Renungan Mengapa Masih Bertemu Ramadan Tahun Ini?

Bisa bertemu Ramadan di tahun ini merupakan anugerah tersendiri. Pasalnya, tidak sedikit umat muslim yang tak lagi bisa bersua dengan Ramadan karena menjadi korban dalam pandemi Covid-19. Ini yang jadi pertanyaan, kenapa Allah memilih saya dan Anda semua untuk tetap hidup? Apa keistimewaan kita sehingga bisa bertemu Ramadan lagi?. Pernyataan itu dilontarkan Ustadz drh. Agung Budianto, M.P., Ph.D. dalam acara Pesantren Daring Ramadan 1442 Hijriah pada Selasa (4/5) yang digelar Rektorat UII.

Menurutnya, terkadang manusia tidak merasa bahwa kesempatan hidupnya adalah sebuah keajaiban, anugerah atau nikmat dari Allah. Yang menjadi masalah adalah ketika kita dipanggil Allah atau meninggal dunia, lalu tidak ada lagi waktu untuk kembali padahal selama diberi kesempatan ia tidak pernah bersyukur. Maka dalam kematiannya, yang ada hanyalah penyesalan.

Ustadz Agung Budiman menyatakan dalam Al-Quran terdapat tiga jenis terminologi waktu. Pembagian pertama, sifatnya past tense dalam bahasa Inggris semuanya berisi kisah-kisah sekitar 70% bisa mengenal orang-orang terdahulu. Bagian kedua, kehidupan menurutnya bentuk present yakni apa yang diajarkan sekarang untuk memahami masa depan akan terkait di dalam terminologi. Adapun bagian tiga, ketika melakukan kesalahan, manusia memiliki kesempatan untuk melanjutkan atau berhenti. Namun, manusia juga dapat mengalami penyesalan.

Ia pun mengajak audiens untuk bertaubat atas dosa ataupun kesalahan di masa lampau selagi masih hidup di dunia. Terlebih di momen 10 hari terakhir bulan Ramadan adalah waktu yang tepat. Sebab ketika manusia sudah meninggal, pintu taubat telah tertutup sehingga hanya meninggalkan penyesalan bagi yang belum melakukannya.

Menurutnya, Allah tidak akan pernah salah dalam menghitung amal manusia. “Daripada menyesal dan teriak-teriak di sana (akhirat), lebih baik teriak sekarang, teriakan penyesalan dengan memohon ampun kepada Allah. Dan hindari sikap takabur atau merasa tidak pernah bersalah,” pesannya.

Selanjutnya ia mengingatkan kepada para jamaah yang bekerja di bidang pendidikan dan riset untuk berhati-hati, sebab menurutnya telah banyak kesombongan dimulai dari kepentingan. “Orang pintar itu bisa punya dua mata. Mata pertama menjadi orang yang sangat bermanfaat, dan mata uang lain justru menjerumuskan ke hal negatif,” ceritanya. Seperti salah satu kisah yang fenomenal yakni kepandaian kaum Tsamud yang diberikan anugerah dapat membangun arsitektur kota atau rumah dengan sangat indah pada masa sebelum masehi. Lalu mereka memindahkan orang yang tinggal di gua ke bangunan buatan mereka.

“Kita punya ilmu atau kekuatan lantas sombong, tidak boleh bangga dengan diri kita saja apalagi kita merasa luar biasa. Pesantren ini menunjukkan wajah-wajah kita diletakkan di lantai kepada Allah. Menunjukkan kefakiran kita, menunjukkan ketidakmampuan kita. Mau itu Bapak rektor, dekan, wakil dekan, kaprodi vokasi muka sama semua wajahnya akan mengangkat derajat orang-orang yang penuh kerendahan hati di hadapan Allah. Amin,” doanya Ustadz Agung Budiman di akhir sesi kajiannya. (SF/ESP)