,

Menjadi Mahasiswa di Kota Pelajar

Membahas menjadi mahasiswa di Jogja (D.I. Yogyakarta) tidak dapat dipisahkan dari budaya yang melekat di dalamnya. Seperti di antaranya ngopi, diskusi, aksi, rekreasi, kontemplasi, dan ngaji. Kedai kopi misalnya, seolah telah memenuhi sudut kota Jogja. Tempat ini seperti menjadi pelengkap bagi citra Jogja sebagai kota pelajar yang dipenuhi ribuan mahasiswa. Hal ini diungkapkan Ketua Dewan Permusyawaratan Mahasiswa Universitas Islam Indonesia (DPM UII), Febrian Ramadhani dalam Talkshow Menjadi Mahasiswa yang merupakan rangkaian dari kegiatan Pesona Ta’aruf UII 2020, pada Rabu (9/9) secara daring.

Berawal dari ngopi, biasanya akan melahirkan diskusi tentang banyak hal. Menurut Febrian, diskusi ini harusnya tak hanya mandek (berhenti) pada sebuah opini maupun asumsi, harus dilakukan aksi dari pemikiran-pemikiran yang lahir. Aksi ini menjadi cerminan mahasiswa yang bisa bertanggung jawab atas segala pemikirannya. “Setelah aksi, boleh lah sedikit-sedikit rekreasi atau liburan. Namun, segala aksi yang telah dilakukan haruslah diimbangi dengan kontemplasi atau perenungan, melakukan evaluasi diri. Dan jangan lupa, sebagai anak UII, kembali mengaji,” pesannya.

Pesan senada juga disampaikan Ketua Umum Lembaga Eksekutif Mahasiswa UII, Pancar Setiabudi. Dikatakan, menjadi mahasiswa berarti mengemban tanggung jawab yang lebih besar pula. Tak hanya intelektual, mahasiswa juga harus menjunjung tinggi tanggung jawab moralitas. Gabungan keduanya akan mampu membawa mahasiswa memajukan universitas, masyarakat, bahkan bangsa.

Dalam kesempatan yang sama, salah seorang Mahasiswa Berprestasi (Mapres) UII, Jelita Firdausya menyampaikan, ketika sudah resmi menjadi mahasiswa, maka sudah bukan saatnya lagi untuk mempertanyakan mau fokus akademik atau organisasi. Mahasiswa punya segudang hak untuk menentukan pilihan atas hidup yang akan dijalankan. Namun, juga perlu diimbangi dengan tanggung jawab atas segala pilihan yang diambil. Organisasi tak bisa dijadikan alasan untuk mengabaikan urusan akademik. Kedua hal tersebut perlu diseimbangkan. Organisasi bisa menjadi wadah pengaplikasian ilmu yang telah diperoleh di kelas akademis.

Jelita menambahkan, menjadi mahasiswa berprestasi tidak hanya diukur dari sekedar nilai di atas kertas. Kontribusi dalam membangun lingkungan sosial menjadi tanggung jawab seorang mahasiswa atas intelektual yang dimiliki. Interaksi mahasiswa dengan lingkungan sosial pun menjadi penilaian yang tak kalah penting bagi mahasiswa. Interaksi ini dilihat sebagai aksi nyata dari keilmuan yang diperoleh di dalam kelas.

Kontribusi tak hanya dilakukan sendirian. “Jangan jadi individualistik tapi ayo bersama berjuang dengan sekitar untuk bergerak bersama. Ketika kita bergerak bersama, maka insyaallah kontribusi yang diberikan akan semakin besar pula,” pesan Febrian Ramadhani. (VTR/RS)