Mazhab Media Sosial Politisi

Perempuan muda tersebut duduk dengan penuh konsentrasi di balkon salah satu ruang sidang komisi di gedung DPR RI. Jemarinya lincah mengetik dengan gawainya. Dia tidak sedang mengabaikan lingkungannya dan asyik dengan dunianya. Tetapi, dia sedang aktif membuat cuit dengan Twitter.

Perempuan itu bernama Hayati Indah Putri, pencetus dan pengawal WikiDPR.org, inisiatif nirlaba yang dengan sepenuh hati mengikuti dan mencatat diskusi pada hampir semua sidang di gedung tersebut. Kondisi hamil tidak menghalangi Mbak Indah, panggilan akrabnya, pemegang gelar master dari salah satu universitas terkemuka di Kanada, untuk ‘berkantor’ hampir setiap hari.

Dia dan puluhan relawan siap menjadi ‘penyambung suara wakil rakyat’ dengan menulis cuit secara langsung ketika sidang sedang berlangsung. Rangkuman sidang kemudian dimuat dalam laman WikiDPR.org. “Saya ingin rakyat tahu apa yang didiskusikan oleh wakilnya, melalui media sosial,” kata Mbak Indah ketika berdiskusi dengan penulis. Banyak orang mengatakan bahwa media sosial dapat menjadi kanal komunikasi antara rakyat dengan wakilnya, para politisi.

Betulkah demikian? Pengamatan dan diskusi penulis dengan beberapa politisi dan konsultan media sosial memberikan beberapa tilikan. Paling tidak terdapat empat mazhab terkait dengan media sosial yang diadopsi oleh para politisi.

Mazhab pertama adalah absen. “Saya mengandalkan pertemuan tatap muka dengan konstituen saya, sosial media tidak populer di kalangan mereka,” terang seorang politisi muda. Politisi tersebut termasuk aktivis media sosial, tetapi berasal dari sebuah daerah di mana penetrasi Internet dan sosial media tidak begitu kentara.

Media sosial tidak menyelesaikan masalah yang sedang mereka hadapi. Hingar-bingar sosial media seringkali tidak mewakili jeritan mereka yang terpendam dalam. Untuk konteks seperti itu, penggunaan media sosial sebagai kanal partisipasi publik, laksana memberi sabun kepada pengungsi yang kelaparan.

“Saya sekarang sudah tidak percaya lagi dengan media sosial,” kata seorang konsultan media sosial yang terlibat banyak hajatan politik. Dia sering dijuluki “manipulator” media sosial, karena kecanggihannya dalam mempermainkan opini publik dengan beragam pesan di media sosial. Yang terpampang di media sosial adalah kosmetik untuk menjadikan seseorang politisi tampak lebih ‘kinclong’. Namun tidak demikian dalam kenyataannya.

Nampaknya banyak politisi yang kepincut dengan layanan manipulasi jenis ini. Inilah mazhab kedua, mazhab manipulatif. Penganut mazhab ini dapat menjadikan isu sepele menjadi penting atau sebaliknya, mengalihkan perhatian dari isu penting. Politisi bermazhab ini tidak jarang menggunakan jasa para selebritas media sosial dengan banyak pengikut untuk menggiring opini publik, dengan imbalan yang cukup fantastis. Sebuah cuit dapat berharga puluhan juta.

Observasi penulis di beberapa tempat menemukan mazhab ketiga, yaitu instrumental. Politisi mazhab ini menggunakan media sosial untuk berkomunikasi dengan rakyat, tetapi dengan meminjam tangan orang lain. Kapasitas politisi yang terbatas adalah alasannya.

Pesan yang terunggah pada media sosial adalah cerminan sikap politisi tersebut, yang dilakukan oleh asistennya, atau lembaga yang dipimpinnya. Tidak ada yang salah dalam mazhab ini, meski komunikasi yang dibangun cenderung mekanis.

Adakah mazhab yang lain? Mazhab keempat bersifat tulen, “genuine”. Politisi dalam mazhab ini membangun komunikasi organik yang lebih humanis. Setiap pesan yang terunggah media sosial lahir dari ketikan tangan politisi tersebut. Mazhab ini banyak diisi oleh politisi muda yang melek teknologi dan tidak ‘jaim’.

Tidak semua politisi berani menjadi penganut mazhab ini. Hanya politisi dengan kadar keberanian dan kesabaran tingkat tertentu yang sanggup. Mereka siap menghadapi kemungkinan terburuk, berupa hujatan dan perundungan, atau ‘ditelanjangi’ secara daring. Mereka biasanya tidak tersandera masa lalunya.

Penganut mazhab manakah politisi pujaan Anda? Anda seorang politisi? Pengikut mazhab manakan Anda? Anda sendiri yang tahu.

Tulisan ini pernah dimuat pada rubrik Opini SKH Kedaulatan Rakyat 15 Februari 2016. Tulisan diuggah ulang karena muatan masih relevan, terutama di masa menjelang musim pemilihan umum kepala daerah (pilkada) pada 9 Desember 2020.