Reshuffle Menteri Disinyalir Sarat Unsur Politik

Presiden Joko Widodo beberapa waktu lalu menyelenggarakan reshuffle menteri. Reshuffle ini terkesan dilakukan secara tiba-tiba dan sarat dengan unsur politik, mengingat Presiden Joko Widodo mencoba untuk mengakomodir beberapa partai politik, jika melihat pada komposisi orang yang ditempatkan baik sebagai manteri maupun sebagai wakil menteri dalam reshuffle ini.

Menanggapi hal ini, Pusat Studi Hukum Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (PSHK FH UII) menyelenggarakan webinar bertemakan “Manuver Menteri Jelang Pemilu dan Kabinet Presidensial yang Efektif” melalui zoom meeting online pada Kamis, (23/6), dengan mengundang para pemateri yang ahli di bidangnya. Diantaranya yaitu Dr. Sri Hastuti Puspitasari, S.H., M.H yang merupakan Dewan Penasihat PSHK dan Dosen Hukum Tata Negara (HTN) FH UII, Dr. Abdul Gaffar Karis, S.IP., M.A. Dosen Fisipol UGM, dan Direktur Perludem, Khoirunnisa Nur Agustyati, S.Sos., M.IP.

Mengawali penyampaian materi, Khoirunnisa menyampaikan bahwa saat ini Komisi Pemilihan Umum (KPU) sudah mulai melakukan launching terkait tahapan pemilu. Tak hanya itu, jadwal pemilu juga sudah ditetapkan dalam Peraturan KPU Nomor 3 Tahun 2022. Pada tahun 2022 ini, akan dilaksanakan tahap pertama yaitu pendaftaran partai pemilu pada Bulan Juli mendatang. Setidaknya ada 75 partai politik di Indonesia yang telah terdaftar di kemenkumham, namun belum tentu terdaftar di KPU sehingga masih belum dapat dipastikan apakah partai-partai tersebut akan menjadi peserta pemilu tahun 2024.

Ia menjelaskan bahwa semua partai politik yang mendaftar nantinya akan dilakukan verifikasi faktual dan administratif. 9 partai politik yang sudah mengikuti pemilu sebelumnya tidak perlu mengikuti verifikasi faktual dengan dasar putusan MK, sedangkan sisanya wajib mengikuti verifikasi faktual. Tahap ini akan berjalan hingga bulan Desember dan baru akan ditetapkan siapa saja partai politik dapat menjadi peserta pemilu.

Khoirunnisa berpandangan bahwa pelaksanaan pemilu memiliki beberapa tujuan, seperti untuk memilih legislatif dan eksekutif, memilih perwakilan politik, melakukan pengintegrasian politik agar pemilu tidak memecah belah bangsa, dan sebagai upaya efektifitas pemerintahan yang diharapkan bisa menjalankan pemerintah dengan efektif. Selanjutnya, jika melihat pada dasar hukumnya, Khoirunnisa menyampaikan bahwa pelaksanaan pemilu di tahun 2024 mendatang masih menggunakan dasar hukum yang sama dengan pemilu 2019.

Pada tahun 2019 tersebut banyak sekali kompleksitas yang terjadi, seperti tingginya surat suara tidak sah yang mencapai jumlah 11% menunjukan bahwa adanya kebingungan masyarakat dengan pelaksanaan pemilu 5 kotak. Selain itu, atensi publik juga hanya terfokus pada pemilihan presiden. Jika sistem yang sama kembali diterapkan pada pemilu 2014, maka akan berpotensi adanya kecurangan, konflik, hingga sengketa publik.

Untuk mengatasi persoalan tersebut, Khoirunnisa memiliki beberapa rekomendasi yang dapat dilakukan oleh pemerintah. Diantaranya yaitu mendorong demokratisasi di Intenal partai politik, mewujudkan transparansi keuangan partai politik, melanjutkan reformasi sistem pemilu, memberikan jaminan independensi penyelenggara pemilu, dan penguatan terhadap konsolidasi partai politik.

Selanjutnya Sri Hastuti menyampaikan bahwa keberadaan partai politik berawal dari adanya system demokrasi. Partai politik berperan penting untuk mengroganisasikan demokrasi dan menjadikan wujud demokrasi yang progresif, Keberadaan partai politik merupakan perlambangan sebagai sifat manusia yaitu zoon politicon. Kaitan antar partai politik dengan lembaga partai politik yaitu seorang legislator tidak akan bergerak tanpa adaya partai politik. Dengan demikian, menurutnya, partai politik memiliki peran yang fundamental dalam sistem negara demokrasi.

Salah satu sistem partai politik yang sering dipakai di beberapa negara demokrasi adalah sistem multipartai. Meski menurut pandangan S. Warring, sistem multipartai dalam sistem negara presidensil tidak akan berjalan secara stabil, sebab multipartai dipandang tidak sinergis dalam sistem presidensil sehingga berpotensi menghasilkan kesulitan akibat adanya konflik antar presiden dengan partai politik, yang disebabkan oleh ketidakmampuan presiden dalam mengkonsolidasikan partai politik.

Namun pada praktiknya, multipartai masih tetap dilaksanakan oleh beberapa negara penganut sistem demokrasi, salah satunya adalah Indonesia. Beberapa alasan yang mendasari penggunaan sistem multipartai di Indonesia dikarenakan: adanya heterogenitas masyarakat, permasalahan terkait hak politik, upaya untuk menciptakan kompetisi dan sebagai wujud liberalisasi partai politik. Hal inilah yang akhirnya turut mendorong Presiden berusaha untuk terus mendapat dukungan yang kuat dari partai-partai politik dalam melaksanakan pemerintahannya.

Meski demikian, Sri Hastuti berpandangan bahwa adanya kabinet koalisi (partai politik yang mendukung presiden) multipartai dapat berpotensi menyebabkan beberapa hal, yaitu pertama, pertimbangan spoil system lebih meninjol disbanding merit system dalam mengangkat Menteri. Kedua, terjadi ambivalensi dualisme loyalitas menteri. Ketiga, terjadi konflik kepentingan yang tinggi.

Keempat, terganggunya tugas tugas menteri karena menteri melakukan manuver politik menjelang pemilu, dan kelima, melemahnya sistem check and balances dari lembaga perwakilan karena mayoritas partau politik di lembaga perwakilan mempunyai wakil di dalam kabinet. Sehingga, ia berpandangan bahwa untuk membangun sistem multipartai yang efektif dapat dilakukan dengan pemerintah menetapkan bargaining position-nya dalam koalisi partai politik.

Terakhir, Abdul Gaffar menyampaikan bahwa salah satu sistem presidensil yang ideal dalam studi pemerintahan adalah sistem presidensil Amerika Serikat. Dalam sistem presidensil ini hanya terdapat dua mandat yang diberikan oleh masyarakat, yakni memilih legislatif dan pimpinan eksekutif. Semua yang terpilih nantinya baik eksekutif maupun legislatif wajib untuk menjalankan mandat dari masyarakat. Inilah yang kemudian menjadikan sistem presidensil dianggap lebih demokratis.

Dengan demikian, menurutnya sistem pemerintahan presidensil di Indonesia belum merupakan sistem presidensil yang ideal. Namun hal ini tetap dapat berjalan baik dengan adanya ketentuan threshold atau ambang batas yang memberikan batasan kepada partai-partai politik di Indonesia untuk menjadi peserta pemilu. (EDN/RS)