Maqasid Keluarga Secara Syariah

Melalui Podcast, Aufanida Ingin Mensyiarkan Ramadan

Pusat Studi Gender Universitas Islam Indonesia melalui Sekolah Online Ketahanan Keluarga (Sekola) kembali menggelar diskusi secara daring. Sekola UII 2021 yang mengangkat tema besar “Maqasid untuk Keluarga Islam Kontemporer” ini akan dilakukan enam kali pertemuan mulai tanggal 16 hingga 31 Januari. Pemateri diskusi berasal dari Maqasid Institute, Ustadz Dr. Ali Abdul Mun’im, M.A. Adapun pertemuan pertama Sekola mengambil tema “Apa dan Mengapa Diskursus Maqasid Syariah”.

“Tercatat peserta Sekola yang mendaftar 265 orang dimana 66,4% nya perempuan. Dan terbanyak lulusan S1 dari berbagai daerah,” sebut moderator sekola, Bidang Pendidikan dan Pelatihan PSG UII Dr. Sus Budiharto, S.Psi., M.Psi. Menurutnya acara ini lebih mementingkan pemahaman, pemanfaatan, dan penerapan ilmu dari agenda Sekola.

Dalam sambutannya, Ketua Pusat Studi Gender UII, Dr. Dra. Trias Setiawati, M.Si menyatakan permasalahan keluarga di Indonesia sangat kompleks. Dari sebelum hingga saat pandemi, nilai kekerasan dalam rumah tangga baik kepada pasangan atau anak sering terjadi. Dari banyaknya pemberitaan KDRT, membuat anak yang belum menikah merasa takut untuk membina keluarga. “Jadi bingung mau berkeluarga atau tidak. Nanti apakah sakinah mawadah warohmah atau bisa tercapai atau tidak,” jelasnya.

Ustadz Dr. Ali Abdul Mun’im, M.A., menjelaskan bahwa sebagai sebuah teori, Maqasid Syariah akan selalu menarik dan tidak akan berhenti untuk dikaji baik oleh sarjana klasik atau kontemporer. Hal ini dilakukan sebab Islam dapat mengawal dan memberikan kontribusi yang lebih terhadap perkembangan zaman. Konsep Maqasid Syariah sebagai pintu gerbang awal harus dilalui agar Islam sebagai agama mampu mengimplementasikan ekspektasinya. “Maqasid Syariah menjadi sebuah keniscayaan dan mutlak diperlukan, sebab jika tidak dipahami dapat menelantarkan agama pada jurang ketertinggalan dan keterasingan dari zaman dan pemeluknya,” jelasnya.

Dalam memahami Maqasih Syariah, Al-Qur’an menjadi salah satunya buku yang memberikan pemahaman dan tidak untuk diperdebatkan. Menurut Ustadz Ali, semua permasalahan dapat terjawab dari Al-Qur’an. Begitu juga dalam persoalan keluarga, dapat terjawab dengan mempelajari Al-Qur’an sekaligus dalil-dalilnya. Ustadz Ali menyebut terdapat tiga ayat Al-Qur’an dalam menghimpun ilmu pengetahuan, yakni Qs. Ali-Imran ayat 164, Qs. Al-Baqarah ayat 151, dan Qs. Al-Jumu’ah ayat 2.

“Tiga ayat itu saling berhubungan dan memiliki kandungan yang sama bahwa ruh konsep Maqasid Syariah sendiri adalah mewujudkan kebaikan sekaligus menghindarkan keburukan,” tegas Ustadz Ali.

Dalam ayat tersebut dijelaskan bahwa Allah Swt. mengutus hamba-Nya yaitu Nabi Muhammad Saw. untuk para umatnya. Dengan diutusnya Rasulullah Saw., terdapat suatu kebesaran Allah Swt. yang diberikan kepada mahluk-Nya. Ustadz Ali menyatakan tiga ayat tersebut sebagai misi Nabi Muhammad Saw. dalam melakukan ibadah sebagai guru. Terdapat langkah dalam menghimpun ilmu pengetahuan, yakni Tilawatil ayat, Tazqiah, dan Taklim Al Hikma.

Tilawatil ayat berarti berturut-turut, tidak terputus, atau tidak berhenti di tengah jalan. Dalam rangka memahami Maqasid keluarga maka harus melakukan Iqra atau membaca. Dari membaca akan terhimpun ilmu yang akan disebarkan. Kedua adalah Tazqiah, yakni merawat qalbu. Maksudnya dalam Al-Qur’an terdapat tanda yang tidak dapat dipahami dengan penerjemahan. Sehingga perlu dirawat dengan membersihkan qalbu. “Jika kita tahu batasan dan larangan kita melakukan apa. Tapi kita tetap melakukannya, maka hal yang paling minimal dilakukan adalah mengucapakan Istighfar. Hal itu karena susah bagi orang untuk merawat qalbu nya,” terang Ustadz Ali.

Terakhir yaitu Taklim Al Hikma yang menjadi bagian tidak terpisahkan dari ilmu itu sendiri. Dengan mengaplikasikan ilmu pengetahuan yang diterimanya, berarti ia sedang berusaha memahami ilmu tersebut. Jika ilmu telah diketahui namun tidak diterapkan, maka akan mendatangkan kemurkaan. “Al Hikma itu mengontrol secara kokoh. Yang perlu dikontrol adalah diri kita dan lingkungan sekitar. Mungkin kita sekali-kali menjadi guru, tapi suatu saat kita harus siap dan rela menjadi murid,” tutup Ustadz Ali. (SF/RS)