan terkait pengadaan bantuan sosial dalam regulasi belanja APBN. Dalam Perpres Nomor 125 Tahun 2022 tentang Penyelenggaraan Cadangan Pangan Pemerintah (CPP) Pasal 11 adanya bantuan sosial seharusnnya hanya dalam situasi kekurangan pangan, gejolak harga pangan, bencana alam, bencana sosial, dan keadaan darurat.

“Terdapat kesalahan mengapa bantuan pangan diambil dari anggaran belanja lain-lain yang dimana dalam aturannya anggaran belanja lain-lain tidak diperuntukan untuk belanja bantuan pangan. Keberadaan cadangan pangan juga tidak diperuntukan untuk bantuan sosial tetapi murni untuk operasi pasar jikapun boleh hanya saat adanya bencana sosial dan bencana alam,” jelas Dr. Hamdani.

Eksaminasi publik ini diakhiri dengan diskusi tanya jawab yang interaktif melibatkan para pakar, mahasiswa, dosen, dan tamu undangan. (AHR/RS)