Bisnis Properti Perlu Perhatikan Aspek Hukum

Tingginya kebutuhan masyarakat terhadap tempat tinggal membuat pengembang berlomba-lomba membangun rumah di berbagai kawasan. Pihak pengembang terus mencari strategi pemasaran perumahan baru guna menarik sebanyak-banyaknya calon konsumen sebagai tolak ukur keberhasilan bisnis properti. Namun, dalam bisnis properti tersebut tidak jarang menimbulkan berbagai permasalahan bahkan timbul sengketa hukum. Seperti halnya, konsumen sudah membayar lunas namun perumahan belum selesai dibangun sebagaimana perjanjian atau bahkan terjadi kredit macet dari konsumen.

Topik tersebut sebagaimana tergambar dalam Sesi Hari Ke-2 Seminar Nasional Konsultan Hukum dengan tema “Mewujudkan Praktisi Hukum Yang Kompeten Melalui Diskusi Konsultan Hukum Insan Yang Profesional” yang diselenggarakan oleh Himpunan Mahasiswa Ahwal Al-Syakhshiyyah, Fakultas Ilmu Agama Islam Universitas Islam Indonesia (UII), pada Minggu (6/5) di Ruang Audiovisual, Gedung Moh. Hatta Perpustakaan Pusat UII.

Marketing Hyarta Eco Village, Elza Ingga menyampaikan bahwa pada dasarnya pengembang tidak bisa berdiri sendiri, seperti hal-hal yang berkaitan dengan hukum maka akan selalu melibatkan notaris.

“Notaris bisa menjelaskan bahwa hal yang tertera semua ada dasar hukumnya sehingga keberadaanya dapat menjadi penengah antara developer dengan konsumen”, tuturnya.

Sementara Notaris & PPAT, Irianto SH menyampaikan dalam menjalankan bisnis properti tidak semuanya berjalan lancar, misal kredit macet. Sehingga diperlukan penyelesaian sengketa yang timbul.

“Jika dikemudian hari timbul sengketa maka di antara kedua belah pihak yang merasa dirugikan dapat mengajukan gugatan ke pengadilan setelah melewati tiga kali somasi dengan memperhatikan kelengkapan dokumen, sehingga jangan sampai ada cacat”, ungkapnya.

Lebih lanjut Kepala Subseksi Pendaftaran Hak Tanah Badan Pertanahan Nasional Kabupaten Sleman, Priyantono Jati, SE., menyampaikan bahwa bagi pengembang yang ingin melakukan bisnis properti, sertifikat induknya telah dipecah dan wujud bangunannya sudah ada.

“Permasalahan terkait sertifikat tanah yang masih induk tersebut sering kita jumpai terutama dari pengembang yang tidak murni, sehingga kami sarankan sertifikat induknya dipecah terlebih dahulu”, ungkapnya. (IH/ESP)