Urgensi Pendidikan Antikorupsi bagi Mahasiswa

Direktorat Layanan Akademik (DLA) Universitas Islam Indonesia (UII) menyelenggarakan seminar bertajuk “Integrasi Pendidikan Antikorupsi dalam Pembelajaran di Perguruan Tinggi” pada Rabu (28/5), bertempat di Gedung Kuliah Umum Prof. Sardjito, Kampus Terpadu UII. Acara ini diikuti oleh ketua dan sekretaris program studi, serta dosen pengampu mata kuliah wajib universitas (MKWU). Seminar juga turut dihadiri oleh Rektor UII, Prof. Fathul Wahid, M.Sc., Ph.D., beserta jajaran pimpinan kampus. Seminar ini menghadirkan dua narasumber yaitu dosen Fakultas Hukum UII, Ari Wibowo, S.HI., S.H., M.H. dan dosen praktisi Program Studi Hubungan International UII, Giri Suprapdiono.

Dalam sambutannya, Rektor UII, Fathul Wahid menegaskan bahwa pentingnya pendidikan antikorupsi tidak hanya sebagai wacana, tetapi harus diimplementasikan secara konkret di lingkungan perguruan tinggi. Fathul menyampaikan bahwa selama ini pendidikan antikorupsi belum menjadi mata kuliah khusus dan masih menjadi bagian dari mata kuliah umum. Hal ini menjadi tantangan tersendiri karena banyak kasus korupsi yang tidak ditindak tegas, atau pelakunya bahkan kembali menduduki jabatan publik.

“Pendidikan antikorupsi harus kita kuatkan. Mahasiswa perlu menganggap korupsi sebagai sesuatu yang menjijikkan, bukan hal biasa. Harapannya, saat mereka kelak menjadi pemimpin atau pejabat, tidak menjadi bagian dari jamaah koruptor” ujarnya

Ari Wibowo sebagai narasumber pertama membawakan materi bertema “Pemberantasan Korupsi Melalui Pendekatan Non-Penal”. Ari menyebut korupsi sebagai persoalan mendasar bangsa yang sulit diatasi. Mengutip data Indeks Persepsi Korupsi (IPK) 2024, Ari menyebut Indonesia berada di peringkat 99 dunia dengan skor 37, di bawah Vietnam dan Timor Leste.  juga menyoroti bahwa kasus korupsi terbanyak justru terjadi di desa, yang menunjukkan pentingnya pendampingan dalam pengelolaan dana desa.

Ari juga menyinggung tentang inisiatif “Sekolah Antikorupsi” yang pernah dilaksanakan di SMA UII. Program tersebut mencakup tiga aspek: pengetahuan (kognitif), nilai (afektif), dan tindakan nyata (psikomotorik), seperti kampanye, pembuatan video pendek, dan simulasi gerakan antikorupsi.

Narasumber kedua, Giri Suprapdiono, membawakan materi seputar strategi dan implementasi pendidikan antikorupsi di perguruan tinggi. Giri menyampaikan pentingnya keteladanan dalam menyampaikan nilai-nilai antikorupsi.

“Keteladanan itu nomor satu. Sayangnya, KPK saat ini kehilangan marwah karena justru melakukan pelanggaran yang bertentangan dengan nilai-nilai yang diperjuangkan,” ujarnya.

Menurut Giri, secara hukum sudah ada landasan untuk penerapan pendidikan antikorupsi di perguruan tinggi melalui mata kuliah MKWU atau mata kuliah lain yang relevan. Giri  mendorong UII untuk menjadikan pendidikan antikorupsi sebagai bagian dari kurikulum wajib dan menyebut bahwa satu-satunya misi dari pendidikan ini adalah agar mahasiswa “tidak ingin” melakukan korupsi dalam bentuk apa pun. Giri juga menjelaskan bahwa korupsi memiliki dampak serius, seperti merusak harga pasar, menciptakan persaingan usaha yang tidak sehat, menghancurkan sistem hukum, serta menurunkan kualitas hidup masyarakat secara umum.

Melalui seminar ini, UII menegaskan komitmennya dalam membentuk generasi muda yang berintegritas tinggi dan menjadikan kampus sebagai pelopor gerakan antikorupsi di Indonesia (GRR/AHR/RS)