Belajar dari Profesor Socrates

Dari sisi cacah, profesor adalah kalangan elit negeri ini. Data pada akhir 2019 menunjukkan bahwa dari 261.827 dosen, hanya 5.664 (2,16%) yang mempunyai jabatan akademik profesor. Sebagai warga elit, hal ini membawa dua implikasi. Pertama, harapan publik sangat tinggi kepada para profesor, sebagai pengembang ilmu pengetahuan yang mengawal standar akademik tertinggi. Kedua, karenanya, jabatan profesor seharusnya tidak dimaknai sebagai akhir perjalanan akademik. Justru, ini adalah momentum untuk lebih kontributif. Isu-isu publik pun perlu mendapatkan perhatian dan semakin ditekuni.

Akar kata profesor sudah mengindikasikan hal ini. Kata profesor berasal dari bahasa Latin profess yang diserap ke dalam bahasa Inggris yang berarti “secara terbuka menyatakan atau secara publik mengklaim kepercayaan, keyakinan, atau  opini”. Karenanya, seorang profesor tidak hanya menyimpan isu-isu penting yang terinformasikan atau dibenarkan, tetapi bersedia menyatakan, mempertahankan, atau merekomendasikan isu-isu penting secara terbuka, baik di dalam kelas maupun melalui tulisan. Dalam bahasa Arab, profesor disebut dengan al-ustadz, yang dalam penggunaannya di Indonesia, kata kawan dari Libya, mengalami ‘pergeseran’ makna, menjadi guru mengaji.

Dalam kesempatan ini, saya mengajak semua profesor, terutama di Universitas Islam Indonesia, untuk ngemong orang lain, terutama yang lebih muda, untuk tumbuh dan berkembang. Dan, bukan sebaliknya, minta diemong, dan membuat repot banyak orang.

Gaya Socrates, guru dari Plato, menarik untuk ditilik ulang. Dalam literatur, dikenal Metode Socrates. Metode ini dijalankan Socrates yang menempatkan diri sebagai penanya yang persisten, bidan intelektual yang membantu orang lain melahirkan idenya sendiri dan kemudian menguji ide tersebut. Socrates percaya bahwa manusia mempunyai sumber daya pengetahuan yang terkubur di dalam dirinya. Yang dibutuhkan adalah seseorang yang membantunya membawa keluar pengetahuan yang tersembunyi tersebut.

Tentu, pendekatan ini bukan tanpa kritik. Bahkan, Socrates sendiri harus dibawa ke pengadilan dan dieksekusi dengan racun karena pendekatannya ini, yang dituduh merusak pemikiran generasi muda karena konsisten memosisikan dirinya sebagai kritikus sosial dan moral. Cerita lain melengkapinya: pendekatanya yang selalu bertanya “mengapa” telah membuat para pembesar Athena terlihat bodoh di hadapan publik. Ini adalah sisi paradoksal dari Socrates.

Buku The Republic yang ditulis oleh Plato (2012) itu, di dalamnya ada banyak sekali ide Socrates (bahkan narator buku tersebut adalah Socrates). Bagi Socrates, negara yang adil mempunyai empat karakteristik atau kebajikan: kebijaksanaan (wisdom), keberanian (courage), disiplin (discipline), dan keadilan (justice). Kebijaksanaan dijalankan oleh penguasa, keberanian datang dari para aktor pinggiran, disiplin diri terkait dengan kesepakatan bagaimana negara dikelola, dan keadilan adalah penerimaan bahwa setiap orang mempunyai peran yang dimainkan di dalam masyarakat.

Bagaimana profesor dapat berperan dalam konstelasi ini? Profesor dapat menjadi kekuatan moral dan intelektual, menjadi bagian warga yang kuat. Acemoglu dan Robinson (2020) dalam bukunya The Narrow Corridor: States, Societies, and the Fate of Liberty, membahas mahalnya harga kebebasan. Mereka berargumen bahwa kebebasan akan muncul dan berkembang jika negara dan warga kuat. Negara yang kuat diperlukan untuk mengendalikan kekerasan, menegakkan hukum, dan menyediakan layanan publik yang memberdayakan.

Di sisi lain, warga yang kuat dibutuhkan untuk mengontrol dan mengekang negara. Intelektualisme yang tumbuh di kalangan warga, terutama kaum terpelajarnya, adalah salah satu upaya menguatkan warga. Peran profesor sebagai intelektual ada di sini.

Karenanya, profesor selain tetap harus menekuni disiplinnya, juga dituntut untuk rajin menyampaikan opininya kepada publik, tidak hanya di kalangan akademik, tetapi juga khalayak ramai. Para profesor dituntut membangun jembatan antara disiplin ilmunya dengan kemajuan masyarakat, pembangunan bangsa, dan kelahiran peradaban baru. Bisa jadi, bagi sebagian orang, ini bukan zona yang nyaman.

Selamat menjalankan amanah kepada Prof. Yandi Syukri. Teruslah menjadi pribadi yang menginspirasi, tetaplah menginjak bumi, dan jangan sampai lupa diri. Semoga tetap menjadi kolega yang ngemong dan tidak minta diemong. Semoga amanah baru ini membawa berjuta keberkahan, tidak hanya untuk diri sendiri, tetapi juga bagi anak istri, institusi, dan negeri. Insyaallah, Allah selalu meridai.

 

Referensi:

Plato (2012). The Republic. Terjemahan B. Jowett pada 1908. Chichester: Capstone.

Acemoglu, D., & Robinson, J. A. (2020). The Narrow Corridor: States, Societies, and the Fate of Liberty. New York: Penguin Books.

Sambutan pada acara serah terima Surat Keputusan pengangkatan jabatan Profesor Dr. apt. Yandi Syukri, S.Si., M.Si., pada 19 Oktober 2020.