,

Genosida Terus Berlangsung, Masyarakat Sipil Harus Kuatkan Dukungan untuk Palestina

Situasi di Gaza kian mengkhawatirkan seiring dengan tindakan Israel yang terus melakukan serangan udara, terutama di Rafah dan di daerah pusat Gaza. Penutupan perbatasan Rafah semakin menyulitkan warga Palestina dan memperburuk krisis kemanusiaan. Perkembangan mutakhir tersebut mendorong semua pihak untuk berpikir dan bertindak lebih nyata agar warga Palestina terlindungi dan eskalasi segera terhenti.

Merespons hal ini, Program Studi Hubungan Internasional UII (PSHI UII) bekerja sama dengan The Indonesian Islamic Studies and International Relations Association (INSIERA) menyelenggarakan temu wicara daring bertajuk IR UII In Conversation: Palestine Update pada Rabu (8/5) malam, guna menyediakan ruang diskusi publik sekaligus sebagai bentuk dukungan PSHI UII terhadap masyarakat Palestina yang menjadi korban kekejaman dan genosida Israel. Hak veto dan jalan berliku menuju perdamaian

Jalannya temu wicara dimoderatori oleh Hangga Fathana, M.A., Sekretaris Eksekutif UII sekaligus dosen PSHI UII, serta diisi oleh 8 panelis yang merupakan dosen PSHI UII untuk menyuarakan pernyataan dan sikap dari beragam perspektif. Hasbi Aswar, Ph.D., sebagai Kepala Laboratorium Analisis Data Ilmu Sosial PSHI UII, membuka sesi dengan menegaskan bahwa hak veto menjadi faktor kunci dari gagalnya proses deeskalasi konflik di Palestina. “Adanya hak veto membuat PBB tidak efektif karena upaya eskalasi jadi sulit dilakukan,” jelas Hasbi.

Sementara itu, Farhan Abdul Majiid, M.A., menyoroti bahwa isu Palestina bukan hanya sekedar berbicara mengenai Gaza, namun umat Muslim terutama tidak boleh melupakan Al-Aqsa. Ia menyampaikan, “kita perlu terus mendorong dan terus memiliki prinsip atau nilai, termasuk keyakinan bahwa penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, tidak hanya di Gaza saja.”

Panelis ketiga, Rizki Dian Nursita, M.HI., Kepala Laboratorium Inovasi Global PSHI UII, menegaskan bahwa jelas yang terjadi di Palestina merupakan genosida. Dosen yang akrab disapa Dian ini juga membahas bagaimana media memiliki peran besar dalam menyoroti isu Palestina dan memberikan informasi mengenai apa yang terjadi di Palestina kepada dunia. “Perlindungan terhadap media itu penting, sehingga kita bisa tahu, dan dunia harus tahu apa yang terjadi dengan Palestina,” tegas Dian.

Gustri Eni Putri, M.A, Direktur Institute of Global and Strategic Studies (IGSS) PSHI UII, sebagai panelis keempat juga menegaskan pentingnya media untuk menyuarakan ketidakadilan dan genosida yang terjadi di Palestina. Dosen yang biasa disapa Een ini juga menyampaikan, “jika kita mengharapkan PBB akan sulit karena ada standar ganda di sana, maka kita harus terus menyuarakan pembelaan kita terhadap Palestina, sehingga perhatian dunia internasional terus terarah kepada genosida ini.”

Perspektif alternatif dan penguatan peran masyarakat sipil

Sementara itu, Khairul Munzilin, M.A., sebagai panelis kelima memberikan perspektif teori klasik dalam hubungan internasional, dalam menjelaskan sikap negara-negara kuat seperti Amerika Serikat. “Yang dilakukan Amerika sangat Realis meskipun negara ini terus mempromosikan ide-ide Liberalisme seperti demokrasi dan hak asasi manusia. Sangat pesimis untuk berharap Amerika dapat membantu penyelesaian konflik di Palestina. Justru, dengan turut sertanya Amerika pada sebuah genosida, dapat menyulitkan upaya penghentian tragedi tersebut.” Tegas Khairul.

Panelis keenam, Mohamad Rezky Utama, M.Si., yang juga merupakan Kepala Divisi Promosi Direktorat Pemasaran UII, membahas mengenai bagaimana politik domestik Israel berdampak pada keputusan untuk melakukan genosida. “Perang di Gaza ini sering terjadi ketika posisi Perdana Menteri Israel, Netanyahu, kurang memiliki popularitas misalnya karena korupsi atau polling yang turun. Contohnya, sidang korupsi Netanyahu menjadi ditunda karena saat ini peperangan sedang terjadi,” jelas Utama.

Hadza Min Fadhli Robby, M.Sc., Kepala Laboratorium Transformasi Sosial PSHI UII sebagai panelis keenam pada diskusi ini, menyoroti mengenai investigasi yang dilakukan mengenai kerja sama belakang pintu antara Israel dan Indonesia yang harus dihentikan. Ia juga menambahkan, “sebagai masyarakat sipil kita perlu membedakan Yahudi dan Zionis dan perlu melihat kontribusi organisasi Yahudi yang kritis terhadap Israel sebagai garis depan perlawanan untuk kemerdekaan Palestina.”

Sekretaris Program International PSHI UII, Masitoh Nur Rohma, M.A., sebagai panelis terakhir, menegaskan bahwa masyarakat sipil perlu menyadari peristiwa genosida terhadap Palestina bukan baru terjadi pada 7 Oktober 2023, namun telah berlangsung puluhan tahun. Ia juga mendorong untuk terus melakukan aksi dukungan terhadap Palestina seperti boikot. “Kita harus terus menyuarakan reformasi organisasi internasional seperti PBB dan OKI untuk memberikan tekanan melalui opini publik sehingga bisa menekan pembuat kebijakan,” jelas Masitoh.

Diskusi ini berlangsung selama kurang lebih 60 menit dan dihadiri oleh lebih dari 120 peserta dari berbagai latar belakang keilmuan dan institusi. Tidak hanya hubungan internasional, tapi juga ilmu komunikasi dan psikologi, serta dihadiri peserta dari Universitas Negeri Sebelas Maret Surakarta, Universitas Gadjah Mada, dan perwakilan Asosiasi Ilmu Hubungan Internasional Indonesia (AIHII).

Sebagai penutup, moderator mengajak semua audiens yang hadir terus mengasah rasa kemanusiaan dan melakukan apa saja yang kita mampu sebagai masyarakat untuk mengurangi dampak keperihan tragedi kemanusiaan genosida sebagai bentuk penguatan dukungan terhadap Palestina.