Tawaduk Intelektual

Hari ini (06/11/2023), keluarga besar Universitas Islam Indonesia (UII) kembali bersyukur atas nikmat yang tak berhenti terlimpah. Kolega kita mendapatkan amanah baru, sebagai profesor: Prof. Ridwan, S.H., M.Hum. Untuk itu, kami mengucapkan selamat atas capaian tertinggi dalam kewenangan akademik ini.

Sampai hari ini, UII mempunyai 38 profesor aktif yang lahir dari rahim sendiri. Ini menjadikan proporsi dosen dengan jabatan akademik profesor mencapai 4,7 persen (38 dari 800 orang). Dari 38 tersebut, proporsi terbesar, sebanyak 11 (atau 28,9 persen) berada di Fakultas Hukum UII.

Saat ini, sebanyak 263 dosen berpendidikan doktoral. Sebanyak 69 berjabatan lektor kepala dan 118 lektor. Mereka semua (187 orang) tinggal selangkah lagi mencapai jabatan akademik profesor.

Selain karena sekarang adalah masa panen dari benih yang sudah ditanam pada waktu lampau, beberapa program percepatan yang didesain dengan mempertimbangkan etika tinggi, alhamdulillah membuahkan hasil. Capaian jabatan profesor bukan hanya merupakan prestasi personal, tetapi juga meningkatkan profil institusi.

 

Sombong vs naif

Pada kesempatan yang baik ini, izinkan saya berbagi perspektif dan mengajak hadirin mematangkannya dengan refleksi lanjutan.

Pada medio September 2023, terbit sebuah buku berjudul Misbelief dengan anak judul yang jika diartikan berbunyi: apa yang membuat orang-orang rasional percaya kepada hal-hal yang tidak rasional (Ariely, 2023). Penulisnya Dan Ariely, seorang profesor psikologi dan ekonomika perilaku dari Universitas Duke. Profesor Ariely menekuni isu rasionalitas ini sejak lama.

Salah satu buku larisnya yang terbit 15 tahun lalu berjudul Predictably Irrational (Ariely, 2008). Isinya sangat menarik karena menjelaskan bagaimana kita mengambil keputusan yang sangat sering sangat tidak rasional.

Kembali ke buku Misbelief. Salah satu isu yang dibahas di dalam buku tersebut adalah kerendahhatian intelektual atau tawaduk intelektual (intellectual humility). Saya ingin secara tipis-tipis mengelaborasi konsep ini yang diperkaya dengan literatur lain.

Sikap kerendahhatian atau tawaduk yang merupakah titik tengah antara kesombongan, di satu sisi, dan sikap mencela diri sendiri atau minder, di sisi lain. Orang yang tawaduk tidak menghargai dirinya sendiri terlalu berlebihan alias tidak menjadi sombong, dan juga tidak terlalu merendahkan diri sendiri yang memunculkan rasa malu atau minder.

Begitu juga untuk konteks tawaduk intelektual. Ketika tawaduk intelektual hilang, maka orang dapat terjebak dua ekstrem.

Di sisi ekstrem yang satu ada kekeraskepalaan (stubbornness) yang tidak mau berubah karena merasa semua pengetahuan yang dimilikinya sempurna dan tanpa cacat. Sikap ini akan melahirkan arogansi intelektual (intellectual arrogance) (Church & Barrett, 2016).

Di sisi ekstrem lainnya, ada kenaifan (gullibility) yang mudah percaya informasi apa pun yang memaparnya. Sikap ini membuat orang terjebak pada keminderan intelektual (intellectual diffidence) (Church & Barrett, 2016). Hal ini menjadi salah satu penjelas mengapa orang rasional dapat percaya hal-hal yang tidak rasional (Ariely, 2023).

Kenaifan ini yang menjadikan seseorang mudah percaya dengan beragam informasi. Inilah juga yang menjadikan misinformasi atau hoaks bisa cepat menyebar luas.

 

Sikap wasatiah

Tawaduk intelektual adalah pilihan wasatiah antara dua esktrem tersebut. Ini mirip dengan mengambil sikap berani yang merupakan wasatiah antara takut dan nekat.

Jika tawaduk intelektual dijaga, maka kita terbuka untuk menerima hal baru selama ada dukungan oleh bukti atau argumen. Kita pun tidak pernah mengklaim jika semua pengetahuan yang kita percaya atau produksi bersifat final. Dalam dunia saintifik, kebenaran selalu bersifat nisbi. Ketika ada bukti baru yang tidak mendukung, maka kebenaran tersebut ditantang: dibatalkan atau diperbaiki. Inilah yang oleh Popper (1963) disebut dengan falsifikasi.

Elemen tawaduk intelektual termasuk asesmen yang akurat terhadap kecakapan dan prestasi, kemampuan untuk mengakui kesalahan, kesenjangan dalam pengetahuan, dan juga keterbatasan-keterbatasan yang terkait dengan diri sendiri. Elemen lainnya adalah keterbukaan terhadap ide baru dan informasi yang mengandung kontradiksi (Whitcomb et al., 2017).

Mereka yang mempunyai tawaduk intelektual biasanya tidak berfokus pada diri sendiri, dan di saat yang sama mengakui bahwa dirinya adalah bagian dari semesta yang lebih luas. Karenanya, dia akan mengapresiasi manfaat atau nilai dari segala sesuatu dan percaya bahwa setiap orang dapat berkontribusi dengan caranya yang berbeda-beda (Whitcomb et al., 2017).

 

Dampak personal dan sosial

Menjalankan sikap tawaduk intelektual ini akan membantu membentengi kita dari kecenderungan arogan, otoriter, dogmatis, dan sekaligus dari bias (Porter et al., 2022; Church & Barrett, 2016).

Ada beragam dampak personal lain. Pengamal tawaduk intelektual biasanya mempunyai kepuasan hidup yang lebih baik dibandingkan yang tidak (Grossmann et al.,2020). Mereka juga cenderung lebih aktif mencari pengetahuan baru (Krumrei-Mancuso et al., 2020). Selain itu, tawaduk intelektual juga akan membantu dalam pengambilan keputusan berdasar informasi yang baik (Leary et al., 2017).

Selain dampak personal, tawaduk intelektual juga mempunyai dampak sosial. Penganutnya cenderung mempunyai sikap toleransi terhadap pandangan berbeda, dan tidak memusuhi kelompok yang berbeda (Krumrei-Mancuso, 2017).

Mereka juga mau mempertanyakan diri sendiri dan mempertimbangan pendapat tandingan (Colombo et al., 2021). Karena tawaduk intelektual mendukung kohesi interpersonal dan mengurangi kecenderungan untuk menghina liyan ketika beradu argumen, pengamalnya bisa berkawan dengan orang di luar kelompoknya (Porter & Schumann, 2018).

Apa yang saya sampaikan di atas, diniatkan untuk membuka mata kolektif kita dan juga menghangatkan diskusi yang bermakna.

Semoga Allah selalu meridai UII dan kita semua.

 

Referensi

Areily, D. (2023). Misbelief: What makes rational people believe irrational things. Heligo Books.

Ariely, D. (2008). Predictably irrational. HarperCollins.

Church, I. M., & Barrett, J. L. (2016). Intellectual humility. In Handbook of humility (pp. 78-91). Routledge.

Colombo, M., Strangmann, K., Houkes, L., Kostadinova, Z., & Brandt, M. J. (2021). Intellectually humble, but prejudiced people. a paradox of intellectual virtue. Review of Philosophy and Psychology12, 353-371.

Grossmann, I., Weststrate, N. M., Ardelt, M., Brienza, J. P., Dong, M., Ferrari, M., … & Vervaeke, J. (2020). The science of wisdom in a polarized world: Knowns and unknowns. Psychological inquiry31(2), 103-133.

Krumrei-Mancuso, E. J. (2017). Intellectual humility and prosocial values: Direct and mediated effects. The Journal of Positive Psychology12(1), 13-28.

Krumrei-Mancuso, E. J., Haggard, M. C., LaBouff, J. P., & Rowatt, W. C. (2020). Links between intellectual humility and acquiring knowledge. The Journal of Positive Psychology15(2), 155-170.

Leary, M. R., Diebels, K. J., Davisson, E. K., Jongman-Sereno, K. P., Isherwood, J. C., Raimi, K. T., … & Hoyle, R. H. (2017). Cognitive and interpersonal features of intellectual humility. Personality and Social Psychology Bulletin43(6), 793-813.

Popper, K. R. (1963). Science as falsification. Conjectures and refutations1(1963), 33-39.

Porter, T., & Schumann, K. (2018). Intellectual humility and openness to the opposing view. Self and Identity17(2), 139-162.

Porter, T., Elnakouri, A., Meyers, E. A., Shibayama, T., Jayawickreme, E., & Grossmann, I. (2022). Predictors and consequences of intellectual humility. Nature Reviews Psychology1(9), 524-536.

Whitcomb, D., Battaly, H., Baehr, J., & Howard-Snyder, D. (2017). Intellectual humility. Philosophy and Phenomenological Research94(3), 509-539.

Sambutan acara serah terima Surat Keputusan Profesor untuk Dr. Ridwan, S.H., M.Hum. di Universitas Islam Indonesia pada 6 November 2023.