Yogya Masih (Ny)aman?

Apakah Yogyakarta masih aman dan nyaman? Seorang kawan pimpinan perguruan tinggi swasta (PTS) bercerita jika dia diminta membuat pernyataan oleh orang tua mahasiswa yang ingin mengirimkan anaknya berkuliah di Yogyakarta. Apa pasal? Orang tua yang berdomisili di Pulau Sumatera tersebut khawatir dengan keamanan anaknya ketika merantau.

Berita terkait kekerasan jalanan (klithih) yang kerap terjadi di Yogyakarta telah sampai ke pulau seberang. Saya pun mengetikkan frasa “kekerasan jalanan” Yogyakarta di mesin pencari Google. Muncul 33.800 entri. Ketika saya khususkan ke kanal berita, muncul lebih dari 5.000 entri.

 

Citra Yogyakarta

Paparan informasi soal kekerasan jalanan ini ternyata telah berandil mengubah citra Yogyakarta. Kawan saya tersebut percaya bahwa kekerasan jalanan yang tak kunjung mendapatkan solusi permanen ini mempunyai andil pada penurunan minat calon mahasiswa luar daerah untuk datang ke Yogyakarta. Saya mengamini kekhawatiran ini.

Masalahnya tidak hanya sampai di isu keamanan. Kawan tersebut juga bercerita jika orang tua di Pulau Kalimantan mengeluhkan hal lain ketika mengirimkan anaknya untuk menuntut ilmu di PTS Yogyakarta. Ketika pulang, anaknya tidak menjadi semakin santun seperti yang diharapkan.

Padahal, di waktu yang lampau, budaya Yogyakarta dipercaya telah membentuk mahasiswa pendapat menjadi lebih santun, budaya yang sangat ‘jogjawi’. Orang tua ini pun akhirnya secara retoris bertanya: mengapa saya harus memilih Yogyakarta untuk sekolah anak saya, jika tidak berbeda dengan kota lain?

Cerita tentang kesan terhadap Yogyakarta yang berubah sudah cukup lama saya dengar. Beberapa tahun lalu, misalnya, seorang kawan pimpinan PTS di Jawa Timur menarik kembali anaknya yang bersekolah di Yogyakarta. Anaknya tersebut didekati oleh sebuah geng yang akan merekrutnya.

Namun, jika kampus sampai diminta membuat surat pernyataan tertulis itu kejadian yang tidak pernah saya bayangkan.

Sebagian pembaca mungkin langsung menolak dengan dalih: kan hanya beberapa orang tua saja. Alasan lain dibuat: sebagian besar Yogyakarta masih baik-baik saja. Tapi, bagaimana meyakinkan orang tua di pulau seberang sana? Bagaimana jawaban kita jika ternyata berita kekerasan jalanan terus menghiasi media.

Sebagai bentuk tanggung jawab, apakah mungkin kita anggap cerita di atas sebagai sistem peringatan dini yang perlu dimitigasi segera?

Jangan sampai kita menyepelekan isu terkait kesan tidak aman dan nyaman ini. Banyak keputusan orang tua calon mahasiswa yang didasarkan pada kesan yang dibentuk dari informasi yang memapar. Mereka pun mulai mempertanyakan, apakah Yogyakarta tetap berhati nyaman. Ini satu sisi.

Di sisi lain, pengabaian terhadap masalah (kecil) yang muncul, sangat mungkin akan menjadikan masalah membesar. Ingat Teori Jendela Rusak! Ketika jendela rusak di sebuah gedung dibiarkan, maka orang akan mengira bahwa gedung tidak dikelola dengan baik. Jangan kaget, jika di kemudian hari, semakin banyak kaca jendela lain yang pecah.

 

Langkah kolektif

Ini adalah isu serius. Apa yang bisa dilakukan secara kolektif? Ada beberapa.

Pertama, semua pihak terkait, termasuk sekolah, kampus, masyarakat, pemerintah, dan aparat saling bahu-membahu menjaga Yogyakarta tetap kondusif sebagai tempat tujuan belajar. Fakta sosial bahwa warga Yogyakarta selalu santun dan ramah kepada pendatang perlu terus dihadirkan. Ini sekaligus akan menjadi cermin bagi pendatang untuk mempelajari dan menyerap kebaikan budaya setempat.

Kedua, berita-berita baik terkait Yogyakarta perlu terus diproduksi dengan kegiatan positif dan dilempar ke media. Kemarahan atau protes kita kepada pemberitaan yang suka dengan sudut pandang negatif tidak akan banyak berdampak. Kita harus banjiri media dan dunia maya dengan berita baik.

Ketiga, oknum pelaku kekerasan jalanan harus diproses dengan tuntas dan kelompok geng inang tempat menularnya kekerasan perlu dikondisikan. Hal ini sangat penting dilakukan untuk memangkas budaya laten ini sampai ke akar-akarnya.

Tentu, masih banyak upaya lain yang bisa dipilih, tetapi waktu terus berjalan. Tanpa tindakan segera, predikat Yogyakarta sebagai Kota Pendidikan dapat memudar dalam waktu yang tidak terlalu lama. Semoga tidak!

Tulisan sudah ditayangkan pada Kolom Analisis Kedaulatan Rakyat pada 30 Oktober 2023.