UII Kukuhkan Tiga Guru Besar
Universitas Islam Indonesia (UII) kembali mengukuhkan tiga guru besar terdiri atas dua dari Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA) yaitu Prof. Dr. apt. Vitarani Dwi Ananda Ningrum, S.Si., M.Si dalam bidang Farmasi Klinis dan Farmakoterapi dan Prof. apt. Suci Hanifah, S.F., M.Si., Ph.D dalam bidang Farmasi Klinis serta satu dari Fakultas Teknologi Industri yaitu Prof. Dr. Sri Kusumadewi, S.Si., M.T dalam bidang Sistem Pendukung Keputusan Klinis. Ketiganya menyampaikan pidato pengukuhan pada Kamis (18/12) di Auditorium Prof. K.H. Abdul Kahar Muzakkir, Kampus Terpadu UII.
Pengobatan Presisi: Translasi Bench to Bedside untuk Meningkatkan Keselamatan Pasien
Dalam pidato pengukuhannya bertajuk “Pengobatan Presisi: Translasi Bench to Bedside untuk Meningkatkan Keselamatan Pasien”, Prof. Vitarani menyinggung tentang pengobatan presisi yang merupakan upaya pengobatan yang lebih menekankan pada keselamatan pasien jika dibandingkan dengan pengobatan yang konvensional atau pendekatan “satu ukuran untuk semua” (one-size-fits-all).
“Pendekatan one-size-fits-all yang terjadi akibat keterbatasan pengetahuan dan teknologi telah ditinggalkan menuju ke pengobatan presisi. Istilah pengobatan presisi (precision medicine) sendiri mulai dikenalkan melalui Human Genome Project (HGP) yang resmi diluncurkan pada tahun 1990 yang menekankan keutamaan pertimbangan variabilitas individu dalam gen, lingkungan, dan gaya hidup dalam keputusan pengobatan,” jelasnya.
Dari hal ini, Prof. Vitarani menekankan pengobatan presisi ini penting untuk didukung pemerintah melalui program nasional dengan melibatkan semua fasilitas kesehatan yang lengkap dan kapasitas SDM yang handal. Menurutnya, pengobatan presisi ini perlu diberlakukan untuk semua warga negara Indonesia dengan tetap menjunjung tinggi prinsip etik, berkeadilan serta berorientasi pada kemaslahatan.
“Melalui integrasi pengobatan presisi dengan akal imitasi (AI) di Indonesia melalui Healthcare AI Hackathon 2025 diharapkan dapat menyediakan algorime prediksi keamanan dan efektivitas penggunaan obat berbasis maha data pasien yang memerlukan komitmen bersama dalam mewujudkannya,” harap Prof. Vitarani.
Apoteker dan Keamanan Terapi Parenteral pada Perawatan Kritis
Dalam kesempatan yang sama, Prof. Suci Hanifah memberikan pidato pengukuhannya bertajuk “Apoteker dan Keamanan Terapi Parenteral pada Perawatan Kritis” menekankan pentingnya peran apoteker dalam menjamin keamanan dan efektivitas terapi parenteral, khususnya pada pasien dengan kondisi kritis.
Prof. Suci menjelaskan bahwa terapi parenteral merupakan fondasi utama perawatan pasien kritis di unit perawatan intensif (ICU) dimana hampir seluruh intervensi farmakologis pada pasien dengan kondisi mengancam nyawa diberikan melalui jalur ini karena cepat, invasif, dan tanpa toleransi terhadap kesalahan, Namun memiliki risiko tinggi jika tidak dikelola dengan tepat. “Terapi parenteral bukan semata persoalan teknis pemberian obat, tetapi persoalan etik dan sistemik yang menuntut perhatian serius karena berdampak langsung pada keselamatan pasien,” ujarnya.
Menurut Prof. Suci, kompleksitas terapi pada pasien kritis diperparah oleh perubahan fisiologis yang ekstrem serta penggunaan banyak obat intravena secara bersamaan, sehingga meningkatkan potensi kesalahan farmakoterapi dan inkompatibilitas obat.
Oleh karena itu, Ia menegaskan pentingnya keterlibatan apoteker secara aktif dalam tim perawatan kritis. “Apoteker harus hadir sebagai penjaga rasionalitas terapi dan keamanan sistem, bukan hanya sebagai penyedia obat,” tegasnya.
Mewujudkan Layanan Kesehatan Primer Cerdas dan Inklusif Melalui Sistem Pendukung Keputusan Berbasis Data
Dalam pidato pengukuhannya bertajuk «Mewujudkan Layanan Kesehatan Primer Cerdas dan Inklusif Melalui Sistem Pendukung Keputusan Berbasis Data», Prof. Sri Kusumadewi, menekankan pentingnya pemanfaatan Sistem Pendukung Keputusan Klinis (SPKK) berbasis data dalam meningkatkan kualitas layanan kesehatan, khususnya pada layanan kesehatan primer yang inklusif dan berkelanjutan.
Ia menjelaskan bahwa SPKK dirancang untuk membantu tenaga kesehatan dalam pengambilan keputusan medis, mulai dari diagnosis, pemilihan terapi, hingga pemantauan pasien. “Sistem pendukung keputusan klinis dapat memberikan rekomendasi yang informatif dan tepat untuk mendukung keputusan medis yang bersifat kritis,” jelasnya.
Menurut Prof. Cici, begitu sapaan akrab dari Prof. Sri Kusumadewi, pengembangan SPKK di Indonesia sejalan dengan transformasi layanan kesehatan melalui Program Integrasi Layanan Primer (ILP) dan platform SatuSehat yang memungkinkan interoperabilitas data kesehatan lintas fasilitas. Dengan integrasi tersebut, deteksi dini penyakit dan pemantauan kelompok rentan seperti balita, ibu hamil, dan lansia dapat dilakukan secara lebih sistematis dan berbasis data.
Lebih lanjut, Prof. Sri menegaskan bahwa penerapan SPKK juga mendukung pendekatan promotif dan preventif melalui deteksi dini berbagai kondisi kesehatan, serta membantu tenaga kesehatan menyesuaikan intervensi secara lebih adaptif dan berbasis data. “Pemanfaatan sistem pendukung keputusan klinis memungkinkan layanan kesehatan menjadi lebih responsif, terintegrasi, dan berorientasi pada kebutuhan pasien,” ujarnya. menambahkan bahwa pengembangan dan implementasi SPKK oleh UII telah dimanfaatkan dalam layanan kesehatan berbasis masyarakat di Tirtorahayu, Galur, Kulon Progo serta pada kegiatan Posbindu sivitas akademika FTI UII. (AHR/RS)




