Urgensi Pembahasan RUU Pembatasan Transaksi Uang Kartal

Aksi pencucian uang terjadi dalam berbagai tindakan kriminal di Indonesia. Salah satunya yang terbaru ini adalah aksi terorisme yang dananya berasal dari aksi pencucian uang (money laundry). Dr. Dian Ediana Rae, S.H., LL.M. (Kepala PPATK) dalam webinar yang diselenggarakan oleh PPATK bersama UII bertemakan “Mengupas Urgensi Pembahasan RUU Pembatasan Transaksi Uang Kartal” melalui zoom meeting pada Selasa (6/4) mengatakan ekonomi Indonesia seharusnya dapat ditingkatkan dengan growth economic, seandainya kita bisa memberantas kejahatan-kejahatan ekonomi, seperti shadow economy yang sangat siginifikan mencapai 20-40% GDP.

Menurut Dian Ediana Rae, kejahatan-kejahatan di Indonesia ini salah satu faktor utama yaitu tingginya penggunaan uang cash dan menyebabkan tingkat kejahatan pencucian uang juga semakin tinggi. “Dengan adanya RUU Pemberantasan Transakasi Uang Kartal (PTUK) dan RUU Perampasan Aset Hasil Tindak Kejahatan akan sangat efektif untuk memberantas kejahatan ekonomi, karena dalam rangka memberantas penjahat ekonomi sangat sulit jika tidak dibarengi dengan pemberantasan uang penjahat,” ujarnya.

Selanjutnya Fithriadi Muslim (Direktur Hukum PPATK) mengatakan dalam Pasal 41 ayat (1) huruf D UU No 8 Tahun 2010 PPATK punya kewenangan untuk memberikan rekomendasi kepada Pemerintah mengenai upaya pencegahan dan pemberantasan kejahatan uang serta dipertegas juga dalam Perpres No 50 Tahun 2011. Berdasarkan laporan PPATK tingakat penggunaan transaksi tunai semakin meningkat setiap tahunnya, baik dalam kegiatan sehari-hari maupun lingkup tindak pidana kejahatan seperti kasus suap,dll, yang mana dalam hal transaksi tunai ini sangat sulit ditelusuri oleh PPATK.

Menurut Fithriadi, dengan meningkatkan transaksi nontunai akan membuat perekonomian di Indonesia menjadi lebih efesien, serta bagi masyarakat akan lebih aman dalam melakukan transaksi. “Kegiatan yang diatur dalam RUU PTUK ini terkait penarikan, pencarian, pembelian, pembayaran, pemberian, dll, dalam menggunakan uang kartal, salah satunya nanti dalam hal transaksi diatas 100 juta harus dilakukan secara nontunai,” ucapnya. Fithriadi juga menyampaikan bahwa RUU ini sudah sampai ke Presiden sejak tahun 2018, sehingga harapannya RUU PTUK ini dapat masuk ke dalam Prolegnas untuk segera dibahas oleh para legislator.

Dr. Surach Winarni, S.H., M.Hum. (Dosen Fakultas Hukum UII) menyampaikan beberapa hal terkait RUU PTUK ini, pertama, bahasa yang digunakan hendaknya lebih mudah dipahami oleh masyarakat seperti pembatasan transaksi tunai daripada pembatasan transaksi uang karta. Kedua, dalam melakukan transaksi tunai diatas 100 juta wajib melaporkan ke PPATK, baik dalam transaksi legal maupun nonlegal. Ketiga, perlu diatur juga terkait orang atau pihak yang membawa uang tunai diatas 100 juta namun tidak digunakan untuk transaksi. Keempat, perlu dijelaskan pengertian setiap orang berlaku bagi siapa saja. Kelima, RUU PTUK ini hendaknya diberlakukan serentak kepada semua penyedia jasa keuangan. Keenam, perlu adanya sanksi yang menimbulkan efek jera bagi pelanggar RUU ini nantinya.

“Karena dari yang saya baca, disini hanya ada sanksi denda, yang tidak menimbulkan efek jera bagi pelaku. Dan apabila akan menggunakan sanksis pidana, nanti bisa dikaji lagi sanksi pidana apa yang akan diterapkan,” ujar Surach Winarni. Ia menyampaikan dukungannya terhadap RUU PTUK ini. “Saya mendukung adanya RUU PTUK ini, namun kiranya perlu diatur juga terkait kewajiban melakukan transaksi nontunai, karena sebenarnya pengaturan ini juga telah terdapat di peraturan Kemendagri untuk Pemda, namun Pemda sampai saat ini masih mengalami kesulitan untuk mengikuti transaksi nontunai,” tambahnya.

Hendi Yogi Prabowo, S.E., MForAccy., Ph.D. (Dosen Fakultas Bisnis dan Ekonomi UII) mengatakan salah satu hal yang dapat diperhatikan dalam menelusuri kasus money laundry selain dari transaksinya adalah perilaku manusia, seperti kebiasaan pamer, dll. Dalam hal penerapan RUU PTUK ini yang kaitannya untuk mencegah adanya tindak kejahatan keuangan, menurut Hendi perlu diperhatikan juga kebiasaan sosial masyarakat serta respon apa yang kemudian akan masyarakat atau pelaku kejahatan lakukan jika RUU ini diterapkan. ”The right environment for the right regulation,” ujarnya.

Rosalia Suci Handayani (Direktur Eksekutif dan Kepala Dept. Bank Indonesia) mangatakan RUU ini merupakan rancangan kebijakan yang dicita-citakan guna meningkatkan inklusi keuangan, mendorong transaksi nontunai, serta di sisi lain sebagai upaya pencegahan tindak pidana pencucian uang, dan terorisme financing yang sering kali menggunakan transaksi cash dalam tindakannya. “Selain itu, dengan adanya kebijakan ini, nantinya akan dapat meningkatkan integritas keuangan negara dan menambah kepercayaan dunia kepada negara Indonesia,” ucap Rosalia.

Selain itu, Rosalia juga menyampaikan bahwa Bank Indonesia berkomitmen akan mendukung penuh transaksi nontunai agar masyarakat kedepannya dapat melakukan transaksi nontunai dengan aman dan nyaman, dengan menerapkan empat prinsip, yaitu: keamanaan, efesiensi, kesetaraan akses, dan perlindungan konsumen.

Selanjutnya, Muhammad Edhi Purnawan, M.A., Ph.D. (Ekonom UGM, Ketua Badan Supervisi BI) mengatakan mendukung adanya RUU ini, “Bank Indonesia pun menurut saya sudah siap jika nanti pada akhirnya semua sistem keuangan menggunakan cashless. Seperti nasi kucing yang nantinya dapat dibayar melalui scan QR,” ujarnya. Meskipun begitu, Edhi juga menyampaikan bahwa uang tunai tetap dibutuhkan dan harus dihargai sebagi bagian dari nasionalitas negara Indonesia. (EDN/RS)