Dampak Normalisasi Hubungan UEA-Israel-Bahrain di Asia Tenggara

Program Studi Hubungan Internasional Universitas Islam Indonesia (UII) menggelar diskusi normalisasi hubungan Israel dengan Uni Emirat Arab (UEA) dan Bahrain. Diskusi melalui Zoom ini mengangkat judul “What the UEA-Israel-Bahrain Deal Means for Southeast Asian.” Pembicara utama yakni Dr. Mustafa Izzuddin, Ph.D., LSE dari Universitas Negeri Singapura.

Dr. Mustafa Izzuddin menyatakan kesepakatan tersebut tentu saja memicu kemarahan Palestina. “Palestina tentu mengecam hal ini karena dinilai sebagai pengkhianatan lain oleh negara Arab. Ini semakin sulit untuk mereka (Palestina) mendapatkan penentuan nasib dan sulit mencapai perdamaian regional,” ujarnya.

Ia juga menambahkan, “Tidak ada yang mengatakan bahwa negara Arab tidak nyata mendukung perjuangan. Perjuangan Palestina telah menjadi lebih simbolis daripada substantif. Jika Anda melihat beberapa negara Arab sudah memiliki hubungan informal tidak resmi secara diam-diam dengan Israel terutama di bidang ekonomi dan juga di bidang pertahanan dan keamanan,” jelasnya.

Ia berpendapat bahwa elemen penting yakni ekonomi dan pertahanan negara berada di balik keputusan negara Arab berdamai dengan Israel. “Kepentingan nasional begitu kuat. Mereka memang ingin memiliki masalah yang nyata. Saya pikir satu-satunya negara di dunia yang memiliki awan politik dan diplomatik untuk dapat melakukannya adalah Amerika Serikat. Jadi Amerika Serikat harus datang,” sebutnya.

Lebih jauh, Dr. Mustafa Izzuddin menjelaskan dampak kesepakatan itu terhadap kawasan Asia Tenggara. Thailand memiliki hubungan diplomatik dengan Israel. Bahkan terdapat penerbangan langsung ke Israel yang menunjukkan keterlibatan ekonomi dengan Israel. Negara itu juga menjadi tuan rumah KTT keamanan Asia Selatan-Israel. Ditambah pekerja migran di UEA banyak dari Warga Negara Thailand sehingga ada interaksi cukup intens di antara kedua negara.

Filipina juga memiliki hubungan yang sangat erat dengan Israel seperti halnya hubungan diplomatik Thailand dengan Israel. Filipina adalah satu-satunya Bangsa Asia yang mendukung pembentukan negara Israel pada tahun 1947 di PBB. Hubungan intens terjalin di bidang ekonomi, teknologi, militer, pertanian, dan budaya.

“Sedangkan Singapura memiliki hubungan yang paling luas dengan Israel. Negara ini mendapat dukungan dari penasehat militer Israel. Jadi Singapura di antara semua negara di Asia Tenggara yang paling dekat dan paling ujung. Ada juga program pertukaran pelajar atau akademik antara keduanya,” kata Dr. Mustafa Izzuddin.

Meski demikian, menurutnya kesepakatan ini tidak akan mempengaruhi Singapura karena lokasinya yang jauh dari Timur Tengah. Indonesia sendiri enggan membuka hubungan diplomatiknya dengan Israel karena hal tersebut tidak terlepas dari perjuangan panjang Indonesia dalam membela kemerdekaan Palestina. “Indonesia bisa dibilang mempunyai hubungan diplomatik yang baik dengan negara-negara Teluk seperti UEA dan Bahrain. Normalisasi ini tidak akan mempengaruhi hubungan Indonesia dengan UEA maupun Bahrain,” katanya.

Adapun Malaysia tidak mengkritik UEA yang telah memasuki kesepakatannya dengan Israel. Malaysia percaya bahwa ini adalah keputusan yang dibuat oleh UEA dan memiliki hak berdaulat untuk melakukannya. (SF/ESP)