Bedah Buku Karya Prof. Ni’matul Huda Tentang Pilkada Serentak di Masa Pandemi

Menulis telah menjadi budaya di kalangan akademisi. Dengan menulis seorang akademisi tidak hanya dapat mengembangkan pemikiran dan mengasah pemahaman, namun juga sebagai media untuk menumpahkan ide dan gagasan. Potret ini salah satunya bisa kita lihak dari sosok Guru Besar Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (FH UII), Prof. Ni’matul Huda, S.H., M.Hum.

Di masa pandemi Prof. Ni’matul Huda telah merampungkan sebuah buku berjudul “Pilkada Serentak, Hubungan Pusat & Daerah Kebijakan Penanganan Covid-19”. Buku ini kemudian dibedah dalam acara webinar virtual yang diselenggarakan oleh Pusat Studi Hukum Konstitusi (PSHK) FH UII pada Rabu (3/3).

Menurut Prof. Dr. Djohermansyah Djohan, MA., Profesor dari Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN), buku berjudul Pilkada Serentak, Hubungan Pusat & Daerah Kebijakan Penanganan Covid-19 karya Ni’matul Huda sangat aktual dan relevan dengan keadaan saat ini. Selain itu kurang lebih ada sebelas isu besar hubungan antara pemerintah pusat dan daerah yang cukup penting untuk senantiasa dibahas dari dulu hingga saat ini. Terutama isu yang paling aktual yaitu tentang pilkada serentak di tengah pandemi.

“Yang menjadi soal besar saat ini adalah pilkada yang tetap diselenggarakan di tengah ketidakmatangan aktor, partai politik yang masih bermasalah soal mahar dan ketidakmampuan dananya, pemilih yang masih doyan duit, biaya pilkada mahal, sehingga tidak mudah kita bisa mendapat kepala daerah yang kompeten dan tidak koruptor. Itu menunjukan kegagalan Indonesia saat ini,” ujar Prof. Djohermansyah.

Isu-isu yang dibahas selanjutnya antara lain tentang mengapa pilkada tidak ditunda, bagaimana mewudkan pilkada sehat dalam rangka mewujudkan otonomi daerah, perkembangan adanya calon tunggal dalam pilkada, munculnya politik dinasti, praktik negatif politik dinasti era otonomi daerah, pengaturan tentang politik dinasti, persyaratan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah, hingga kewenangan pemerintah pusat dan pemerintah derah dalam membuat kebijakan pemerintah untuk penanganan covid-19.

Selain itu, Prof. Djohermansyah juga menambahkan beberapa catatan yang belum dibahas dalam buku karya Prof. Ni’matul Huda, antara lain tentang hasil dari pelaksanaan pilkada yang masih menunjukkan antusiasme masyarakat di masa pandemi, pendanaan pemilu ditengan pandemi Covid-19, sejarah tentang penundaan pemilu di Indonesia, syarat pengalaman kerja publik baik di kepartaian atau pemerintahan minimal 5 tahun bagi calon kepala daerah dan wakil kepala daerah dan usia 40 tahun bagi calon kepala daerah dan wakil kepala daerah.

Anggota Bawaslu Republik Indonesia Fritz Edward Siregar, S.H., LL.M., Ph.D. menyampaikan ada dua tanggapan yang bisa diambil dari buku karya Prof. Ni’matul Huda ini, menurutnya buku ini secara garis besar menguraikan fenomena yang terjadi dalam kurun satu tahun kebelakang terkait dengana arah keputusan pemerintah dalam pengendalian penanganan covid-19. Terutama dalam hal penyelenggaraan pilkada dan pengaturan kebijakan penanganan Covid-19.

Secara umum, Firtz Edward menanggapi tulisan Prof. Ni’matul Huda yang berusaha menyampaikan gambaran persoalan hubungan antara pemerintah daerah yang masih sangat banyak dan perlu dikaji lebih lanjut selain dari apa yang telah ditulis di buku ini. Mulai dari penyelenggaraan pilkada saat pandemi yang masih disambut dengan antusiasme tinggi dari masyarakat, calon tunggal dan dinasti politik, hukum darurat Negara dalam kebijakan penanganan Covid-19 hingga peran ganda gubernur sebagai kepala daerah dan wakil pemerintah pusat.

“Ini beberapa isu yang dapat terus kita kaji, terutama jika dikaitkan dengan UU Cipta Kerja yang banyak mengambil kewenangan dari daerah. Sehingga dapat diambil pertanyaan, maka banyak orang ingin menjadi kepala daerah? Apakah jika daerah tidak memiliki kewenangan otonomi daerah masih banyak orang yang ingin menjadi kepala daerah? Inilah yang Ibu Ni’ma coba sampaikan dalam penulisan bukunya,” paparnya.

Secara khusus, Firtz Edward menanggapi dalam tulisan bahwa pelaksanaan pilkada itu perlu diskusi secara konstitusional sehingga dapat diambil pelajaran, dan tidak akan terulang kembali permasalahan-permasalahan pilkada yang pernah terjadi. Selain itu buku karya Prof. Ni’matul Huda, baru menuliskan sampai dengan persiapan pilkada dan belum membahas tentang pilkadanya itu sendiri seperti terkait kampanye, distribusi logistik, hingga pelaksanaan di hari pemilihan. Hal ini membuka ruang penelitian lanjutan untuk merumuskan bagaimana seharusnya pelaksanaan pilkada kedepan. “Perlu adanya buku lanjutan yang bisa ditulis oleh teman-teman semua dari buku yang telah ditulis Ibu Ni’ma ini,” ungkap Firtz Edward. (EDN/RS)