Pemanfaatan Sumber Daya Baru dan Terbarukan pada Bangunan

Program Studi Arsitektur Universitas Islam Indonesia (UII) bekerjasama dengan Pusat Studi Real Estate mengadakan open course and talks dengan judul the new norm of living: green property pada Selasa (11/8). Kegiatan ini menghadirkan Arsitek Praktisi Green Building, Ar. Ariko andikabina GP sebagai pemateri dan Ir. ‪Ahmad Saifudin Mutaqi, M.T., IAI., AA., Kepala Pusat Studi Real Estate Arsitektur UII sebagai host.

Saifudin Mutaqi menyatakan maksud dari judul kegiatan ini adalah di masa sekarang kinerja bangunan tidak hanya dituntut untuk hemat energi, namun dapat secara mandiri memanfaatkan sumber daya baru dan terbarukan, seperti energi terbarukan dan hasil daur ulang.

Ariko mengartikan norma baru dalam bangunan hijau dengan membangun perspektif jangkauan dan ancaman. Maksud jangkauan di sini adalah perolehan energi dan material bangunan hijau membutuhkan dana banyak atau mahal. Sedangkan ancaman yang dimaksud adalah efek jangka panjang yang akan dihadapi ketika penggunaan energi atau material tertentu.

Mengutip dari buku Bulding Envelope User Guide yang disusun oleh pemerintah DKI Jakarta dan IFC, Ariko menyebut pengunaan terbesar ada di penghawaan udara. Selanjutnya pencahayaan, transportasi, dan penggunaan energi lainnya. “Maka persepsi mahal karena dikaitkan dengan Air Conditioner (AC). Pengelola mengeluarkan biaya tinggi hanya untuk itu,” sebutnya.

Menurutnya, sudah menjadi kebiasaan orang Indonesia yang tinggal atau bekerja di gedung besar seperti kantor, hotel, rumah sakit selalu menggunakan AC. Kebanyakan orang menganggap AC menjadi sumber kenyamanan ruangan. Ariko menyebut coefficient of performance di AC tinggi maka kw/ton nya semakin rendah. “Pemahaman mengenai kenyamanan dalam gedung pun direduksi seolah-olah yang penting dingin,” ujar Ariko.

Ariko juga menyebut terdapat beberapa sumber yang menyebabkan ruangan menjadi panas, di antaranya panas CPU komputer, lighting atau pencahayaan, dan yang terbesar adalah cendela. Menurut hasil buku yang dikutipnya, pembagian presentasi tersebut diantaranya equipment 23%, walls 3%, lighting 6%, occupancy 8%, cendela 60%. Alasan jendela menjadi sumber terbesar panasnya ruangan menurut analisa tersebut sebab adanya tingkat refleksi memantulkan pada tahap tertentu yang mempengaruhi bagian di dalamnya.

Ariko menegaskan bahwa sudah saatnya arsitek memikirkan cara lain agar penggunaan energi AC berkurang, karena AC memberi dampak panas global. Bangunan yang dapat dijadikan referensi dalam mengurangi penggunaan AC adalah bangunan Molmen Rise karya WoHA di Singapura.

Selain energi, arsitek juga harus memperhatikan material yang digunakan. Menurut Ariko arsitek sudah saatnya memanfaatkan penggunaan material bangunan yang dapat di daur ulang dan ramah lingkungan. “Jadi memandang arsitek tidak hanya melulu pada tampilan bangunannya. Tetapi juga meninjau apakah nanti material yang digunakan kelak, 10 tahun ke depan akan menjadi sampah atau masih bisa daur ulang, atau digunakan lagi,” ungkapnya.

Ariko menyebut beberapa material bangunan yang dapat dilakukan seperti kayu, pasir, kaca, jamur, bahkan tanah. Menurutnya penggunaan kayu dapat menyebabkan meningkatnya penggundulan hutan, hal ini jika terus dilakukan dapat mengakibatkan bencana banjir atau tanah longsor. Ariko mencontohkan ketika lahir seseorang di bumi, maka orangtuanya menanamkan sebuah pohon untuk dirinya. Harapannya kelak 20 hingga 30 tahun ke depan pohon dapat dimanfaatkan untuk mendirikan rumah anaknya.

Selain kayu, Ariko menyatakan penggunaan pasir secara berkelanjutan dapat memunculkan danau atau sungai baru. Bertambahnya genangan air di muka bumi juga dapat mengakibatkan bencana seperti banjir. Ariko mendorong agar pembangunan dirubah dengan beton kertas bekas atau beton jamur yang dianggap lebih ramah lingkungan.

Di akhir sesi, Ariko berpesan kepada calon arsitek khususnya untuk tidak hanya berorientasi kepada manusia, melainkan berorientasi juga kepada alam. Menurutnya tidak salah mengikuti keinginan klien namun di saat ini juga dipikirkan dampak kedepannya. “Kalau kita tidak berubah maka kita akan terancam. Selamatkan bumi baru selamatkan manusia, karena yang dapat menyelamatkan itu perilaku orangnya,” tutup Ariko. (SF/RS)