Implementasi ISO 45001 Cegah Kecelakaan Kerja

Pusat Studi Lingkungan Universitas Islam Indonesia (PSL UII) dan Program Studi Teknik Lingkungan UII kembali mengadakan seminar secara daring pada Sabtu (29/8). Seminar seri ke-5 ini bertemakan Implementasi ISO 45001 Sebagai Upaya Pencegahan Kecelakaan Kerja dan Penyakit Akibat Kerja. Acara didukung oleh Ikatan Keluarga Alumni Teknik Lingkungan UII, Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi D.I. Yogyakarta, Ikatan Cendekiawan Muda Indonesia D.I. Yogyakarta, Ikatan Ahli Teknik Penyehatan dan Teknik Lingkungan D.I. Yogyakarta, Asosiasi Tenaga Ahli Konstruksi Indonesia D.I. Yogyakarta.

Dalam sambutannya, Rudiyatmoko, S.T., M.T., selaku Ketua DPP Intakindo D.I. Yogyakarta menyatakan bahwa ISO 45001 telah menggantikan OHSAS 18001 pada 12 Maret 2018. Menurutnya ISO sekarang dinilai lebih efektif untuk organisasi yang secara aktif meningkatkan kinerja SMK3L (Sistem Manajemen Keselamatan, Kesehatan Kerja, dan Lingkungan) serta optimal dalam mencegah kecelakaan kerja. Bahkan menurutnya standart ini mempunyai perbedaan yang cukup signifikan dari standar sebelumnya. Sehingga seminar daring ini diharapkan dapat memberikan pemahaman mengenai pentingnya sebuah strategi dan kajian teknis dalam permentasi ISO 45001. Sementara menurut Muhammad Rifki Rosady SHE., selaku manajer QSHE PT. Wijaya Karya, seminar yang diadakan PSL UII dan Program Studi Teknik Lingkungan UII menjadi kombinasi ideal karena ada sisi yang akan menyampaikan teori dan sisi pelaksanaan di lapangan.

Ketua Program Studi Teknik Lingkungan UII, Eko Siswoyo, Ph.D turut memberikan sambutan sekaligus membuka seminar. Ia menyampaikan bahwa belajar guna meningkatkan ilmu tidak akan pernah ada habisnya. Sebab jika seseorang merasa sudah puas akan ilmunya maka di situlah tempat terendah pengetahuannya. “Atas nama prodi (program studi) kami mencoba terus memberikan kontribusi dalam bentuk event yang dapat memberikan manfaat bagi semua. Sebab semakin kita belajar maka kita merasa semakin tidak tahu. Kalau baru belajar maka akan merasa sudah hebat. Forum-forum seperti ini sangat tepat bagi kita kalau ingin menambah pengetahuan dan bertukar pikiran,” ucapnya.

Warniningsih, S.T., M.Kes., Pengurus DPP Itakindo Yogyakarta menyampaikan materi dengan judul Manajemen Resiko K3. Definisi manajemen resiko adalah penerapan secara sistematis dari kebijakan manajemen, prosedur, dan aktivitas kegiatan, identifikasi bahaya, analisisnya, penilaiannya, penanganannya, dan pemantauannya, serta review resikonya. Sedangkan tujuan manajemen resiko untuk meminimalkan potensi resiko negatif dan memaksimalkan potensi resiko negatif. “Resiko negatif yakni resiko yang menghambat pekerjaan. Sedangkan resiko positif dihasilkan oleh sesuatu yang baik, kadang disebut peluang atau kesempatan,” ucapnya.

Ia menyebut terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi manajemen resiko, di antaranya properti, finansial, bisnis, regulasi, bencana alam, teknologi, sosial, lingkungan, dan K3. Menurutnya, pelaksanaan manajemen resiko sebaiknya dilakukan oleh suatu tim karena lebih banyak data yang dapat terkumpul, sudut pandang beragam, dan solusi akan lebih mudah diterima semua pihak. Proses dalam manajemen resiko terbagi dalam dua kelompok. Kelompok pertama adalah proses perencanaan yang terdiri atas merencanakan manajemen resiko dan mengidentifikasi resiko. Kelompok kedua yakni proses pengawasan antara lain menganalisis kualitatif dan kuantitatif resiko, merencanakan tanggapan terhadap resiko, memantau dan mengendalikan resiko.

Lebih lanjut, Warniningsih menjelaskan tahapan menganalisis dan menilai resiko dimulai dari komitmen, persiapan, identifikasi bahaya, analisa resiko baik akibat maupun peluang, penilaian resiko, dan penanganan resiko. Selama tahapan menganalisis harus terdapat monitor dan review bersama apakah sesuai komitmen atau terdapat penyimpangan. Lalu, dalam penilaian terdapat tiga kelompok. Pertama, bebas kerja berupa fisik dan mental. Kedua, kapasitas kerja berupa keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, status kesehatan atau gizi, usia, jenis kelamin, ukuran tubuh. Ketiga, lingkungan kerja berupa fisik, kimia, biologi, ergonomi, dan psikologi. “Tipe menanggapi resiko berupa menghindari resiko, mitigasi dengan menekan nilai resiko pemperkecil peluang terjadinya resiko, menerima konsekuensi resiko secara aktif dengan membuat rencana kontijensi atau pasif dengan menerima yang terjadi karena nilai resikonya kecil,” sebutnya.

Azham Umar A., SKM., MPH., Dosen Teknik Lingkungan UII yang telah tersertifikasi lead auditor ISO 45001 2018 mengatakan berdasarkan data BPJS Ketenagakerjaan 2019 tercatat pada tahun 2018 terdapat 174.105 kecelakaan. Jika dikalkulasikan maka per harinya terdapat 474 kasus. Guna menghindari kecelakaan kerja maka langkah yang harus dilakukan adalah dengan membuat regulasi yang jelas. Di Indonesia telah ada, seperti dasar sistem manajemen K3 dalam PP 50 tahun 2012, OSHMS atau SMK3 dalam ISO 45001 2018, lalu BSN merumuskan dalam sistem manajemen K3 dengan SNI ISO 45001 2018.

Ia menyebut komponen dalam ISO 45001 terdapat 10 klausal terdiri atas planning, context of the organization, leadership, support, operation, performance evaluation, dan improvement yang memiliki prinsip PDCA (Plan, Do, Check, Action).  “Plan terdiri atas planning, context of the organization, dan leadership. Do seperti support dan operation. Check yakni performance evaluation. Sedangkan action adalah improvement,” jelasnya.

Lebih lanjut, Azham mengatakan pendekatan SMK3 didasarkan pada konsep PDCA. Plan adalah menentukan dan menilai resiko K3, peluang K3, menetapkan tujuan K3, dan proses yang diperlukan untuk memberikan hasil sesuai dengan kebijakan K3. Do yakni menerapkan proses seperti yang direncanakan. Lalu check adalah memantau dan mengukur kegiatan dan proses berkaitan dengan kebijakan K3, tujuan dan melaporkan hasilnya kepada internal maupun eksternal. Sedangkan action dengan mengambil tindakan untuk terus meningkatkan kinerja K3 guna mencapai hasil yang diharapkan.

“Kasus kecelakaan kerja yang ada di internal seperti kebijakan K3 nya atau manajemennya bagaimana, sedangkan eksternal seperti gempa bumi harus dibahas dan dirumuskan dengan baik guna mencegah kecelakaan kerja. Sistem manajemen K3 atau standar itu ketika tidak dijalankan dengan maksimal dengan baik dengan patuh maka salah satu resikonya adalah masih banyak terjadi kasus kecelakaan kerja,” katanya.

Ia menegaskan bahwa dalam ISO 45001, kebijakan yang telah ditetapkan harus ditandatangani oleh top manajemen atau pimpinan tertinggi. Misal di perusahaan maka ditandatangani oleh direktur utama, sedangkan di kampus dapat ditandatangani rektor.

Di sesi lain, Ngadi Purnomo, S.T., Kabag QSHE di Kantor Pusat PT. Wijaya Karya berbagi pengalaman mengenai implementasi secara langsung penerapan ISO 45001. Dalam klausal context of the organization, PT Wika secara rutin menganalisa resiko baik internal maupun eksternal dengan menggunakan matriks. Setelah dianalisis akan direkomendasikan perbaikan lalu disosialisasikan kepada pekerja oleh top manajemen selain itu dibuatkan buku panduan praktik kerja aman. Lalu klausal leadership memiliki komitmen dengan bukti tanda tangan dari semua bagian top manajemen. Selain itu PT Wika katanya rutin rapat P2K3 selama 3 bulan sekali yang nantinya dilaporkan oleh komite P2K3 ke Disnaker.

Melanjutkan, dalam klausul perencanaan PT Wika melakukan penanganan resiko dan peluang. Ngadi mengaku saat menggunakan OHSAS 18001 tidak terdapat peluang. Di bagian klausul support kata Ngadi tercatat daftar pegawai fungsi QSHE, dilakukan meeting setiap hari sebelum pekerjaan dimulai baik oleh pekerja, pelaksana, QSHE, bahkan bagian teknik, selain itu memastikan pekerja memiliki kompetensi dengan sertifikasi terbaru. Selanjutnya di klausul operasi setiap ingin menjalankan operasi wajib melakukan izin dengan mengisi formulir. Izin di sini seperti izin pekerjaan umum dan pekerjaan panas. “Persiapan darurat rutin dilakukan setahun sekali. Misal melakukan simulasi gempa bumi, kebakaran, gunung meletus. Lalu memastikan juga pemateri memiliki lisensi yang jelas,” jelas Ngadi.

Setelah jalannya operasi, selanjutnya dilakukan evaluasi kinerja yang dilakukan rutin setelah pekerjaan selesai, sehingga dapat dilakukan perbaikan atau masukan. Di bagian ini juga dilakukan pemantauan, pengukuran, dan analisa yang dilakukan oleh orang yang berkompeten. Di Wika kata Ngadi rutin diadakan rapat audit internal selama setahun dua kali. Terakhir, di klausul improvement akan ditemukan insiden, ketidaksesuaian akibat adanya tindakan koreksi. Koreksi dilakukan dengan pembuatan QSS dari masalah yang timbul di lapangan. “Lalu saya memberi kesimpulan bahwa harapannya dari K3 dapat menerapkan kinerja sesuai dengan penataan dan sasarannya. Peningkatan budaya K3 melalui peningkatan perilaku selamat atau sering disebut behavior based safety (BBS). Jika pekerja selamat maka keluarga yang menunggu di rumah juga senang,” tutupnya. (SF/RS)