Kupas Tuntas Lupus: Penyakit Autoimun Kronis yang Menyerang Multi-Sistem

Fakultas Kedokteran (FK) Universitas Islam Indonesia (UII) menyelenggarakan Webinar Pengabdian Masyarakat dengan tema “Systemic Lupus Erythematosus (SLE): Deteksi Dini, Pengobatan, dan Kisah Inspiratif Penyintas.” Acara yang disiarkan secara daring melalui kanal zoom Meeting pada Minggu (14/12)  bertujuan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat mengenai penyakit autoimun kronis yang bersifat sistemik dan menahun. Webinar ini menghadirkan tiga narasumber utama, yaitu dr. Ana Fauziati, M.Sc., Sp.PD, dr. Nurul Aini, M.Sc., Sp.PD, dan seorang penyintas Lupus, dr. Syafira Laila Nurulita, serta dr. Andre Gita Arumsari sebagai moderator.

Pemateri pertama, dr. Ana Fauziati, M.Sc., Sp.PD. menjelaskan secara mendalam mengenai Lupus. Ia menegaskan bahwa, “Lupus atau SLE adalah penyakit autoimun kronis yang bersifat sistemik, di mana sistem kekebalan tubuh menyerang jaringannya sendiri, dan bersifat tidak menular,” jelasnya.

Penyakit ini lebih banyak menyerang wanita usia produktif (15-45 tahun), dengan estimasi prevalensi di Indonesia mencapai sekitar 1,3 juta orang. dr. Ana Fauziati menyebutkan bahwa penyebab SLE bersifat multifaktorial, melibatkan interaksi kompleks antara faktor genetik, lingkungan, hormonal, dan stres.

Gejala umum yang paling banyak ditemukan meliputi arthritis atau nyeri sendi sebanyak 88%, kelainan kulit 86%, dan keterlibatan ginjal 47%. “Gejala khas SLE yang perlu diwaspadai meliputi nyeri atau bengkak pada persendian yang berlangsung lebih dari 3 bulan, dan ruam kemerahan di pipi berbentuk kupu-kupu yang melintang dari pipi kanan ke kiri (malar rash),” ucap dr. Ana.

Untuk deteksi dini, pemerintah telah meluncurkan program yang disebut SALURI (Periksa Lupus Sendiri) yang mendorong masyarakat untuk mengenali gejala dan segera berkonsultasi dengan tenaga kesehatan terdekat.

Pemateri kedua, dr. Nurul Aini, M.Sc., Sp.PD, memaparkan pentingnya manajemen lupus secara komprehensif. Diagnosis SLE didukung oleh pemeriksaan penunjang, seperti tes autoantibodi (ANA, anti-dsDNA), dengan kriteria diagnosis berdasarkan skor EULAR 2019. Sebagai penyakit autoimun, pengobatan utamanya bersifat anti-inflamasi dan melibatkan pemberian obat imunosupresan untuk menekan respons imun yang berlebihan. Keterlibatan organ dapat meluas ke darah, ginjal, saraf, paru, hingga jantung, sehingga memerlukan pemeriksaan spesifik untuk setiap sistem organ.

Sesi ditutup dengan sharing session inspiratif dari seorang penyintas SLE sekaligus dokter muda, dr. Syafira. Ia menceritakan perjuangannya melawan Neuropsychiatric SLE (NPSLE) yang sangat berat, termasuk menjalani tujuh kali kemoterapi dan prosedur lanjutan seperti plasmapheresis dan rituximab yang disertai efek samping pengobatan yang parah.

Dr. Syafira juga membagikan realita yang dialami para pasien Lupus (Odapus) “Kadang capek, kadang ngerasa waktu dan energi banyak banget yang harus diluangkan untuk tetap kontrol.” Ia menekankan kunci hidup berdampingan dengan Lupus adalah mengelola stres, mengenali sinyal tubuh (beristirahat jika tidak sanggup), serta tak lupa bersyukur dan berdoa. “Kunci hidup berdampingan dengan Lupus adalah usaha maksimal, doa, dan keyakinan bahwa Allah akan memberikan kesembuhan.” tambahnya.

Kepada masyarakat luas, Dr. Syafira berpesan untuk lebih berempati dan memahami kondisi Odapus, karena menurutnya “Sakit yang enggak tampak itu bukan berarti enggak nyata. Masyarakat perlu lebih berempati, serta memberikan ruang bagi penyandang ‘disabilitas tak tampak’ ini.” Ia juga berharap agar pengobatan lanjutan seperti plasmapheresis dan rituximab dapat dicakup oleh BPJS untuk meringankan beban biaya yang tinggi bagi para penyintas. (NKA/AHR/RS)