Melindungi Kepentingan Nasabah dari Dugaan Korupsi di Jiwasraya, ASABRI, dan BPJS

Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum (LKBH) Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (FH UII) menggelar webinar bertajuk “Melindungi Kepentingan Nasabah dari Keganasan Dugaan Korupsi di Jiwasraya, ASABRI, dan BPJS” pada Sabtu (20/3). Webinar menghadirkan narasumber Ery Arifudin, S.H., M.H. (Dosen FH UII) dan Intan Nur Rahmatika, S.H., M.H., CPL.CPCLE.CTA (Advokat & Komisioner BPSK DIY) dan dipandu oleh Aldi Sanjaya Putra, S.H., M.Kn. (Advokat LKBH FH UII).

Ery Arifudin dalam pemaparannya mengutarakan permasalahan-permasalahan dari Jiwasraya, ASABRI dan Jiwasraya yang menyebabkan adanya dugaan korupsi. Permasalahan utama dari ASABRI antara lain investasi saham yang tidak tepat pada asuransi sosial dan dugaan korupsi. Permasalahan utama dari BPJS antara lain pengelolaan dana iuran, peningkatan Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP), jumlah tunggakan oleh peserta BPJS yang sehat, pembiayaan Katastropik meningkat, pelayanan pencegahan, dan program promotif preventif yang dilaksanakan tidak maksimal secara nyata untuk menjaga masyarakat yang sehat tetap sehat.

Permasalahan utama dari Jiwasraya disebutkan Ery Arifudin antara lain produk-produk yang merugi, kinerja pengelolaan aset yang rendah, kualitas aset investasi dan non investasi yang kurang likuid, sistem pengendaliaan perusahaan yang masih lemah, sistem kelola perusahaan yang kurang baik, sistem informasi yang tidak andal, kantor cabang yang tidak produktif, biaya operasional yang tidak efesien, akses permodalan yang terbatas, kurangny inovasi di bidang produk dan layanan, kualitas SDM asuransi yang terbatas dan budaya kerja dan sarana dan prasarana kerja yang belum modern.

Ery Arifudin menjelaskan bahwa pemberian perlindungan kepentingan nasabah dengan tanggungjawab perdata bisa berupa tanggung jawab Badan Hukum PT Persero/ Korporasi dan tanggung jawab pendiri. Tanggungjawab Badan Hukum PT Persero/ Korporasi dilakukan dengan beberapa tanggungjawabnya yakni meliputi dilakukan atau diperintahkan oleh Pengendali dan/atau pengurus yang bertindak untuk atas nama korporasi, dilakukan dalam rangka pemenuhan maksud dan tujuan korporasi, dilakukan sesuai dengan tugas dan fungsi pelaku atau pemberi perintah, dan dilakukan dengan maksud memberikan manfaat bagi korporasi.

“Sedangkan tanggungjawab pribadi meliputi tanggungjawab pendiri, tanggungjawab pemegang saham, tanggungjawab direksi atau kolegial, dan tanggungjawab dewan komisaris/kolegial. Dukungan tanggungjawab bisa dengan hasil investasi, penambahan modal pemilik/pemegang saham, reasuransi dan perjanjian dengan pihak lain atau pembiayaan perusahaan,” papar Ery Arifudin.

Sementara Intan Nur Rahmawati dalam kesempatannya menjelaskan mengenai perlindungan nasabah/ pemegang polis dari korupsi BUMN asuransi. Salah satu definisi nasabah (dalam Nasution 2004: 101) bahwa nasabah adah semua orang yang menuntut suatu perusahaan untuk memenuhi suatu standar kualitas tertentu yang akan memberikan pengaruh pada performansi perusahaan.

Pemegang polis sama dengan nasabah, namun berbeda dengan konsumen. Karena konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan (Pasal 1 angka 2 UU No. 8 Tahun 1999) tentang Perlindungan Konsumen. Perlindungan terhadap Nasabah asuransi diatur dalam Pasal 11 ayat (1) UU 40 tahun 2014, Pasal 28 ayat (7) UU 40 tahun 2014, Pasal 31 ayat (2) dan ayat (3) UU 40 tahun 2014, dan Pasal 7 UU No. 8 tahun 1999 huruf f dan g.

Intan Nur Rahmawati menjelaskan bahwa penyelesaian sengketa asuransi dengan berdasarkan Pasal 54 ayat (1) UU No. 40 Tahun 2014 yang berbunyi: “Perusahaan asuransi, Perusahaan Asuransi syariah, perusahaan reasuransi dan perusahaan reasuransi syariah wajib menjadi anggota lembaga mediasi yang berfungsi melakukan penyelesaian sengketa antara perusahan asuransi, perusahaan asuransi syariah, perusahaan reasuransi atau perusahaan reasuransi syariah dan pemegang polis, tertanggung, peserta atau pihak lain yang berhak memperoleh manfaat asuransi.” Kemudian dalam Pasal 54 ayat (4) dijelaskan bahwa kesepakatan mediasi bersifat final dan mengikat bagi para pihak. (FHC/RS)