Ancaman Hedonisme bagi Negara Ekonomi Menengah

Melalui Podcast, Aufanida Ingin Mensyiarkan Ramadan

Lembaga Eksekutif Mahasiswa Universitas Islam Indonesia (LEM UII) menyelenggarakan kajian aktual bertemakan “Ancaman Hedonisme bagi Negara Ekonomi Menengah” pada Kamis (21/10). Acara diselenggarakan secara virtual melalui Zoom meeting online dengan menghadirkan pembicara yang kompeten di bidangnya, yaitu Dhenny Yuartha Junifta yang merupakan Peneliti Center of Food Energy and Sustainable Development INDEF.

Dhenny menyampaikan bahwa masifnya konsumsi masyarakat Indonesia menjadi potensi pasar yang memikat investasi masuk ke Indonesia. Namun, hal ini hendaknya harus diimbangi dengan produktifitas negara. Jika melihat pada tingkat konsumtif masyarakat, ini terbagi menjadi tiga kelas, yaitu kelas atas, kelas menengah, dan kelas bawah. Kelas bawah cenderung memilki angka konsumsi kebutuhan pokok yang lebih tinggi dibandingkan kelas lainnya. Dengan kapasitas pasar yang sangat besar, dan tingkat konsumsi yang besar juga, hal ini sangat berpengaruh pada roda perekonomian Indonesia, bahkan memberikan sumbangsih lebih dari 50% untuk pendapatan nasional negara.

Di sisi lain, dengan adanya e-commerce jumlah peningkatan konsumsi masyarakat Indonesia juga semakin tinggi, dan mengalami peningkatan 2 kali lipat lebih besar dari masa sebelum pandemi. Adanya kemudahan transaksi e-commerce ini, tanpa disadari juga semakin memudahkan barang-barang impor masuk ke Indonesia. Akibatnya, menurut Dhenny hal ini dalam jangka panjang dapat merugikan UMKM dalam negeri yang belum bisa mengoptimalkan penggunaan e-commerce. “Namun untungnya, beberapa waktu lalu UMKM juga bekerjasama dengan beberapa marketplace, sehingga dapat menyetop produk-produk yang cross border itu,” ujarnya.

Beralih pada pertumbuhan kelas menengah di Indonesia, Dhenny mengatakan pertumbuhannya meningkat 10% setiap tahunnya dan konsumsinya meningkat 12% sejak tahun 2002. Sehingga, jika dilihat dari sudut pandang luar negeri, Indonesia memiliki pasar dan konsumsi menengah yang cukup tinggi. Hal inilah yang kemudian mendorong investasi untuk masuk ke Indonesia. Meski demikian, investasi yang masuk ke Indonesia, harus diiringi dengan kegiatan ekspor. Hal ini hingga saat ini masih menjadi persoalan Indonesia.

Permasalahan laiinya, tingginya angka investasi, juga tidak diiringi dengan penyerapan jumlah tenaga kerja. Hal ini dibuktikan dengan curva tenaga kerja yang berjalan sangat lambat dibandingkan dengan tingkat investasi yang cukup tinggi. Selain itu, para investor juga biasanya menghendaki agar tenaga kerja dan produknya berasal dari negaranya. Ini tentu berdampak tidak baik bagi perekonomian Indonesia, yang mana seharusnya adanya investasi bertujuan untuk meningkatkan produktivitas dalam negeri. Dengan demikan, menurut Dhenny masuknya Penanaman Modal Asing (PMA) dan Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) masih belum mampu meningkatkan industrialisasi dalam negeri.

“Peningkatan konsumsi yang massif, yang tidak didukung dengan produktivitas industri, akan memberikan dampak kerugian ekonomi yang cukup signifikan. Terlebih investasi yang masuk yang tujuannya untuk meningkatkan produktivitas tidak berjalan dengan baik, ekspor juga tidak berjalan dengan baik. Akhirnya kita terjebak pada ekonomi yang fokusnya konsumsi saja, dan produksi belakangan. Ini yang sebetulnya sangat merugikan,” ujarnya.

Terakhir, Dhenny mengatakan bahwa global values seperti sikap hedonisme, sekulerisme, dll, juga cukup memiliki kerentanan terhadap masyarakat dan adat yang ada di Indonesia. Global velues ini kerap kali bertentangan dengan nilai-nilai sakral, partisipatif, dan interaksi-interaksi informal. Salah satu contohnya tari kecak di Bali yang awalnya dianggap sakral dan tidak boleh dipertontonkan kepada orang lain, saat ini telah dianggap menjadi tidak sakral dan malah dijadikan salah satu cara untuk menarik para wisatawan datang ke Bali. “Dengan ini, dapat dipahami bahwa masifikasi motif ekonomi itu semakin besar dibandingkan dengan masifikasi motif budaya yang ada,” pungkasnya. (EDN/RS)