Lembaga Kesejahteraan Sosial Perlu Berbenah

Permasalahan kesejahteraan sosial di Indonesia masih memerlukan perhatian banyak pihak, tidak hanya pemerintah. Data terbaru Kementrerian Sosial menyebutkan dari sekitar 18 juta penduduk Indonesia masih termasuk dalam Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS), yakni kemiskinan 2,5 Juta jiwa, ketelantaran 2,1 juta jiwa, keterpencilan 213 ribu KK, ketunaan dan penyimpangan perilaku 3,9 juta jiwa, korban bencana 1,4 KK, serta kelompok KTK, eksploitasi dan diskriminasi 889 ribu jiwa.

Tidak hanya pemerintah, sejumlah elemen masyarakat yang dibingkai dalam Lembaga Kesejahteraan Sosial (LKS) sebagai organisasi nirlaba, termasuk di dalamnya individu dengan semangat filantropi maupun charity, juga turut andil dalam pembenahan kesejahteraan sosial di Indonesia. Sebagai organisasi nirlaba yang aktif berkontribusi dalam membantu kesejahteraan sosial di Indonesia, Lembaga Kesejahteraan Sosial (LKS) juga terus mengalami peningkatan. Data LKS Daerah Istimewa Yogyakarta misalnya, menyebutkan bahwa terdapat 366 LKS yang tersebar di lima kabupaten/ kota.

Akan tetapi, masalah-masalah terkait dengan tata kelola masih terus dialami oleh LKS, baik berupa masalah internal ataupun eksternal. Masalah internal umumnya berupa manajemen yang cenderung bersifat tradisional dan tertutup, LKS belum mandiri sehingga masih mengharapkan kontribusi filantropi ataupun dari negara, aset keluarga dengan aset LKS dicampur adukkan sehingga sulit dibedakan, sarana dan prasarana yang belum memadai, serta di beberapa LKS masih terjadi perilaku moral hazard.

Sementara masalah eksternal berupa sebaran LKS di DIY yang tidak merata, pembinaan yang dilakukan dinas sosial belum merata, tuntutan pihak eksternal sangat beragam sehingga beberapa LKS tidak mampu memenuhi hal tersebut.

Atas dasar urain tersebut, Sugiyanto melakukan penelitian dengan judul “Tipologi governance lembaga kesejahteraan sosial (LKS): Studi kasus pada LKS Mardi Wuto dan LKS Hamba di Daerah Istimewa Yogyakarta.” sebagaimana disampaikan pada Ujian Terbuka Promosi Doktor Program Studi Ilmu Ekonomi Fakultas Ekonomi (FE) Universitas Islam Indonesia (UII), pada Selasa (5/11), di Gedung Ace Partadiredja, Fakultas Ekonomi UII.

“Melalui penelitian ini, ingin mengetahui tipologi governance apa saja yang diterapkan oleh LKS Mardi Wuto dan LKS Hamba dalam menjalankan roda organisasi, bagaimana relasi dan interaksi LKS Mardi Wuto dan LKS Hamba di DIY, sejauh mana LKS Mardi Wuto dan LKS Hamba menerapkan aturan internal dan aturan eksternal dalan operasional organisasi yang ditandai oleh kreasi lain dalam roda organisasi untuk mempertahankan idealisme organisasi nirlaba,” jelas Sugiyanto di hadapan tim penguji.

Sugiyanto menerangkan pertimbangannya dalam memilih LKS Mardi Wuto dan LKS Hamba karena dikelola oleh masyarakat, kerap menjadi rujukan pemerintah untuk studi banding, masing-masing pernah meraih beberapa predikat seperti terbaik di kota Yogyakarta pada tahun 2016, terbaik di DIY pada tahun 2016 dan terbaik ke-3 tingkat nasional tahun 2016, yang diterima LKS Mardi Wuto, serta terbaik di kabupaten sleman pada tahun 2015 dan 10 besar LKS terbaik tingkat nasional 2015 oleh LKS Hamba.

Sementara perbedaan keduanya antara lain LKS Mardi wuto didirikan oleh warga negara asing, anggaran 80% dari yayasan, selebihnya dari donatur, pendampingan klien hingga menyandang gelar Doktor. Sedangkan LKS Hamba didirikan oleh WNI, 100% anggaran dari donatur, terakreditasi A, serta dipilih pemerintah untuk uji coba SNPA (Standar Nasional Pengasuhan Anak).

Berdasarkan penelitian yang dilakukan, Sugiyanto menemukan bahwa terdapat tiga tipologi governance yang ada di LKS Mardi Wuto yaitu tipologi demokrasi, birokrasi, dan otoriter. “Dari ketiga tipologi ini, yang paling dominan adalah tipologi birokrasi, karena tipologi birokrasi harus mengikuti birokrasi yang telah ditetapkan yayasan dr. Yap Prawirohusodo,” terang Sugiyanto

Sedangkan, LKS Hamba memiliki dia tipologi, yakni tipologi demokrasi dan birokrasi, dengan demokrasi sebagai tipologi dominan. Karena semua keputusan dimusyawarahkan antara pengurus, pengelola dan stakeholder yang terkait.

Dalam hal relasi dan interaksi, struktur LKS Mardi Wuto pada tingkat yayasan dan pengelola cenderung mengikuti birokrasi yang telah ditetapkan yayasan dr. Yap Prawirohusodo. Sementara pada tingkat dilaksanakan secara formal sesuai dengan jam kerja masing-masing. Sedangkan interaksi dan relasi yang terjadi antar organ organisasi di LKS Hamba dilaksanakan secara demokratis, waktu fleksibel.

Diakhir paparannya, Sugiyanto menyarankan agar mekanisme organisasi nirlaba, baik berbadan hukum maupun tidak, sebaiknya diatur dalam payung hukum yang tunggal. Sugiyanto juga mengusulkan agar dalam menetapkan tipologi LKS sebaiknya tidak menggunakan tipologi mandiri. Hal ini karena organisasi nirlaba termasuk di dalamnya LKS dikodratkan untuk mengumpulkan dana masyarakat.

Usai memaparkan hasil penelitan, ujian dilanjutkan dengan beberapa pertanyaan oleh tim penguji yang dipimpin langsung oleh Rektor Universtias Islam Indonesia (UII) Fathul Wahid., S.T., M.Sc. Ph.D.

Salah satu pertanyaan seperti yang disampaikan oleh Prof. Dr. Heru Kurnianto Tjahjono mengenai bagaimana seharusnya seseorang yang bergabung di LKS. “Jadi idealnya semua pengelola, pengurus, dan relawan itu semua kebutuhan ekonominya sudah terpenuhi, sehingga tidak mengganggu ekonomi di LKS. Akan tetapi beberapa relawan di LKS malah menjadikannya sebagai salah satu sumber penghasilan,” jawab Sugiyanto.

Heru Kurnianto kembali menyorot terkait LKS di Indonesia yang banyak dimanfaatkan untuk mencari dana, Bagaimana mengatasi masalah tersebut? “Diperlukan ketegasan pengawasan oleh pemerintah dalam hal membuat kebijakan tentang pengumpulan dana LKS,” Jawab Sugiyanto yang merupakan Doktor yang ke 152 di UII dan 47 di Fakultas Ekonomi.

Selanjutnya pertanyaan dari Lathiful Khuluq., M.A., Ph.D yang menanyakan terkait dengan penelitian yang dilakukan, saran apa yang akan diberikan kepada pemerintah. “Bahwa payung hukum LKS diatur dulu menjadi satu tunggal. Beberapa aturan di bawahnya banyak yang kontradiktif sehingga perlu dikaji ulang.” Terang Sugiono yang pada sidang ini meraih predikat sangat memuaskan berdasarkan hasil perhitungan nilai disertasi dan indeks prestasi mata kuliah yang pernah diambil. (D/RS)