,

Politik Dinasti dalam Perspektif Islam dan Negara

Melalui Podcast, Aufanida Ingin Mensyiarkan Ramadan

Direktorat Pendidikan dan Pembinaan Agama Islam Universitas Islam Indonesia (DPPAI UII) beserta Pusat Studi Hukum Fakultas Hukum (FH) UII menggelar webinar nasional keislaman seri kedua dengan tema Politik Dinasti dalam Perspektif Tata Negara dan Politik Islam pada Rabu (26/8) secara daring. Agenda ini secara langsung dimoderatori oleh Direktur Pusat Studi Hukum FH UII, Anang Zubaidy, SH., M.H.

Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan, Keagamaan, dan Alumni UII, Dr. Drs. Rohidin S.H., M.Ag. dalam sambutannya menyampaikan tema yang diangkat bukanlah tema baru, melainkan sudah dibahas sejak puluhan tahun silam. Namun, mulai hangat kembali setelah adanya pejabat, tokoh publik, dan atau pimpinan negara yang mencalonkan anggota keluarganya untuk terjun ke dalam dunia politik, seperti menjadi bupati, gubernur, bahkan presiden.

Politik dinasti diartikan oleh Rohidin sebagai bentuk suatu politik yang dijalankan oleh sekelompok orang dimana mereka masih memiliki ikatan keluarga. Meski demikian katanya, hal tersebut sebenarnya lebih identik di kerajaan, sebab kekuasaan akan diteruskan secara turun-temurun seperti dari ayah kepada anaknya. Sehingga kekuasaan suatu negara atau daerah selalu di tangan keluarganya. “Yang menjadi pertanyaan besar adalah apa yang akan terjadi seandainya negara atau daerah menggunakan politik dinasti? Ini pertanyaan besar yang insyaAllah akan dijawab dalam webinar ini,” tutur Rohidin.

Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia Burhanuddin Muhtadi, M.A., Ph. D., memberikan materi dengan tema Potret Dinasti Politik di Indonesia Pasca Reformasi. Ia menyebut terdapat tiga model dinasti politik, di antaranya dinasti politik arisan keluarga, lintas cabang kekuasaan, dan lintas daerah. Dinasti politik arisan keluarga terjadi dimana satu keluarga berganti memimpin satu daerah bahkan partai. Menurutnya hal ini bukan hanya strategi ekspansi kekuasaan, tapi juga pertahanan diri.

“Ini banyak terjadi di Indonesia. Umumnya dari tiga cabang kekuasaan, yang paling banyak menjadi incaran atau rebutan dinasti politik Indonesia adalah eksekutif dan legislatif, sedangkan yudikatif tidak terlalu diincar. Misalnya data pilkada 2015 hingga 2018, terdapat 117 kepala daerah terpilih yang berasal dari dinasti politik. 104 anggota DPR periode sekarang punya ikatan keluarga dengan elite,” ucap Burhanuddin.

Selain itu, terdapat tiga alasan dinasti politik terus berkembang atau laku di Indonesia. Burhanuddin menyebut alasan pertama, sebab tidak ada larangan dinasti politik ikut pemilu, kedua, lemahnya pelembagaan partai sehingga brand keluarga lebih penting ketimbang partai. Ketiga, pemilih juga tidak terlalu anti-dinasti. Selain itu, hal ini bertemu dengan nafsu kekuasaan yang ingin bertahan selama mungkin. Ia juga menyebut terdapat dampak positif dan negatif adanya dinasti politik.

Dari sisi positif antara lain dinasti politik dianggap sebagai proses mentorship di mana tokoh politik akan menularkan pengalaman dan proses pembelajaran secara langsung kepada anggota keluarganya, seperti yang terjadi di India, Filipina dan Amerika Serikat. Definisi dinasti politik tidak dapat disalahkan sebab tidak ada pasal konstitusi Indonesia yang dilanggar. “Konstitusi tegas menyatakan bahwa setiap warganegara punya hak memilih dan dipilih. Karena itu, pembahasan di DPR terkait UU untuk membatasi dinasti politik harus dilakukan secara hati-hati agak tidak menabrak rambu-rambu konstitusi,” tambahnya.

Selain itu, dari sisi negatif, Buhanuddin menyebut dampaknya terdiri atas dinasti politik memakan ongkos yang mahal, praktik dinasti sebagai pihak paling bertanggung jawab atas maraknya gejala personalisasi politik dan lemahnya kapasitas negara dan institusi politik, proses pengambilan keputusan tidak lagi didasarkan pada proses rasionalitas instrumental, namun didasarkan pada keputusan individual dari aktor-aktor dinasti yang berkuasa, pelembagaan partai politik juga tersumbat karena asas meritokrasi ditundukkan oleh hubungan darah dan hubungan keluarga, serta dinastokrasi juga tidak menawarkan insentif jenjang karir politik yang jelas bagi kalangan luar yang berintegritas dan punya kapasitas agar bersedia aktif di dalam partai.

Burhanuddin menyatakan terdapat dua level reformasi yang mencegah dinasti politik, yakni reformasi dari sisi supply-side dan sisi demand. Pertama, reformasi dari sisi supply-side, partai politik sebagai produsen pejabat publik harus bertindak adil dalam mencalonkan pejabat publik. Partai tidak boleh sekadar melirik faktor popularitas dan sumberdaya finansial calon, tapi juga mengedepankan calon-calon yang punya integritas dan kapasitas. Aturan pembatasan dana kampanye juga harus ditegakkan agar tercipta playing field yang adil antara calon yang kantongnya cekak dengan calon dari dinasti yang biasanya berkelimpahan dana. Akses dinasti untuk melanggengkan kekuasaannya dengan cara-cara yang tak terpuji juga harus ditutup rapat-rapat. Sedangkan reformasi dari sisi demand-side, katanya pemilih harus mendapatkan pendidikan politik dari civil society dan media agar bisa memilih dengan didasarkan kualitas pilihan yang baik, bukan semata-mata popularitas dan uang. Prinsip reward and punishment harus dilakukan pemilih.

Lebih lanjut Burhanuddin menyarankan agar di Indonesia diberlakukan kemudahan dalam syarat pencalonan kepala daerah. Sebab ambang batas pencalonan kepala daerah sekarang terlalu tinggi sehingga sulit memunculkan alternatif penantang dinasti jika partai-partai merapat ke calon dinasti. Selain itu, syarat pencalonan kepala daerah melalui jalur independen juga harus dipermudah.

Di sisi lain, Ketua Prodi Doktor Hukum Islam FIAI UII Dr. Yusdani, M.Ag. menyampaikan orasinya bertemakan Dinasti Politik dalam Perspektif Politik Islam. Ia menuturkan bahwa di Islam dalam pandangan tertentu tidak memiliki sistem atau teori baku tentang kepolitikan Islam atau politik negara. Artinya sangat tergantung kepada konteks hukum dan bagaimana perkembangan politik yang disepakati bersama. Di dalam Islam salah satu doktrin yang selalu diproduksi dan dikenalkan dalam publik adalah perilaku pimpinan atau pemerintahan yang dapat mendatangkan kemaslahatan. Kemaslahatan tersebut dapat diterjemahkan sebagai keadilan atau kemakmuran.

Menurut Yusdani, dinasti politik identik dengan otoritarianisme yaitu suatu sistem politik modern yang sebelumnya sudah dibekukan dan dikondisikan sedemikian rupa sehingga rakyat melalui wakilnya hanya dapat memilih anak atau istri dari keluarga penguasa lama. Politik dinasti yang dipilih bukan secara sukarela atau by consent, tetapi secara represif. “Politik dinasti sebagai bagian dari mekanisme reproduksi kekuasaan pribadi yang vulgar yang memanfaatkan sistem demokrasi yang baru. Politik dinasti berkolaborasi secara intens dengan politik uang, kapitalisme media, dan budaya patronase,” katanya.

Terdapat dua pandangan tentang dinasti politik sebagaimana disebutkan Yusdani. Pertama, pandangan Ekstrem Liberal yang menganggap bahwa inti dari politik adalah hak-hak individual, dinasti politik diperbolehkan, bahkan mesti dibela. Hal tersebut dipandang sebagai bagian dari hal individu. Kedua, pandangan Republikan menganggap dinasti politik secara prinsip tidak bisa diterima

“Secara prinsip dinasti politik ditolak karena beberapa sebab diantaranya terdapat dasar sekaligus tujuan kepentingan pribadi atau private interest, politik selalu menjadi urusan yang publik sehingga prinsip ini tidak dapat ditelikung dengan manipulasi uang, media dan eksploitasi budaya patronase, serta invasi kepentingan pribadi sudah mencapai tahap kegilaan tertentu. Misalnya para artis atau anak mengandalkan bombatisme media untuk bertarung dalam pilkada. Secara prinsip ini dapat merusak substansi politik dan demokrasi yang mengedepankan kemaslahatan umum,” sebut Yusdani.

Selain itu, ia menyampaikan babwa politik muslim dalam sejarah era klasik dan tengah cenderung melegitimasi atau menjustifikasi realitas dan sistem politik yang ada. “Terdapat tiga konsep penting dalam pemikiran politik muslim antara lain aqidah, kabilah, genimah. Aqidah di sini bukan aqidah rukun iman. Aqidah di sini adalah doktrin ideologi,” ucap Yusdani. (SF/RS)