Perlindungan Hukum Korban Kekerasan dan Pelecehan Seksual Minim

Kasus kekerasan dan pelecehan seksual di Indonesia masih menjadi problematika dan belum memiliki kepastian hukum yang kuat, terutama dalam hal pembuktian di peradilan. Berangkat dari isu ini, Lembaga Eksekutif Mahasiswa (LEM) FH UII menyelenggarakan diskusi publik “Problematika Penanganan Kasus Pelecehan dan Kekerasan Seksual di Indonesia” pada Sabtu (18/9). Acara ini mengundang Asni Damanik (Koordinator Tim Substansi RUU PKS) dan Dr. Bahrul Fuad, M.A. (Komisioner Komnas Perempuan) sebagai pemateri.

Asni mengatakan bahwa perlindungan pada korban kekerasan seksual di Indonesia saat ini masih sangat minim. Korban kekerasan seksual masih sulit membuktikan saat dia menjadi korban kekerasan seksual. Selain itu proses peradilan yang lama kerap kali menjadikan kasus ini terhambat dan tidak ditindak lanjuti. 

Mirisnya lagi ketika kasus yang diajukan oleh korban mendapat SP3 atau dinyatakan sudah tidak dapat ditindaklanjuti, korban malah kembali dituntut oleh pelaku kekerasan seksual dengan tuntutan pencemaran nama baik, dan lain sebagainya.

Ia menilai perlu adanya beberapa perbaikan. Pertama, pasal-pasal dalam KUHP belum berspektif korban kekerasan seksual. Asni mengambil contoh tentang pasal perkosaan. Dalam KUHP, perkosaan hanya terjadi pada perempuan yang belum pernah menikah, kemudian harus ada unsur kekerasan dan ancaman, serta ada tindakan penetrasi. Penetrasi harus dibuktikan dengan visum, dan apabila tidak terbukti maka tindakan tersebut tidak dapat diputuskan dengan tindakan perkosaan, melainkan tindakan pencabulan. 

Kedua, keterangan ahli, menurut Asni masih banyak ahli yang tidak berspektif korban. Pihak ahli kurang pemahamannya terhadap posisi korban, sehingga banyak ahli yang dihadirkan ke pengadilan malah kerap kali menyudutkan korban atas keterangannya.

Ketiga, dari struktur hukumnya. Di Indonesia, baik sumber daya manusia (SDM) maupun instansi atau lembaga pemerintahan, masih sedikit yang terlatih untuk dapat memahami korban. Masih banyak lembaga yang kurang peduli dengan korban kekerasan seksual, dan tidak sedikit juga masyarakat yang malah menyalahkan korban kekerasan seksual. 

Keempat, budaya hukum yang masih menerapkan budaya patriarki. Sistem peradilan yang rumit kerap kali membuat korban kelelahan baik dari segi psikis hingga biaya, yang menyebabkannya memilih untuk mencabut gugatannya.

Masyarakat masih memposisikan korban sebagai penyebab terjadinya kekerasan dan melihat kasus kekerasan seksual sebagai permasalahan korban saja. Kurangnya empati dan kepedulian dari saksi yang mengetahui tindakan kekerasan seksual tersebut. 

Menurut Asni disahkannya RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) menjadi hal yang sangat penting. Sebab, dalam RUU TPKS ini mengandung 6 elemen kunci, yaitu: memuat 9 bentuk kekerasan seksual, pengakuan terhadap hak-hak korban, hukum acara yang terpadu dengan pengaturan alat buktinya, ketentuan pemidanaan, pencegahan, dan pemantauan terhadap tindakan kekerasan seksual.

Sementara itu, Bahrul Fuad menyebut kasus kekerasan seksual terhadap perempuan di Indonesia telah mencapai angka 8.000 kasus. Sebanyak 79%-nya merupakan kasus terhadap perempuan yang mencapai angka 6.480 kasus dengan cakupan kasus kekerasan terhadap psikis, kekerasan terhadap seksual, dan kekerasan terhadap fisik. Menurut Fuad, hal ini terjadi dikarenakan adanya ketidakseimbangan relasi gender antara perempuan dan laki-laki.

Selain itu, Fuad menjelaskan dalam lingkup mikro (individu), perempuan masih kurang mendapatkan informasi terkait pemahaman terkait kekerasan seksual. Sedangkan di lingkup keluarga, mayoritas perempuan juga masih memiliki ketergantungan ekonomi terhadap pasangan maupun anggota keluarga lainnya. 

Stigma masyarakat yang menganggap kekerasan seksual terjadi karena perempuannya yang menggoda, perempuan kerap kali dicap sebagai perempuan murahan, perempuan nakal juga masih kental. Di sisi lain, pelaku tidak pernah disalahkan. 

Pada tataran kebijakan, masih banyak kebijakan-kebijakan yang tidak ramah terhadap perempuan. Misalnya, dalam hal penyelesaian kasus kekerasan seksual, perempuan kerap kali tidak mendapatkan hak-haknya.

Senada, Fuad mendorong adanya pengesahan RUU TPKS. Pihaknya juga terus melakukan peningkatan literasi dan pengetahun masyarakat terhadap kasus kekerasan seksual, serta melawan hoax untuk mengatasi persoalan kekerasan seksual di Indonesia ini. Dengan ini harapannya ke depan, kasus kekerasan seksual di Indonesia dapat menurun dan dapat diatasi dengan lebih baik. (EDN/ESP)