,

UII Dorong Kampus Peduli Kesehatan Mental Mahasiswa

Dalam memperingati Hari Kesehatan Mental Sedunia, Universitas Islam Indonesia (UII) melalui Direktorat Pembinaan Kemahasiswaan (DPK) menyelenggarakan acara Diskusi Panel Kesehatan Mental Mahasiswa: Dari Kebijakan hingga Aksi Nyata.Acara yang berlangsung pada Sabtu (11/10) di Gedung Kuliah Umum Prof. Dr. Sardjito, Kampus Terpadu UII, diikuti oleh sejumlah mahasiswa yang tergabung dalam Forum Pimpinan Perguruan Tinggi Bidang Kemahasiswaan (Forpimawa) Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).

Kegiatan ini menghadirkan empat narasumber antara lain Muhammad Iqbal Fauzi, S.E., selaku Ketua Tim Pembelajaran dan Kemahasiswaan LLDIKTI Wilayah V, dr. Seruni Angreni Susila, M.Ph selaku Kepala Bidang Kesehatan Masyarakat Dinas Kesehatan Sleman, Latifatul Laili, S.Psi., M.Psi, Psikolog selaku Kepala Divisi Pembinaan Kepribadian dan Kesejahteraan DPK UII, dan Salma Fairuz Putri selaku Ketua PIK-M Aushaf UII.

Kebijakan Kampus Ramah Kesehatan Mental
Sesi pertama dibawakan oleh Iqbal Fauzi menyoroti hanya sebagian kecil saja remaja dengan masalah kesehatan mental yang pernah mengakses layanan psikologis, padahal prevalensi masalah kesehatan mental khususnya untuk isu kecemasan dan depresi makin meningkat.  Maka dari itu, penting untuk perguruan tinggi meningkatkan layanan kesehatan mental untuk mahasiswa.

Dari permasalahan tersebut, LLDikti Wilayah V menginiasiasi pembentukan Mental Health Center (MHC) yang mendorong setiap perguruan tinggi untuk menyediakan unit layanan konseling, membekali dosen dan tenaga kependidikan dalam psychological first aid (PFA), serta melakukan skrining kesehatan mental secara rutin.

“Kebijakan ini juga mencakup pembentukan kebijakan anti-stigma dan anti-diskriminasi terhadap mahasiswa dengan gangguan mental, serta kolaborasi dengan rumah sakit dan puskesmas untuk memperkuat sistem rujukan,” ungkap Iqbal Fauzi.

Upaya Pemerintah dalam Penguatan Kesehatan Jiwa
Survei Kesehatan Indonesia tahun 2023 menunjukkan provinsi DIY menempati peringkat 1 dengan prevalensi ODGJ tertinggi national dengan 2.936 jiwa berasal dari Kabupaten Sleman. Perolehan data ini menunjukkan urgensi penanganan masalah kesehatan mental yang semakin serius.

Menanggapi kondisi tersebut, Dinas Kesehatan Kabupaten Sleman menginisasi program Mata Hati (Masyarakat Tangguh Sehat Jiwa) yang menempatkan kesehatan jiwa sebagai bagian integral dari pembangunan sumber daya manusia. Hingga tahun 2024, seluruh puskesmas di Sleman sudah memiliki tenaga psikolog dan fasilitas pendukung yang memadai.

Tidak berhenti disitu, program ini juga merespon zaman dengan menghadirkan layanan konsultasi psikolog daring yang semakin memudahkan masyarakat mengakses bantuan profesional. Terbukti, program ini menimbulkan dampak positif masyarakat hingga apresiasi pada level nasional dan internasional.

“Pemerintah daerah disini hadir berkolaborasi bersama seluruh sektor untuk menurunkan kesenjangan warga dalam mendapatkan akses yang setara untuk hidup layak khususnya kesehatan jiwa serta menghadirkan kesejahteraan yang adil dan setara bagi setiap warganya,” harap dr. Seruni.

Peran Universitas dalam Membangun Kesehatan Mental Mahasiswa
Kesehatan mental mahasiswa telah menjadi isu global yang mendapat perhatian serius, terutama mengingat prevalensi gangguan psikologis yang tinggi di lingkungan perguruan tinggi. Dalam hal ini, UII terus untuk selalu merespon dan menjadi pelopor yang secara konsisten mengembangkan layanan konseling mahasiswa. Sejak 2010, layanan ini terus berkembang hingga melibatkan konselor profesional dan sebaya.

Hingga pada tahun 2023, UII meluncurkan program PEKA (Peduli Kesehatan Mental Mahasiswa) UII Terpadu menghadirkan pendekatan menyeluruh dengan melibatkan sivitas akademika UII yang telah mendapat pelatihan psychological first aid (PSA) hingga penanangan kasus krisis yang bekerja sama dengan Dinas Kesehatan Kabupaten Sleman.

Kemudian tahun 2024, UII membukan layanan konseling berbasis kecerdasan buatan (AI) untuk level masalah psikologis ringan. Pengembangan ini menjawab kebutuhan konseling yang semakin besar dan bertujuan memperluas akses bagi mahasiswa yang membutuhkan dukungan awal sebelum dirujuk ke layanan profesional.

“Satu poin yang menurut perlu disuarakan bersama adalah mental health matters. Tidak ada kesehatan tanpa kesehatan mental, jadi mari kita urus kesehatan mental kita bersama,” tegas Latifatul Laili.

Mahasiswa sebagai Agen Perubahan Sosial
Pengawalan masalah kesehatan mental tidak hanya sebatas pada penerapan kebijakan dan peran universitas, tetapi ada andil mahasiswa dalam mengurai masalah ini. Banyak cara yang bisa dilakukan mulai dari kampanye media sosial, konseling sebaya, belonging project, hingga edukasi.

“Harapannya dapat terbentuk lingkungan kampus yang peduli akan kesehatan mental, sehingga mampu menciptakan dukungan kegiatan yang berkelanjutan dan membuat mahasiswa berani mencari bantuan tanpa takut akan stigma yang ada,” ungkap Salma

Dengan adanya kegiatan ini, diharapkan seluruh pemangku kepentingan termasuk mahasiswa semakin sadar dan peduli bahwa isu kesehatan mental ini bukanlah hal yang sederhana. Diperlukan komitmen bersama untuk terus mengawal dan meningkatkan kualitas layanan penanganan masalah kesehatan mental, sehingga dapat terwujud sumber daya manusia yang unggul, dan sehat secara fisik maupun mental. (AHR/RS)