Ekonomi Islam dalam Mereduksi Moral Hazard

Moral hazard dalam ekonomi menggambarkan bentuk pelanggaran etika, regulasi, dan kontrak. Baik berupa kecurangan maupun upaya untuk menyiasati kontrak atau regulasi demi kepentingan diri sendiri yang menyebabkan orang lain merugi. Moral hazard muncul karena seorang individu atau lembaga yang tidak bertanggungjawab atas perbuatannya. Hal ini menyebabkan seseorang cenderung bertindak kurang hati-hati dan melepaakan tanggung jawab atas konsekuensi dan tindakannya kepada pihak lain.

Merespon hal tersebut, Jurusan Studi Islam Fakultas Ilmu Agama Islam Universitas Islam Indonesia (FIAI UII) menyelenggarakan Dakwah Islamiyah Nasional Ekonomi Islam mengangkat tema Kontribusi Ekonomi Islam dalam Mereduksi Moral Hazard, pada Sabtu (29/8) secara virtual. Dakwah Nasional ini menghadirkan pembicara Piminan Pondok Modern Tazakka K.H. Anang Rizka Masyhadi, Lc., MA. Pembicara lainnya yakni Rheyza Virgiawan, Lc., M.E., Martini Dwi Pusparini, SHI., MSI., Anom Garbo, SEI., MEI., ketiganya merupakan dosen Program Studi Ekonomi Islam UII.

K.H. Anang Rizka Masyhadi menyebutkan beberapa warisan syari’ah yang menjadi instrumen kemandirian umat seperti zakat, infaq, shodaqoh dan wakaf (ZISWAF). ZISWAF inilah yang menjadikan instrumen ekonomi keumatan sehingga membawakan kemajuan sebagaimana Islam dimasa kejayaan. Lembaga-lembaga zakat sangat bergantung kepada kepercayaan dan sejauh mana kejelasan akan kemanfaatan yang diberikan dari zakat tersebut di depan umat. Hal ini haruslah selaras dengan prinsip utama pengelolaan ZISWAF yaitu amanah dan amal (cita-cita).

Beliau menambahkan bahwa potensi wakaf jauh lebih besar dari pada potensi zakat, karena wakaf bersifat abadi dan mampu menjawab permasalahan ekonomi di masyarakat. Meskipun demikian membayar zakat juga merupakan kewajiban bagi setiap muslim. Selain itu, terdapat beberapa wakaf temporer seperti wakaf melalui uang, pengalihan hak, dan profesi. “Sebagaimana di PP Tazakka ada dokter-dokter yang secara bergilir dia mewakafkan waktunya, profesinya, sehari dalam seminggu untuk membuka praktek di klinik pesantren dan melayani para dhuafa, santri, dan fakir miskin,” tuturnya.

Rheyza Virgiawan mengatakan bahwa moral hazard dalam bisnis digital seperti maraknya penipuan dalam bisnis online sering terjadi, kapanpun dan dimanapun. Salah satu pemicu terjadinya moral hazard dalam aktifitas bisnis digital adalag informasi yang asimetris atau informasi yang tak berimbang, yang salah satunya adanya hidden action, perilaku yang tidak terobservasi oleh pihak lain.

Ia juga menyatakan maraknya penipuan dalam bisnis online yang marak terjadi dengan berbagai macam bentuk. Ada tiga faktor yang dapat mengakibatkan seseorang melakukan penipuan, yang pertama pressure (tekanan), baik tekanan dari keluarga, latar belakang ekonomi dan sebagainya. Kedua, Opportunity (kesempatan dan yang ketiga Rasionalisation (rasional), Capability (kemampuan). “Upaya preventif yang bisa kita ambil untuk mencegah terjadinya moral hazard yaitu dengan membuat informasi berimbang antar kedua belah pihak baik pembeli maupun penjual, dengan melihat review produk untuk menambah informasi. Serta penerapan pemberian sanksi sebagai pembelajaran maupun efek jera bagi pelaku moral hazar,” jelasnya.

Martini Dwi Pusparini memaparkan dalam konteks lembaga filantropi seperti lembaga zakat dan wakaf yang rawan terdapat moral hazard di dalamnya. Seperti perilaku tidak jujur dengan mengorbankan kepentingan sendiri. Dilansir dari Lembaga donasi Internasional asal Inggris Charities Ais Foundation (CAF), disebutkan bahwa di tahun 2019 potensi zakat di Indonesia mencapai 233,6 triliun, dengan meningkatnya angka bagi jumlah donatur di Indonesia ini, pernah menjadikan Indonesia sebagai negara ‘paling dermawan’ di dunia pada tahun 2018. “Masyarakat kita juga menuntut adanya transparasi dan akuntabilitas dari lembaga zakat,” imbuhnya.

Pentingnya kepercayaan masyarakat terhadap lembaga zakat untuk dapat menyalurkan zakat tepat sasaran. Sebagaimana hasil survey nasional terhadap akuntabilitas LAZ bahwa 97 persen masyarakat menginginkan Lembaga Amil Zakat (LAZ) bekerja secara akuntabel dan transparan. Akuntabilitas sendiri merupakan suatu cara pertanggung jawaban manajemen atau penerima amanah kepada pemberi amanag atas pengelolaan sumber-sumber daya yang dipercayakan kepadanya, dan pencatatan transaksi inilah akan memberikan informasi terhadap kondisi riil yang ada kepada publik.

Sementara Anom Garbo menyampaikan bahwa Moral Hazard (moral ekonomi) bersumber pada kecenderungan manusia untuk lebih menyelamatkan diri sendiri. Sebagaimana yang terjadi di awal masa pandemi beberapa komoditas dijual dengan harga yang sangat tinggi dari harga normalnya. Solusi yang ia sampaikan adalah pentingnya menguatkan tauhid sebagai fondasi dasar dan menumbuhkan kesadaran sebagai insan yang sedang disapa oleh Allah dengan cobaan, dan menciptakan kondisi yang kondusif dengan meningkatkan moralitas pada diri.

“Kepentingan yang terkait dengan moralitas bahwa naluri untuk bertahan menyebabkan kita tidak mengindahkan kepentingan manusia lain sebagai sesama mahluk di muka bumi, karena pada kondisi yang genting mereka melindungi aset mereka sendiri. Maka kejujuran, amanah dan iman tanpa adanya kompetensi agama yang memadai dikhawatirkan naluri manusia lebih kuat dari pada sebagaimana seharusnya manusia hidup sebagai khalifah dimuka bumi,” ucapnya. (HA/RS)