Dampak Riset Tidak Hanya Komersialisasi

Keluarga besar Universitas Islam Indonesia (UII) bersyukur atas nikmat yang tak berhenti terlimpah. Pagi ini, dua sahabat kita mendapatkan amanah jabatan baru, sebagai profesor: Prof. Zaenal Arifin dan Prof. Ilya Fadjar Maharika. Untuk itu, kami mengucapkan selamat atas capaian tertinggi dalam kewenangan akademik ini.

Sampai hari ini, UII mempunyai 37 profesor aktif yang lahir dari rahim sendiri. Ini menjadikan proporsi dosen dengan jabatan akademik profesor mencapai 4,6 persen (37 dari 800 orang). Saat ini, sebanyak 258 dosen berpendidikan doktoral. Sebanyak 66 berjabatan lektor kepala dan 115 lektor. Mereka semua (181 orang) tinggal selangkah lagi mencapai jabatan akademik profesor.

Selain karena sekarang adalah masa panen dari benih yang sudah ditanam pada waktu lampau, beberapa program percepatan yang didesain dengan mempertimbangkan etika tinggi, alhamdulilah, telah membuahkan hasil. Capaian jabatan profesor bukan hanya merupakan prestasi personal, tetapi juga institusi.

 

Isu dampak riset

Izinkan saya berbagi perspektif dan mengajak hadirin, terutama profesor baru, untuk membantu mematangkan melalui refleksi lanjutan. Salah satu kritik yang sering dialamatkan kepada perguruan tinggi adalah terkait dengan dampak riset.

Diskusi ini sudah membentang sekian dekade di komunitas akademik. Tidak ada kesepakatan tunggal dalam konseptualisasinya. Dan, memang seharusnya demikian, ketika demokrasi sehat masih hidup di dunia akademik.

Dampak riset bukan konsep yang sederhana, kecuali bagi mereka yang suka menyederhanakan masalah karena terlalu percaya diri (overconfidence). Salah satu sebab terlalu percaya diri adalah  paparan informasi yang kurang. Ini adalah salah satu kecohan dalam berpikir (logical fallacies) (Bazerman, 2002)

Kecohan berpikir ini telah menjangkiti banyak orang, tidak hanya kalangan awan, tetapi juga komunitas terdidik, termasuk profesor. Indikasinya beragam, termasuk kecenderungan pola pikir dikotomis dan linier untuk konteks masalah yang melibatkan banyak variabel. Dampak riset, yang tidak bisa dilepaskan dari relevansinya, merupakan salah satu contohnya (Toffel, 2016).

Konseptualisasi dampak riset dapat berangkat dari beragam titik pijak. Bisa jadi, pendekatan riset yang berbeda mengharapkan dampak yang juga berbeda. Periset yang beraliran positivist, interpretivist, contructivits, realist, critical, atau bahkan performative mempunyai imaji dampak yuang beragam (Greenhalgh et al., 2016).

Konseptualisasi dampak riset akan berpengaruh pada banyak hal. Termasuk di antaranya: kebijakan, filosofi dasar, hasil yang dibayangkan, sampai dengan konstekstualiasi hasil.

 

Jebakan inklusi dan eksklusi

Implikasi pilihan konseptualisasi mencakup dua sisi: sebagai payung untuk inklusi atau pagar eksklusi. Jika tidak dipahami dengan hati-hati, ada jebakan di sana.

Kita berikan ilustrasi.

Ketika dampak dikonseptualisasi terbatas sebagai komersialisasi, maka semua aktivitas yang menghasilkan produk komersial dipastikan sebagai riset yang berdampak. Bahkan, bisa jadi, aktivitas tersebut bukan riset dalam definisi normatif akademik. Mungkin aktivitas tersebut termasuk dalam kelas desain rutin atau konsultasi, dan bukan riset desain, karena tanpa kontribusi kepada pengembangan ilmu pengetahuan. Ini adalah contoh jebakan inklusi.

Meski juga harus dipahami, untuk menjadi berdampak, tidak semua aktivitas harus dikemas dalam riset. Kita bahas isu di kesempatan lain.

Di sisi lain, ada juga jebakan eksklusi. Ketika riset tidak langsung memberikan dampak pada komersialisasi produk, riset dianggap tidak berdampak. Saya membayangkan kolega di disiplin filsafat, sejarah, sosiologi, studi agama, akan “mati gaya” di depan rezim pola pikir seperti ini.

Kalau kita berani untuk jujur, tampaknya sampai level tertentu kebijakan diambil negara saat ini sudah masuk dalam jebakan ini. Semuanya seakan sempurna dan selesai jika bisa diukur dengan materi atau uang.

Pragmatisme, paham yang melihat manfaat praktikal, dalam mengukur dampak riset memang menjadi yang cukup dominan saat ini. Tidak salah, tetapi akan menjadi membuka ruang diskusi ketika hal tersebut dianggap satu-satunya pilihan.

Diskusi di literatur mutakhir membahas beragam perspektif. Pendekatan di atas hanya merupakan salah satunya, yang bidang aplikasi (application), yang mempunyai sifat serta merta dan kasatmata. Dampak ini akan dimanifestasikan dalam perubahan proses dan juga praktik. Di sini, fokus konseptualiasi dampak riset pada kegunaan atau utilitas (utility) (Williams, 2020).

 

Memperluas konseptualisasi

Pada horizon waktu yang lebih lama dan juga tingkat abtraksi yang berbeda, ada bidang lain yang perlu masuk dalam radar kita (Williams, 2020). Kita bisa sebut, misalnya, dampak saintifik (scholarly) dalam bentuk kemajuan dalam ilmu pengetahuan. Jika kesadaran ini diambil, maka tidak ada ada lagi yang berkomentar: “untuk apa riset jika hasilnya hanya sebuah buku atau artikel jurnal”. Mereka lupa, dengan cara demikian itulah, komunikasi antarsaintis terjadi dan kualitas sains ditera. Di sini, dampak dilihat dari sisi aspek kredibilitas (credibility).

Dampak riset juga mewujud dalam bidang politika, ketika hasil riset mengubah kebijakan dan tata kelola. Ada aspek autoritas (authority) di sini. Riset akan mempengaruhi para aktor politik, kebijakan, dan tata kelola. Dampak itu sulit mewujud ketika negara cenderung antisains atau jika menempatkan sains di bawah pertimbangan politik.

Dalam konteks akar rumput atau publik, dampak riset bisa mewujud menjadi media yang mendorong debat dan mengubah persepsi publik. Ini soal visibilitas (visibility) hasil riset. Jika dampak di sini ini diinginkan membesar, maka para periset perlu belajar bahasa yang mudah dipahami khalayak. Bahasa saintifik komunikasi akademik perlu digantikan dengan bahasa sederhana yang memahamkan banyak orang.

Ini adalah cara ampuh dalam membumikan sains, karena mendekatkan sains dengan kalangan yang lebih luas, tidak hanya yang menekuni disiplin tertentu. Dalam beberapa dekade terakhir, saya menyaksikan, pendekatan ini dipilih oleh banyak saintis kelas dunia. Buku-buku nonfiksi yang kita temukan di banyak toko buku di bandara, misalnya, adalah versi populer dari hasil riset yang mendalam. Banyak dari buku tersebut ditulis oleh para profesor papan atas, tetapi dengan bahasa yang mudah. Merepa menggunakan gaya bercerita (story telling) yang kaya ilustrasi yang mendekatkan pembaca dengan konteks sehari-hari. Tak jarang, beragam metafora digunakan, untuk memudahkan pemahaman.

Meski, saya sadar sepenuhnya, di Indonesia, pemahaman dalam konteks ini belum mendapatkan apresiasi. Kebijakan negara dalam penilaian angka kredit, misalnya, menutup sebelah mata untuk tulisan saintifik populer yang muncul di media massa atau buku saintifik populer.

Sekali lagi, semoga amanah profesor ini menjadi pembuka berjuta pintu keberkahan, tidak hanya bagi pribadi dan keluarga, tetapi juga institusi dan publik. Jabatan profesor tidak hanya merupakan prestasi, tetapi juga sekaligus amanah publik yang perlu dijalankan dengan sepenuh hati.

Semoga Allah selalu meridai UII dan kita semua.

 

Referensi:

Bazerman, M. H. (2002). Judgment in managerial decision making. Wiley.

Toffel, M. W. (2016). Enhancing the practical relevance of research. Production and Operations Management25(9), 1493-1505.

Greenhalgh, T., Raftery, J., Hanney, S., & Glover, M. (2016). Research impact: a narrative review. BMC medicine14(1), 1-16.

Williams, K. (2020). Playing the fields: Theorizing research impact and its assessment. Research Evaluation29(2), 191-202.

Sambutan pada serah terima Surat Keputusan Profesor atas nama Prof. Zaenal Arifin dan Prof. Ilya Fadjar Maharika, pada 6 Oktober 2023.