Kampus Mer(d)eka

Jika diharuskan memilih satu isu di ranah pendidikan tinggi yang paling menyita perhatian dalam sekitar dua tahun terakhir, maka yang muncul adalah program Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM). MBKM menjadi program unggulan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, yang berubah menjadi Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek), menjelang paruh kedua 2021.

Sebelum program ini diluncurkan, Mas Menteri telah bertemu dengan pemimpin perguruan tinggi. Banyak perspektif yang muncul selama pertemuan. Saya personal menjadi saksi di tiga pertemuan yang dilaksanakan di Jakarta. Ada perubahan di beberapa aspek dari konsep awal yang ditawarkan.

Akhirnya, terdapat empat kebijakan besar yang terkait, yaitu pembukaan program studi yang lebih fleksibel, sistem akreditasi perguruan tinggi yang lebih ramah, hak belajar tiga semester di luar program studi untuk mahasiswa, dan kebijakan khusus untuk perguruan badan hukum. Tiga kebijakan di atas, terbuka untuk semua perguruan tinggi.

Dari ketiga program tersebut, yang melibatkan langsung mahasiswa sebagai penerima manfaat tersebut proses pembelajaran, adalah hak belajar di luar program studi. Program ini membutuhkan “perkawinan massal” —meminjam istilah Mas Menteri— antarlembaga: antarperguruan tinggi dan antara perguruan tinggi dan lembaga lainnya.

 

Beragam cerita

Beragam program pun didesain dan dijalankan oleh Kemendikbudristek melalui Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi (Ditjen Diktiristek). Termasuk di antaranya adalah program magang, kampus mengajar, mobilitas internasional, proyek kemanusiaan, dan lain-lain. Selain itu, perguruan tinggi juga diizinkan mendesain program lain yang senafas.

Jika kita cermati, semua program tersebut melibatkan pihak lain sebagai mitra. Memang sejak awal, salah satu motivasi program MBKM adalah memperkaya pengalaman mahasiswa dengan mendekatkan dengan masalah nyata.

Sebetulnya, sudah sejak lama inisiatif serupa sudah dijalankan oleh banyak perguruan tinggi. Program magang, kerja praktik, pendampingan perintisan bisnis, dan kuliah kerja nyata (KKN) adalah contohnya. Namun, perlu jujur diakui, tidak semua perguruan tinggi mempunyai pendekatan serupa dalam proses pembelajaran, selain yang ada pun dijalankan dengan tingkat intensitas yang beragam.

Salah satu perubahan terbesar yang didorong oleh progam MBKM adalah orkestrasi gerakan di semua perguruan tinggi. Tidak selalu dengan cerita bahagia. Sebagian perguruan tinggi, atau lebih tepatnya program studi, merespons dengan suka cita. Sebagian yang lain, menerima dengan imbuhan “tetapi”.

Singkatnya, beragam perspektif muncul. Semuanya dengan alasannya masing-masing, yang juga masuk akal. Inilah indahnya dunia akademik.

 

Beberapa catatan

Mengapa beragam cerita mengemuka? Paling tidak terdapat dua catatan yang bisa diberikan.

Pertama, kebijakan yang seragam di tengah keragaman karateristik program studi dan perguruan tinggi selalu memantik diskusi hangat. Jika ada yang mengatakan tingkat perkembangan perguruan tinggi di Indonesia serupa, itu sudah merupakan kebohongan publik. Itu juga tanda yang bersangkutan belum banyak jalan-jalan. Atau sudah, tetapi kurang jauh sampai ke pinggiran.

Poin ini perlu mendapatkan perhatian serius, apalagi alasannya bukan masalah kesiapan saja tetapi juga kekangan lain yang tidak selalu mudah dimitigasi oleh program studi. Di antara kekangan tersebut adalah standar yang sudah ditentukan oleh lembaga akreditasi internasional atau bahkan asosiasi.

Kedua, implikasi dari pelaksanaan program MBKM belum semuanya masih radar dalam pengambilan kebijakan. Termasuk di dalamnya dampak finansial dan administratif yang tidak selalu ditoleransi. Setiap perguruan tinggi dipaksa membuat kebijakan sendiri yang kadang berseberangan dengan keinginan mahasiswa.

Jika peserta program MBKM yang “meninggalkan” program studi selama tiga semester tidak banyak, kemungkinan dampaknya masih bisa diterima. Tetapi, jika semakin masif, bukan tidak mungkin akan membuat goncangan, dengan beragam skala. Padahal, di sisi lain, program yang dianggap baik, seharusnya dilantangkan gaungnya dan sudah semestinya diikuti oleh sebanyak mungkin peserta.

 

Jalan tengah

Apa jalan keluarnya? Ide baik yang mendekatkan mahasiswa dan dosen dengan dunia nyata perlu dirawat. Tetapi, di sisi lain, posisi kampus sebagai pusat pengembangan ilmu pengetahuan yang memberi fondasi kuat disiplin ilmu pilihan perlu dijaga juga. Kekuatan fondasi keilmuan menjadi sangat penting untuk menjadikan seseorang fleksibel dalam merespons perkembangan.

Ingat juga bahwa ilmu pengetahuan tidak berkembang dalam ruang hampa. Sejatinya, ilmu pengetahuan adalah konseptualisasi realitas dalam bentuk konsep dan teori untuk menjadikannya lebih mudah dipahami dan dikomunikasikan. “Tidak ada yang lebih praktikal dibandingkan dengan teori yang baik”, kata Kurt Lewin, psikolog sosial Amerika Serikat.

Jika ada program studi atau dosen yang tertinggal dalam pemutakhiran ilmu pengetahuan, itu juga fakta sosial lain yang tidak bisa diabaikan. Ini adalah pekerjaan rumah setiap program studi dan dosen. Program studi harus selalu memutakhirkan kurikulumnya. Di waktu yang sama, dosen juga harus banyak membaca literatur mutakhir, rajin berdiskusi isu kontemporer, dan meluangkan waktu untuk jalan-jalan melihat realitas. Tanpanya, relevansi materi pembelajaran akan tergerus.

Dengan kesadaran ini, kampus pun sudah seharusnya diberi ruang kreativitas dalam merespons MBKM ini. Penyeragaman yang memaksa pun perlu dihindari, termasuk ketika berhubungan dengan lembaga mitra. Hal ini bisa mewujud dalam beragam aspek, termasuk pemilihan program MBKM yang diikuti dan juga pengakuan sks. Tidak perlu ada lagi pemaksaan, apalagi ancaman.

Jika beragam kekangan memaksa tetap ada tanpa ruang diskusi, yang muncul bukan kampus merdeka, tetapi menjadi kampus mereka. Tentu, bukan ini yang diinginkan.

Tulisan sudah dimuat pada kolom Refleksi UIINews edisi Desember 2021.