Diskusi Kritis Menyikapi Eksploitasi Alam Papua

Sikap kritis pada diri seorang mahasiswa haruslah terus dibangun. Forum diskusi menjadi salah satu media untuk meningkatkan sikap kritis mahasiswa itu. Inilah yang didorong LEM UII melalui diskusi bersama dengan tema “Bedah Film : The Mahuzes” pada Ahad (20/5). LEM UII sebagai penyelenggara mendatangkan dua pembicara yaitu Dr. Ahmad Sahide. S.IP.,M.A, selaku Sekretaris Prodi Magister Ilmu Hubungan Internasional (MIHI) UMY. Pembicara kedua adalah seorang social movement institute yaitu Melki.

Kegiatan diskusi diawali dengan menonton bersama film The Mahuzes yang menceritakan masyarakat Papua menolak untuk membuka lahan hutan sebagai perkebunan dan persawahan. Sehingga menimbulkan konflik sosial di Merauke antara masyarakat dengan investor.

Pada mulanya pemerintah merencanakan pembukaan lahan pertanian sebagai lumbung pangan dengan kualitas ekspor. Akan tetapi pemikiran penduduk lokal berbeda karena makanan pokok tidak hanya beras. Peduduk lokal selama ini menggantungkan kehidupannya pada alam sehingga alam tempat mereka berada tidak boleh rusak.

Kegiatan perkebunan kelapa sawit yang pada saat ini sedang berjalan di Merauke menimbulkan problematika bagi masyarakat. Salah satu masalah yang dihadapi adalah masyarakat tidak bisa mendapatkan air bersih. Sumber air mereka telah tercemar. Hingga diakhir film, tidak menunjukkan sebuah solusi untuk menyelesaikan konflik tersebut.

Menyikapi isi dari film tersebut, Dr. Ahmad Sahide. S.IP.,M.A berpendapat pemikiran orang modern dengan orang tradisional berbeda dalam cara melanjutkan hidup. Hal tersebut karena ketergantungan masyarakat pada alam yang sangat tinggi. Menurutnya komunitas masyarakat semakin masif dengan memasuki pasar bebas. Hal ini menimbulkan tantangan baru bagi masyarakat yaitu harus bersikap kompetitif.

Peningkatan pembangunan tentunya membutuhkan banyak dana, maka salah satu sumber dana tersebut adalah investor. Ia menambahkan bahwa terdapat hubungan antara pasar dengan pemerintah dan masyarakat yang diabaikan. Problematika yang timbul adalah alam sebagai komoditas perpolitikan. Hal ini menimbulkan kerusakan alam atau sumber daya.

Sedangkan Melki berpendapat sama mengenai adanya indikasi konflik agraria yaitu alam dijadikan sebagai komoditas politik, yang ia sampaikan langsung dari kursi penonton. “Fenomena sosial di Papua yang kaya sumber daya alam tetapi masyarakat masih tertinggal”, Jelasnya.

Oleh karenanya, timbul pemikiran baru yaitu meninggalkan alam dan bergantung kepada pemerintah setelah mendapatkan bantuan. Hingga mereka berusaha untuk mendapatkan bantuan secara terus-menerus. Salah satu solusi yang dapat dilakukan adalah dengan meningkatkan pendidikan di Papua. (NR/ESP)