Berkaca dari Kesetaraan Gender di Empat Negara

Isu kesetaraan gender perlu menjadi perhatian bersama baik pemerintah juga masyarakat. Melindungi akan hak perlindungan kekerasan fisik maupun psikis, hak politik, dan hak-hak lainnya. Isu ini yang menjadi topik utama dalam diskusi menjelang buka puasa bertajuk Ngalir Live Talk: Linking Local Struggles & Global Politics of Gender Activism: Sweden, UAE, South Korea and United States yang diadakan oleh Program Studi Hubungan Internasional Universitas Islam Indonesia (UII), pada Rabu (20/5) secara daring.

“Di Korea Selatan, awalnya gerakan kesetaraan gender bukan bermula dari masalah gender, tetapi masalah nasionalisme dan anti kolonialisme,” Ungkap Masitoh Nur Rohma S.Hub.Int., M.A mengawali diskusi. Selama penjajahan Jepang, Masitoh menjelaskan bahwa gerakan ini dulunya masih membahas isu yang umum seperti kemerdekaan, namun isu perempuan mulai melebar dan merambah sejak tahun 1970 yang membahas isu diskriminasi, gender, dan hak buruh. “Ada transformasi gerakan perempuan,” tuturnya.

Di sisi lain, Rizki Dian Nursita S.IP., M.H.I menuturkan bahwa Swedia berada pada nomor keempat pada index kesetaraan gender dunia. “Empat puluh empat persen perempuan menduduki kursi parlemen. Tapi tidak hanya itu, di Swedia Ibu rumah tangga pun dagaji pemerintah, berdasarkan regulasinya,” jelas Rizki.

Meskipun Amerika Serikat (AS) tidak masuk index kesetaraan gender dunia, jika berbicara tentang sejarah, justru AS merupakan salah satu negara yang mempelopori isu kesetaraan gender. “Di mulai akhir abad 19, hak ikut memilih pada tahun 1920 disuarakan. Bahkan sejak awal tahun 1990 sampai sekarang AS berfokus pada penghapusan kekerasan seksual yang mempelopori gerakan MeToo, yang belakangan, mendorong kongres mengesahkan aturan baru karena terungkap banyaknya pelecehan seksual yang terjadi di kongres sendiri. Ini juga berdampak pada penyintas untuk lebih berani speak up,” ungkap Karina Utami Dewi, S.IP., M.A.

“1995 adalah titik awal bagi pemerintahan Uni Emirat Arab (UEA) yang baru, yang lebih independen pasca kudeta,” tutur Gustrieni Putri S.IP., M.A. Gustrieni menyampaikan bahwa UEA telah menerapkan syariat Islam sebagai kerangka legal. “Meskipun begitu ada dua puluh dua persen perempuan yang bekerja,” ungkapnya.

Impelemntasi dan Tantangan

Pada tataran implementasi, tentu pemerintahan setiap negara tidak bisa disamaratakan. “Mereka memiliki isu yang berbeda-beda. Contohnya di AS, hijab dianggap sebagai lambang penindasan, namun di Indonesia hijab dianggap sebagai lambang pembebasan, terutama pasca kemerdekaan. Ada pemahaman yang berbeda,” ungkapnya.

Karina menekankan pentingya kehadiran negara. “Negara berperan memastikan perlindungan hak, tidak hanya laki-laki, tapi juga hak perempuan lewat kebijakan dan regulasi,” jelasnya. Tantangan lain berada pada UEA. Walaupun telah menerapkan syariat Islam sebagai kerangka legal, Gustrieni berpendapat bahwa tantangan terbesarnya adalah bercampurnya nilai Islam dengan tradisi.

Berbeda dengan UEA, Masitoh menilai isu kesetaran gender di Korea Selatan sulit menyatu dengan masyarakat, selain karena muncul banyak gerakan anti-feminisme, isu kesetaraan gender juga dihadapkan pada nilai sosial yang berakar pada ajaran Kong Hu Cu bahwa laki-laki adalah figur utama pada keluarga.

Meskipun demikian, Masitoh juga menilai bahwa Korea Selatan bersikap peka dan responsif serta memiliki sisi moralitas yang tinggi, terlepas dari kultur patriarkis yang berakar dari ajaran Kong Hu Cu. “April lalu, Walikota Busan mundur dari jabatannya karena dituduh melakukan kekerasan terhadap seorang staf. Perasaan bersalah hadir ketika melakukan tindak kejahatan ini ada di tengah masyarakat Korea Selatan,” ungkapnya.

Pada akhirnya implementasi tiap negara berbeda-beda dikarenakan konteks historis, nilai budaya, norma sosial, dan fokus pemerintahan yang juga berbeda. Namun ada beberapa hal yang tampaknya setiap negara setuju, tak terkecuali Indonesia bahwa, pemerintah perlu melindungi akses penghidupan, kesetaraan pendidikan dan akses yang adil terhadap sumber daya dan hukum.

Permasalahan kesetaraan gender tidak selesai hanya dengan menempatkan banyak jumlah perempuan di kursi pemerintahan, walaupun itu bisa dilihat sebagai langkah pertama, tetapi lebih besar dari pada itu, isu ini perlu diperjuangkan bersama. (IG/RS)