Menghujamkan Akar, Menjulangkan Cabang, dan Melebatkan Buah

Jujur harus saya akui, berdiri di podium untuk memberikan kata sambutan rektor bukanlah hal ringan. Bukan karena kesulitan merangkai kata, juga bukan karena kekhawatiran diabaikan. Tetapi, karena ini adalah awal dari amanah yang besar yang dibebankan di pundak saya, untuk menahkodai sebuah universitas besar, yang didirikan dengan niatan luhur para pendiri bangsa ini.

Kami —saya dan para wakil rektor, bukanlah orang terbaik UII. Keterpilihan kami berlima karena sistem yang didesain di Statuta UII 2017, dan ini sekaligus mengindikasikan harapan yang besar dari sivitas akademika UII kepada kami berlima.

Sejalan dengan semangat Statuta UII 2017, jabatan adalah amanah. Jabatan jangan dicari, apalagi dengan mengabaikan budi pekerti. Tetapi, jika diberi amanah, kita tidak boleh melarikan diri. Dengan kesadaran ini, kami —saya dan para wakil rektor, ingin mengawali hari ini dengan mengucap ‘bismillahirrahmanirrahim‘. Semoga Allah SWT senantiasa membimbing dan melapangkan langkah kami.

Kami mendapatkan amanah di masa yang disebut orang sebagai era disrupsi. Salah satu sebabnya adalah kehadiran dan perkembangan teknologi informasi yang sangat pesat. Perkembangan ini telah menghadirkan banyak perubahan signifikan dalam dunia pendidikan. Demokratisasi pendidikan yang memberikan akses kepada semakin banyak orang adalah sebuah keniscayaan.

Inovasi radikal ini pun telah mengubah landskap dunia kerja. Beberapa tahun lalu, misalnya, Google yang akhirnya diikuti banyak perusahaan lain, seperti Apple, IBM, dan Bank of America, menegaskan secara publik bahwa mereka menerima pegawai yang kompeten meski tanpa gelar kesarjanaan. Ini adalah tamparan keras untuk dunia pendidikan, yang dipaksa untuk mendefinisikan ulang perannya.

Namun demikian, kami mengajak seluruh sivitas akademika untuk melihat disrupsi sebagai sebuah sunnatullah, sesuatu yang hadir dan tidak dapat kita hindari. Pilihannya hanya dua, apakah kita memandangnya sebagai musibah atau berkah. Kami memilih yang kedua.

Era disrupsi telah mencelikkan mata kita, memantik kesadaran bersama kita untuk bangun, dan melakukan sesuatu yang tidak biasa. Doing busines as usual akan menjadikan kita tertinggal. Kita tidak lagi diberi peluang untuk berada di zona nyaman kita. Dalam bahasa Collins di dalam buku Good to Great, perubahan disruptif ini adalah ‘fakta brutal’ (brutal facts) yang harus kita hadapi.

Menghujamkan akar, menjulangkan cabang, dan melebatkan buah

Dalam rencana aksi yang saya sampaikan beberapa waktu yang lalu, yang diinspirasi oleh Ayat 24-25 Surat Ibrahim, terdapat tiga tema besar yang kami rencanakan akan mewarnai perjalanan UII dalam empat tahun ke depan.

“Tidakkah kamu memperhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya kuat dan cabangnya (menjulang) ke langit, (pohon) itu menghasilkan buahnya pada setiap waktu dengan seizin Tuhannya. Dan Allah membuat perumpamaan itu untuk manusia agar mereka selalu ingat.” (Q.S. Ibrahim 14: 24-25)

Sebagai sebuah universitas, UII harus menghujamkan akarnya, menjulangkan cabangkan, dan melebatkan buahnya sepanjang masa.

Akar UII adalah nilai-nilai Islam perenial, abadi, yang ditanamkan oleh para pendirinya. Nilai-nilai Islami dan Indonesiawi (seperti tercermin dalam nama UII dalam bahasa Arab) harus kembali kita gaungkan dan kita internalisasikan ke dalam kesadaran personal, dan akhirnya dieksternalisasi menjadi aksi kolektif. Dengan aksi kolektif yang diwarnai dengan inovasi dalam beragam bidang inilah UII dapat menjulangkan cabangnya. Tujuan utamanya adalah kebermanfaatan untuk umat dan bangsa. Kehadiran UII harus kita upayakan membawa perubahan, memberikan dampak. Inilah buah yang harus UII perlebat. Buah ini mewujud dapat dua bentuk besar, yaitu alumni dan artefak akademik.

Pertama, alumni UII telah tersebar dan berkiprah dengan beragam peran. Karenanya, proses pembelajaran harus dapat membentuk mahasiswa dengan karakter unggul, siap menjadi pemimpin, mempunyai sensitivitas sosial, dan siap menjadi warga global. Para mahasiswa kita sekarang adalah generasi milenial, pribumi digital dengan semua karakteristik uniknya. Karenanya, kita perlu mendekati mereka dengan cara yang berbeda dengan apa yang kita dapatkan ketika kuliah.

Dalam konteks ini, Ali bin Abi Thalib karramallahu wajhah berpesan:

“Jangan didik anak-anakmu sebagaimana orangtuamu mendidikmu, sungguh mereka diciptakan untuk zaman yang berbeda dengan zamanmu.” 

Kedua, artefak akademik lahir dari proses intelektual serius yang mewujud dalam beragam bentuk: hasil penelitian, layanan pengabdian kepada masyarakat, teknologi, konsep, gagasan, program intervensi, dan lain-lain. Di sini, konsep engaged scholarship yang ditawarkan oleh van de Ven menjadi revelan. UII dan segenap elemennya, harus mendekatkan diri dengan konteks, menautkan disiplin dengan realitas, mengakrabkan diri dengan berbagai kalangan untuk belanja masalah, dan menawarkan solusi yang berdampak.

Untuk melakukan itu semua, menjadikan UII unggul, memerlukan kedisiplinan tingkat tinggi: semua elemen di UII harus disiplin (disciplined people), pemikiran untuk mengembangkan gagasan inovatif juga harus dilakukan tanpa lelah (disciplined thought), dan tidak kalah penting adalah eksekusi gagasan dengan aksi nyata secara istikamah (discplined action). Teknologi informasi yang andal dibutuhkan untuk mendorong aksi nyata. Ke depan teknologi informasi tidak bisa hanya menjadi pendukung operasional, tetapi harus menjadi instrumen strategis.

Hanya dengan ketiga kedisiplinan inilah lompatan-lompatan ke depan bisa diikhtiarkan. Semua yang akan kita lakukan tentu tidak terlepas dari anak tangga yang telah dibangun oleh para pendiri UII dan pendahulu kita.

Meneladani para pendahulu

Meminjam konsep dari sosiologi organisasi, kehidupan organisasi tergantung dengan trajektori lampau yang sudah dilewati sebelumnya, path dependence. Demikian juga UII. Kita bisa menengok ke belakang sejenak untuk melihat nilai, teladan, jejak, yang diberikan dan ditinggalkan oleh para pendahulu, ‘assabiqunal awwalun’ di UII.

Dari para pendahulu, kita bisa belajar banyak hal.

Dari Pak Kahar (Prof. K.H. Abdulkahar Mudzakkir) kita belajar keikhlasan dalam memulai sebuah gagasan besar dan ketekunan dalam mengeksekusinya.

Dari Pak Kasmat (Prof. RHA. Kasmat Bahoewinangoen), kita mengetahui arti penting menebar manfaat dengan pembukaan kampus UII di banyak kota di Indonesia.

Dari Pak Sardjito (Prof. Dr. dr. M. Sardjito, M.P.H.) kita mendapatkan teladan menjadi pemimpin yang berdedikasi tinggi, jujur, terbuka, dan selalu kerja keras tanpa pamrih.

Dari Pak Prabu (H. GBPH. Prabuningrat) kita belajar keberanian mengambil keputusan, pentingnya berkorban, dan kesederhanaan.

Dari Pak Ace (Prof. Dr. Ace Partadiredja), kita belajar arti penting mengembangkan kampus modern dan meningkatkan eksposur internasional dosen. Pada saat menjadi rektor, beliau tidak jarang mengantar dosen yang studi lanjut ke luar negeri.

Dari Pak Zanzawi (Prof. Dr. H. Zanzawi Soejoeti, M.Sc.) kita ditunjukkan pentingnya keteguhan sikap dan keberanian mengambil peran kepemimpinan.

Dari Pak Zaini (Prof. H. Zaini Dahlan, M.A.) kita diberi contoh bagaimana kesederhanaan dan keikhlasan diperlukan dalam mengabdi.

Dari Pak Luthfi (Dr. Ir. Luthfi Hasan, M.S.) kita belajar tentang penjaminan mutu, peningkatan kerjasama, pemanfaatan teknologi informasi untuk menunjang kegiatan akademik dan pengambilan keputusan.

Dari Pak Edy (Prof. Dr. Drs. Edy Suandi Hamid, M.Ec.), kita sekali lagi ditunjukkan arti penting bagi UII untuk berperan di kancah nasional dan internasionalisasi.

Dari Pak Har (Dr. Ir. Harsoyo, M.Sc.) kita diberi contoh tentang penguatan nilai-nilai keislaman dan ketekunan dalam beribadah. Pada masa beliau diperkenalkan jalur baru penerimaan mahasiswa UII dengan penelusuran hafiz Alquran.

Dari Pak Nandang (Nandang Sutrisno, S.H., LL.M. M.Hum., Ph.D.) kita belajar keikhlasan dalam mengambil peran. Beliau mengajarkan arti penting bekerja keras, tuntas, cerdas, dan ikhlas.

Belajar dari keteladanan tersebut, kami pandang jabatan ini sebagai sebuah kemuliaan yang ditakdirkan Allah untuk dirawat. Jabatan bukan berkah, tetapi amanah. Jabatan bukan fasilitas, tetapi pengabdian ikhlas. Jabatan bukan dilayani, tetapi memberi. Kami harus belajar menikmati yang tidak nikmat, dan tidak menikmati yang nikmat. Semoga Allah memberikan bimbingan dan kekuatan kepada kami.

Jika kami membuat kebaikan, tidak melanggar perintah Allah dan Rasululllah, dukunglah kami. Kepada para dosen, tendik, mahasiswa, dan alumni, kami mengundang untuk bekerja bersama, mengumpulkan semua energi positif, untuk bergerak maju.

Sebaliknya, jika kami membuat kejelekan, menebar mudarat, luruskan kami. Kami akan berterima kasih jika dikawal dengan sehat, diberi masukan bernas, dan lebih penting lagi, didukung dengan tindakan nyata.

Semoga Allah SWT meridai UII.