UU Cipta Kerja Bisa Memperburuk Konflik Agraria dan Lingkungan

Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (LKBH FH UII) menyelenggarakan webinar “Undang-Undang Cipta Kerja dalam Lingkaran Konflik Agraria dan Lingkungan”. Webinar virtual ini diadakan pada Senin (11/10) dengan narasumber Dr. Trisno Raharjo, S.H., M.Hum. (Ketua Majelis Hukum dan HAM PP Muhammadiyah), Julisan Dwi Prasetia, S.H., M.H. (Kadiv Advokasi LBH Yogyakarta), dan Gus. Roy Murtadho (Pengurus Pesantren Ekologi Misykat Al-Anwar).

Julisan Dwi Prasetia memperinci konflik agraria dan pertanahan di Indonesia setidaknya disebabkan oleh tiga hal, yaitu: adanya pengembangan industri oleh pemerintah, adanya pemberian hak guna usaha kepada korporasi yang berhadapan dengan masyarakat, dan sengketa di lahan-lahan perhutanan yang dimiliki oleh perhutani yang berhadapan dengan masyarakat. Konflik agraria dan pertanahan ini juga disebabkan oleh kebijakan pembangunan yang dilakukan pemerintah.

“Kebijakan pembangunan ini berangkat dari kebijakan Master Plan Percepatan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) pada masa Kepresidenan Bapak Susilo Bambang Yudhoyono, yang kini diterapkan oleh Pemerintahan Jokowi, walaupun dengan nama yang berbeda,” ujarnya.

Sayangnya selama pelaksanaan kebijakan in, ternyata berdampak merugikan masyarakat, khususnya yang tinggal di daerah titik pembangunan. Beberapa contoh kasus seperti petani Wadas yang menolak rencana pertambangan untuk Bendungan Bener, warga pelindung mata air sungai Kali Boyong menolak rencana pertambangan yang akan mengganggu sumber mata air, dan pembangunan ekspansi PLTU Cilacap.

Menurutnya, UU Omnibus Law semakin memudahkan para pemodal untuk menggunakan lahan-lahan di Indonesia. Demo penolakan UU Omnibus Law juga pada nyatanya malah mendapat tindakan represif dari pihak kepolisian.

“Di tengah pandemi ini, yang utamanya adalah keselamatan rakyat, bukan menciptakan kebijakan yang saat ini bukan prioritas, mengundang investasi dan mengejar pertumbuhan ekonomi yang padahal itu semua tidak ada habisnya,” imbuhnya.

Senada, Trisno Raharjo mengatakan bahwa, pihaknya sebagai Pimpinan Muhammadiyah telah mengajukan usulan terkait UU Cipta Kerja ini kepada Pemerintah. Pertama, mencabut UU Cipta Kerja dengan mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) oleh Presiden. Kedua, merubah beberapa pasal yang bermasalah dalam UU Cipta Kerja ini. Ketiga, pelaksanaan UU Cipta Kerja ini ditunda sementara waktu.

Ia menyoroti Bank Tanah dalam UU Cipta Kerja yang seharusnya dimanfaatkan untuk kepentingan dan kemakmuran rakyat. Bank Tanah dapat digunakan untuk lahan-lahan pertanian, bukan malah untuk pembangunan yang sifatnya merampas tanah negara.

Menurutnya UU Cipta Kerja jangan sampai meminggirkan masyarakat. Seolah-olah penguasaan tanah itu diberikan kepada mereka yang telah mendapatkan perizinan dari pusat, dan ketika masyarakat menyampaikan beberapa hal atas ketidaksetujuannya, masyarakat dianggap tidak paham. Adapun yang dianggap paham adalah mereka para pemilik modal.

“Lalu para pemilik modal yg seharusnya juga mendapat perhatian dalam pengurusan izin, saat ini mudah sekali mengurus perizinan. Seharusnya segala yang dilakukan pemerintah ini juga harus memperhatikan kepentingan masyarakat, bukan malah mengkriminalisasi masyarakat yang melakukan penolakan,” pungkasnya.

Selanjutnya, Roy Murtadho menyampaikan dampak dari UU Omnibus Law itu manifest, sudah terlihat lebih banyak mudaratnya daripada manfaatnya. Namun negara tetap melaksanakannya dengan dalih demi kepentingan umum. Menurutnya, negara hanya menjadi instrumen bagi para pemodal dalam konsep pembangunan ini.

UU Cipta Kerja juga merubah ketentuan tentang pengaturan upah yang awalnya diberikan dengan standar minimum, kini diubah dengan standar maksimum. Hal ini tentunya telah menggambarkan bahwa UU ini bukan memberikan kesejahteraan bagi rakyat melainkan sebaliknya, berpotensi menjadikan rakyat menjadi gelandangan-gelandangan baru.

Di akhir Roy mengatakan, “Omnibus Law adalah rencana jahat untuk menghancurkan 99% rakyat Indonesia dan tidak menghiraukan kerusakan lingkungan hidup di atasnya. Omnibus Law lahir dari suatu keadaan politik tertentu, dan menjadi cerminan dari pemerintahan saat ini,” ucapnya mengakhiri sesi penyampaian materi. (EDN/ESP)