Produksi Tanpa Cacat dengan Six Sigma

Dari masa ke masa, industri terus berkembang dengan begitu pesat. Kemajuan teknologi yang ada mendorong dunia industri berkerja secara optimal dan cepat. Segala hal dalam proses produksi diupayakan berlangsung seefisien mungkin dan tanpa cacat, sehingga keuntungan maksimal dapat diperoleh. Berbagai metodologi perbaikan berkelanjutan pun bermunculan dan banyak dimanfaatkan oleh industri berskala besar, Six Sigma salah satunya.

Sebagai salah satu upaya memberikan bekal bagi mahasiswanya sebelum terjun di dunia kerja, Program Studi (Prodi) Teknik Industri Universitas Islam Indonesia (UII) telah menjadikan Six Sigma sebagai mata kuliah tersendiri yang dipelajari dalam satu semester. Agar memahami lebih jauh implementasinya, Prodi Teknik Industri mengundang Taat Mulyono, S.T., M.T. selaku praktisi dalam acara bertajuk Kuliah Pakar pada Sabtu (27/6) yang diikuti 60 orang lebih mahasiswa prodi tersebut. ‘Six Sigma Implementation in Real Workplace: Sharing from Practitioner’ menjadi judul yang diangkat pada kesempatan ini.

Di awal perbincangan, ia mengapresiasi pemberian ilmu seperti Six Sigma kepada mahasiswa. “Tantangannya adalah, tools ini (Six Sigma dan metodologi lain sejenis) tidak mudah didapat begitu saja. Kenapa? Karena secara umum ilmu-ilmu ini tidak banyak diajarkan di kampus. Mungkin beberapa kampus, seperti UII menurut saya sudah maju sekali. Jadi ini perlu teman-teman syukuri,” ucapnya.

Ketertarikan Taat Mulyono dalam perbaikan dan penyempurnaan produksi perusahaan membawanya menduduki jabatan Head of Manufacturing Excellences di salah satu perusahaan multinasional ternama di bidang pangan. Ia pun bergelut dengan berbagai metodologi perbaikan berkelanjutan, seperti Six Sigma. “Operasi (perusahaan) penting, tapi perbaikan dan juga edukasi untuk karyawan itu menjadi hal yang sangat menarik buat saya,” ungkapnya.

Penamaan angka enam pada istilah Six Sigma sendiri berasal dari banyaknya tingkatan yang ada. Tiap tingkatan menggambarkan jumlah deviasi atau cacat dari sejumlah produk yang dibuat. Sigma pada tingkat keenam menunjukkan tingkat deviasi terendah dengan potensi kegagalan produk sejumlah 3,4 dari satu juta unit. Sehingga, semakin tinggi tingkat sigma, maka semakin baik produk yang dihasilkan, karena kecilnya peluang kegagalan produksi.

Fase-fase pada Six Sigma dikenal dengan DMAIC, singkatan dari Define, Measure, Analyze, Improve, dan Control. Hal ini disebutnya sebagai ‘core of the core’ karena jalannya proses pada Six Sigma didasari oleh fase tersebut. Tahapan ini dilakukan berurut satu per satu.

“Ini (DMAIC) adalah step by step, proses yang akan dijalani ketika menjalankan program Six Sigma. Di perusahaan, dari setiap tahapan, itu ada gate review namanya. Jadi ketika kita selesai dalam satu tahapan, define misalnya, maka akan ada review untuk memastikan bahwa apa-apa yang dilakukan di sebelah kiri (proses sebelumnya) itu sudah oke. Jadi jangan sampai nanti sudah melaju, eh ternyata balik kembali,” sebutnya.

Aktivitas pada tiap fase dan rekomendasi penggunaan alat bantu dijelaskan olehnya secara gamblang. Pemaparan fase-fase ini menjadi yang terpenting dan terlama ia sampaikan. Berbagai hal terkait seperti tingkat kompleksitas penyelesaian masalah dengan Six Sigma, manajemen perubahannya, serta contoh nyata di lapangan pun juga dibagikan oleh pria asal Temanggung itu. Setelah sesi tanya jawab, Kuliah Pakar yang berlangsung hampir dua jam ini pun usai dan diakhiri foto daring bersama. (HR/RS)