SP UII Selenggarakan Pelatihan Penanganan Perkara di Lingkungan Kampus

Sekretariat Pimpinan (SP) Universitas Islam Indonesia (UII) mengadakan Pelatihan Penanganan Perkara di Lingkungan UII dalam rangka penguatan kompetensi dan peningkatan etos layanan, pada Rabu (17/12) di Gedung Kuliah Umum Prof. Dr. Sardjito, Kampus Terpadu UII. Pelatihan ini menghadirkan sejumlah narasumber dari berbagai bidang, yakni Kepala Badan Etika dan Hukum UII Anang Zubaidy, S.H., M.H.; dosen Jurusan Psikologi UII Dr. Retno Kumolohadi, S.Psi., M.Si., Psikolog dan Rr. Indahria Sulistya Rini, S.Psi., M.A., Psikolog; serta dosen Fakultas Hukum (FH) UII sekaligus Ketua DPC PERADI Kota Yogyakarta Dr. Ariyanto, S.H., C.N., M.H.

Sekretaris Eksekutif UII, Hangga Fathana, S.IP., B.Int.St., M.A., menyampaikan bahwa pelatihan ini menjadi momentum penting karena perguruan tinggi tidak hanya berfungsi sebagai penghasil pengetahuan, tetapi juga sebagai ruang pembentukan nilai-nilai etika. “Setiap proses di lingkungan perguruan tinggi perlu dijaga agar tetap stabil, andal, dan bermanfaat bagi banyak pihak,” ungkapnya.

Ia berharap pelatihan ini dapat meningkatkan pemahaman dan kesadaran akan pentingnya prosedur penanganan perkara yang tepat di lingkungan universitas. “Kegiatan ini tidak hanya memberikan pemahaman teknis, tetapi juga menumbuhkan kepercayaan dalam menjalankan layanan yang profesional dan berintegritas,” harap Hangga.

Menjaga Kerahasiaan, Netralitas, dan Praduga Tidak Bersalah
Materi pertama dibawakan oleh Dr. Ariyanto, S.H., C.N., M.H. yang menegaskan pentingnya prinsip kerahasiaan, inparsialitas, dan praduga tidak bersalah dalam setiap proses penanganan perkara. Prinsip-prinsip ini dinilai sebagai fondasi etika dan hukum agar proses berjalan adil bagi semua pihak.

Ariyanto menyampaikan bahwa kerahasiaan bertujuan melindungi martabat dan keamanan korban. “Identitas korban harus dijaga untuk mencegah trauma berulang dan stigma sosial,” sebagaimana ditekankan dalam prinsip penanganan perkara berbasis korban dan hak asasi manusia.

Selain itu, aparat penegak disiplin kampus dituntut bersikap objektif dan tidak memihak. Inparsialitas diperlukan agar setiap keputusan benar-benar didasarkan pada fakta dan aturan yang berlaku, bukan tekanan internal maupun eksternal.

Terkait praduga tidak bersalah, pemateri menegaskan bahwa setiap terlapor tetap memiliki hak hukum. “Setiap orang dianggap tidak bersalah sampai ada putusan yang berkekuatan hukum tetap. Prinsip ini adalah benteng terakhir perlindungan hak individu,” tegasnya.

Pendekatan Berbasis Korban sebagai Paradigma Penanganan Perkara
Selain aspek regulasi, pelatihan juga menyoroti pentingnya pendekatan berbasis korban (victim-centered approach) dalam penanganan perkara di lingkungan kampus. Pendekatan ini menempatkan korban sebagai subjek utama yang kebutuhannya harus diprioritaskan sejak tahap pelaporan hingga pemulihan.

Dr. Retno Kumolohadi, S.Psi., M.Si., Psikolog menjelaskan bahwa pendekatan berbasis korban bertujuan mencegah reviktimisasi. “Korban tidak hanya membutuhkan keadilan hukum, tetapi juga rasa aman, pengakuan, dan pemulihan psikologis,” jelasnya dalam sesi pelatihan.

Ia menekankan bahwa kasus perundungan, pelanggaran etika akademik, dan kekerasan seksual dapat menimbulkan dampak serius terhadap kesehatan mental korban. Dampak tersebut meliputi kecemasan, depresi, hingga gangguan stres pascatrauma yang berpengaruh langsung pada keberlanjutan pendidikan korban.

“Pendekatan ini mengajak korban berpartisipasi aktif dalam pengambilan keputusan yang menyangkut dirinya,” kata Retno. Menurutnya, layanan penanganan harus bersifat holistik, mencakup aspek psikologis, sosial, dan hukum secara terintegrasi.

Pendalaman Regulasi Penanganan Kekerasan di Lingkungan Kampus
Lebih lanjut, Anang Zubaidy sebagai narasumber ketiga menekankan pentingnya pemahaman regulasi nasional dan internal kampus dalam menangani berbagai bentuk kekerasan. Salah satu regulasi utama yang dibahas adalah Permendikbudristek Nomor 55 Tahun 2024 tentang pencegahan dan penanganan kekerasan di perguruan tinggi.

Anang menjelaskan bahwa peningkatan kesadaran hukum di kampus berbanding lurus dengan meningkatnya pelanggaran disiplin. Oleh karena itu, perguruan tinggi dituntut memiliki sistem penanganan yang jelas, adil, dan berorientasi pada perlindungan seluruh warga kampus.

Dalam regulasi tersebut, kekerasan didefinisikan secara luas, mulai dari kekerasan fisik, psikis, perundungan, kekerasan seksual, hingga kebijakan yang mengandung unsur kekerasan. “Penanganan kasus tidak boleh parsial, tetapi harus berpijak pada prinsip kepastian hukum dan keadilan substantif,” tegas Anang dalam paparannya.

Ia juga menambahkan bahwa regulasi internal UII telah diselaraskan dengan kebijakan nasional. “UII memiliki aturan disiplin pegawai dan mahasiswa yang secara tegas mengatur mekanisme penanganan, sanksi, dan perlindungan korban,” ujarnya.

Pelatihan dilanjutkan dengan diskusi kelompok yang dipimpin oleh Rr. Indahria Sulistya Rini, S.Psi., M.A., Psikolog. Dalam sesi ini, setiap kelompok diberikan studi kasus untuk dianalisis menggunakan sejumlah indikator pemecahan masalah, mulai dari identifikasi permasalahan hingga penentuan tindak lanjut yang tepat.

Melalui pelatihan ini, dosen dan tenaga kependidikan di lingkungan Sekretariat Pimpinan UII diharapkan menjadi lebih peka, responsif, dan profesional dalam menangani berbagai persoalan di lingkungan kerja, khususnya yang berkaitan dengan etika, disiplin, dan penanganan perkara secara adil serta berintegritas. (AHR/RS)