Prospek Nanoteknologi dari Bahan Alam di Indonesia

Mindset

Potensi sumber daya alam di Indonesia sangat melimpah. Terdapat sekitar 40.000 jenis tumbuh-tumbuhan obat yang telah dikenal di dunia, yang mana 30.000-nya disinyalir berada di Indonesia. Jumlah ini mewakili 90% dari tanaman obat yang ada di wilayah Asia.

Hal tersebut disampaikan Prof. Dr. apt. Yandi Syukri, S.Si., M.Si., Guru Besar Bidang Farmasetika UII dalam ICPRP-2022 (International Conference on Pharmaceutical Research and Practice) Nano technology- nano pharmacy. Workshop ini berlangsung dua hari yaitu pada Jum’at-Sabtu (10-11/6).

“Ada tiga pendekatan yang berpotensi dalam produk bahan alam, di antaranya adalah kosmetik, pangan, dan empiris pengobatan tradisional. Dua pendekatan yang berpotensi berdasarkan saintifik yaitu dengan menggunakan farmakologi dan fitokimia,” tutur Yandi Syukri.

Lebih lanjut Yandi Syukri menyampaikan pentingnya penggunaan prospek nanoteknologi untuk pengembangan obat alam. Ilmuwan mempercayai bahwa material memiliki “rentang panjang kritis”.

“Apabila dimensi material mencapai rentang panjang kritis, sifat-sifat material akan berubah secara signifikan, meliputi sifat fisik, kimia dan biologis. Rentang panjang kritis tersebut merupakan rentang nanometer,” sebutnya.

Yandi Syukri mengungkapkan ekstrak tanaman mengandung metabolit sekunder seperti asam fenolik, flavonoid, alkaloid dan terpenoid yang berfungsi untuk reduksi ion menjadi pembentukan nanopartikel metalik/logam. Pada zaman primitif, logam dan tanaman digunakan untuk mengobati infeksi, tetapi karena penggunaannya yang acak tanpa diagnostik yang tepat, banyak kematian terjadi bahkan dalam kasus infeksi ringan.

Sementara teknologi nanopartikel dalam farmasetika dapat berfungsi untuk meningkatkan kelarutan obat. Kelarutan obat dalam air merupakan sifat fundamental yang berperanan dalam absorpsi obat setelah pemberian. Dalam penemuan obat, hampir 70% senyawa kimia baru yang ditemukan sukar larut dalam air. Biopharmaceutics classification system (BCS) merupakan suatu klasifikasi saintifik dari obat berdasarkan kelarutan dalam air dan permeabilitas intestinal yang berhubungan dengan disolusi in vitro dan ketersediaan hayati in vivo dari produk obat.

“Biosintesis nanopartikel logam sebagai alternatif pencarian antibiotika, karena meningkatnya resistensi bakteri terhadap antibiotika, pengembangan alternatif meliputi penemuan antibiotik generasi baru, terapi kombinasi (pembentukan kompleks), senyawa antibakteri alami (peptida, ekstrak tanaman), serta sistem nanopartikel,” jelas Yandi Syukri.

Ada dua syarat dalam uji kelarutan untuk pemilihan minyak, surfaktan dan ko-surfaktan. Syarat pertama, pembawa harus memiliki kemampuan melarutkan obat yang tinggi untuk menghasilkan drug loading yang optimal. Selanjutnya, syarat kedua, pembawa terpilih harus mampu membentuk nanoemulsi.

Selain itu, Yandi Syukri juga menjelaskan pentingnya uji ketahanan dengan pengenceran. Parameter ini perlu dipertimbangkan karena berpengaruh pada sistem emulsi yang terjadi secara spontan dan juga upaya awal untuk menyerupai kondisi in vivo dimana formulasi mengalami pelarutan secara perlahan. “SNEDDS diencerkan 25, 50, 100 dan 250 kali dengan aquabides berikut dievaluasi ukuran partikelnya menggunakan particle size analyzer,” jelasnya.

“NEEDS sendiri merupakan salah satu formula nanopartikel berbasis minyak atau lemak. Formulasi yang menunjukkan tidak ada perubahan ukuran partikel setelah pengenceran dengan perbedaan media dispersi terseleksi untuk uji in vitro,” sebut Yandi Syukri. (A/RS)