,

UII Gelar Ngaji Bareng Bertemakan Meneladani Khazanah Tafsir Al-Quran di Indonesia

Universitas Islam Indonesia (UII) menggelar Ngaji Bareng dengan tema Meneladani Khazanah Tafsir Al-Quran di Indonesia pada Senin (4/12) di Auditorium Prof. K.H. Abdul Kahar Mudzakir, Kampus Terpadu UII. Ngaji bareng menghadirkan Prof. Dr. Quraish Shihab, Lc., M.A. dan K.H. Ahmad Baha’uddin Nursalim sebagai narasumber.

K.H. Ahmad Baha’uddin Nursalim atau biasa dikenal dengan Gus Baha dalam ceramahnya mengatakan bahwa Indonesia yang damai ini tidak lepas dari peran kitab-kitab yang datang ke Indonesia.  Misalnya, arti kemenangan.

“Arti kemenangan itu tafsir yang datang ke kita dan yang paling terkenal adalah tafsir Munir karangannya Syekh Nawawi Al Jawi, itu beliau menyebut kemenangan umat Islam itu kemenangan logika, logika bahwa alam raya ini dimulai dari satu Tuhan yang berstatus wajibul wujud. Tentu lebih masuk akal ketimbang logika yang lain. Misalnya, logika nihilism bahwa alam ini dimulai dari ketiadaan. Karena itu lahir satu teori ketiadaan menciptakan yang ada,” tutur Gus Baha.

Pengasuh Pondok Pesantren Tahfizul Al-Quran Lembaga Pembinaan Pendidikan Pengembang Ilmu Al-Quran Rembang ini dalam kesempatannya menerangkan makna dari Q.S. Al Maidah ayat 56, yakni “Barang siapa yang mempertuhankan Allah dan mengikuti semua aturan-Nya, maka para pengikut Allah itulah yang akan menjadi pemenang.”

“Jadi, kemenangan umat Islam yang permanen itu adalah kemenangan logika. Kalau kemenangan perang, kemenangan bernegara, kemenangan sosial orang Islam ya pernah kalah. Zaman Nabi ‘Sugeng’ saja pernah mengalami kalah periode Mekah. Ketika periode Madinah juga pernah mengalami kalah di peristiwa Perang Uhud, tapi kalah-kalah sosial ini tidak ada pengaruhnya dengan kalah secara logika. Logika bahwa alam ini dimulai dari satu Tuhan (wajibul wujud) tentu lebih mudah dicerna,” terang Gus Baha.

Gus Baha juga menyampaikan bahwa tafsir yang datang kepada kita itu mempunyai latar belakang cerita maupun peristiwa yang berbeda-beda, Oleh karena itu, jangan bersikap ekstremis dalam mengambil/memaknai ajaran tafsir yang datang ke Indonesia.

“Andaikan kita meneladani tafsir-tafsir yang ada di Indonesia, kita ini pasti menguatkan aqidah. Bukan menang kalah urusan sosial, urusan apalah, itu urusan kedua ketiga lah syukur-syukur menang. Tapi kalau itu kita paksakan itu yang nomor 1 pasti kita sering kecewa,” tuturnya.

Gus Baha juga menyampaikan bahwa dalam kitab Fathul Bari karya Shahih Al-Bukhari dijelaskan kemenangan umat islam itu adalah aqidah. Artinya, ketika islam bahkan belum kuat, akan tetapi hujjahnya saja itu sudah menang. Karenanya, Syekh Nawawi mengatakan bahwa yang harus menang itu adalah hujjahnya.

Sementara itu, Prof. Quraish Shihab menyampaikan sebuah pelajaran yang dapat dipetik dari asbabun nuzul salah satu ayat Al Qur’an yang turun setelah perang Uhud. Beliau mengatakan bahwa sebagian sahabat nabi meninggalkan medan perang, bahkan diduga ada yang terguncang imannya, sehingga meninggalkan Islam.

“Ada satu penafsiran yang saya anggap baik sekali dari seorang pemikir Al Jazair Malik bin Nabi, beliau berkata ayat ini pelajaran bagi kita semua bahwa jangan menilai baik buruknya sesuatu dengan mengaitkannya pada sosok yang mengucapkannya,” tutur Prof. Quraish Shihab.

Prof. Quraish Shihab mengemukakan sahabat-sahabat yang meninggalkan medan perang dan meninggalkan agama Islam mungkin karena mereka hanya mengagumi sosok nabi pada saat hidupnya saja, dan begitu tersebar bahwa beliau wafat, maka mereka meninggalkannya.

“Ini karena mereka mengaitkan kebenaran dengan sosok manusia, jangan pernah menilai baik buruknya sesuatu karena ada materi. Jangan pernah mengaitkan baik buruknya susuatu karena ini diucapkan oleh profesor ini itu dan sebagainya. Nilailah baik buruknya sesuatu itu dari idenya bukan dari orangnya. Walaupun itu diucapkan oleh nabi Muhammad SAW, selama ucapan itu bersumber dari pribadi beliau bukan dari Allah SWT,” tutur Prof. Quraish Shihab.

Beliau juga berpendapat bahwa ini adalah pilihan yang baik untuk mengingatkan kita ketika membaca ataupun menilai suatu tafsir-tafsir dari siapapun orang yang kita kagumi. Maka, jadikanlah kebenaran atau baik-buruknya sesuatu itu berdasarkan ide yang disampaikan.

Prof. Quraish Shihab juga mengatakan bahwa tafsir karya ulama Indonesia itu cukup banyak, akan tetapi tidak banyak yang lengkap 30 Juz. Lalu, tidak banyak juga tafsir yang ditulis dalam bahasa melayu (bahasa Indonesia). Maka, itu adalah hal yang perlu dirintis pada saat ini.

“Yang penting, jangan pernah menduga sekali-kali bahwa kita bangsa Indonesia tidak mampu melebihi bangsa-bangsa lain walaupun yang bahasa ibunya yang bahasa Al Qur’an. Sekali lagi, kita mampu asal kita mau belajar,” tandas Prof. Quraish Shihab. (JRM/RS).