Enam Arwah Laskar FPI Dapatkan Ditetapkan Sebagai Tersangka

Isu pelanggaran HAM menjadi suatu persoalan yang tak pernah usai dibicarakan hingga saat ini. Satu diantaranya adalah peristiwa meninggalnya enam laskar FPI pada 7 Desember 2020 lalu yang diduga terjadi tindakan un law ful killing (tindakan pembunuhan diluar ketentuan hukum yang seharusnya) oleh aparat kepolisian berdasarkan pernyataan Komnas HAM pada 8 Januari 2021 lalu. Namun, pada akhirnya, menghasilkan penetapan tersangka terhadap 6 laskar FPI dengan alasan adanya tindakan penyerangan kepada pihak kepolisian. Hal ini, dinilai oleh berbagai pihak dapat semakin memperkeruh persoalan pelanggaran HAM di Indonesia.

Berangkat dari permasalahan tersebut, muncul pertanyaan dapatkah seseorang yang telah meninggal (enam laskar FPI) ini ditetapkan sebagai tersangka menurut hukum pidana dan hak asasi manusia. Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum (LKBH) Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (FH UII) mengadakan webinar dengan tema “Polemik Penetapan Tersangka Terhadap 6 Arwah Laskar FPI” pada Sabtu (6/3) dengan menghadirkan enam orang pemateri dibidang hukum pidana dan hak asasi manusia

Pemateri yang dihadirkan anatara lain Dr. Mudzakkir, S.H., M.H., (Dosen FH UII), Dr. M. Arif Setiawan, S.H., M.H. (Advokat & Dosen FH UII), Dr. Trisno Raharjo, S.H., M.Hum. (Ketua MHH PP Muhammadiyah), Dr. Mahrus Ali, S.H., M.H. (Dosen FH UII), Eko Riyadi, S.H., M.H. (Direktur Pusham UII), dan Sugito Atmo Prawiro, S.H., M.H. (Advokat). Jalannya diskusi dipandu oleh Anang Zubaidy, S.H., M.H. (Advokat & Dosen FH UII).

Menurut Sugito, kasus meninggalnya 6 laskar FPI ini, tidak murni hukum/bukan perkara hukum biasa, melainkan sangat kental dengan muatan politik, “keadaan ini sangat mengkhawatirkan, karena penegakkan hukum sudah dikendalikan sepenuhnya oleh pihak-pihak yang dekat dengan penguasa,” ujarnya.

Berdasarkan pemeriksaan yang telah dilakukan, Sugito dengan pihaknya telah menyiapkan saksi dan bukti-bukti yang kuat untuk menuntut hak-hak dari kelurga korban. Sugito pun sudah mencoba berkoordinasi dengan Komnas HAM, Komisi III, dan pihak-pihak lainnya, serta membuat surat kepada ICC atas kasus ini walaupun Indonesia belum meratifikasinya, sebagai upaya untuk tetap menuntut hak-hak korban atas jadinya kejadian 6 laskar tersebut.

Sementara itu, Eko Riyadi dalam paparannya mengatakan berdasarkan rekomendasi Komnas HAM yakni adanya tindakan un law ful killing dan merekomenadasikan penyelenggaraan peradilan pidana bagi pihak anggota kepolisian yang melakukan pelanggaran hukum dalam kasus ini. Karenanya patut diduga Komnas HAM memiliki bukti yang kuat dari kasus tersebut. Bukti ini nantinya dapat digunakan sebagai dasar yang kuat untuk mengungkap kebenaran dari kasus ini.

Menurut Mahrus Ali, ada beberapa kejanggalan yang terdapat dalam kasus ini. Pertama, adanya ketidakjelasan kejadian berdasarkan rekomendasi Komnas HAM terkait tindakan serang-menyerang, yaitu adanya peluru yang ditujukan kepada mobil kepolisian, sedangkan pada fakta yang terungkap 6 laskar FPI ini tidak ada yang membawa senjata apapun. Dengan ini, maka tidak dimungkinkan adanya pembelaan jika tidak ada penyerangan. Jika dikaitkan dengan Pasal 48 KUHP ayat 1 maka pasal ini tidak terpenuhi. Adanya fakta polisi menguntit 6 orang ini juga, tidak memenuhi ketentuan pembelaan dalam Pasal 170 KUHP.

Kedua, adanya penetapan tersangka atas 6 laskar FPI ini, sangat tidak dimungkinkan orang yang telah meninggal dunia ditetapkan sebagai tersangka. Sebab dalam KUHP ketentuan orang itu haruslah orang yang masih hidup, dan tidak bisa diperuntukkan bagi orang yang sudah meninggal.

Selanjutnya Trisno Raharjo dalam kesempatannya mengatakan, penetapan tersangka atas orang yang sudah meninggal itu tidak perlu dilakukan. Hal ini berdasarkan Pasal 111 dan Pasal 132 RUU KUHP yang menyatakan bahwa kewenangan penuntutan dinyatakan gugur apabila tersangka atau terdakwa meninggal dunia. Jika, memang tersangka tersebut dibuktikan melakukan pelanggaran dan diperlukan untuk ditetapkan sebagai tersangka, maka pada saat itu juga harus dikeluarkan SP, tidak dibiarkan begitu saja seperti yang terjadi dalam kasus 6 laskar FPI ini.

Adapun menurut Arif Setiawan, seseorang yang ditetapkan sebagai tersangka, memiliki hak untuk membela diri dan hak untuk didengar penjelasannya. Dengan ditetapkannya 6 laskar FPI yang telah meninggal ini, maka hal ini tentu telah melanggar hak-hak dari tersangka itu sendiri dan akan membingungkan proses hukum yang harus dilakukan. Sehingga, menurutnya kasus ini tidak dapat dilihat melalui aspek hukum saja, tetapi harus dilihat juga dari aspek-aspek yang lainnya.

Terakhir, Mudzakkir mengemukakan penetapan tersangka kepada orang yang sudah mati batal demi hukum, penetapan ini juga telah melenceng jauh dari rekomendasi yang disampaikan oleh Komnas HAM sebelumnya. Selain itu, hal ini juga patut diduga sebagai upaya pembenaran dan pembebasan anggota Polri yang telah melakukan pembunuhan terhadap 6 laskar FPI ini, sehingga tindakan penetapan tersangka oleh Mabes Polri ini tidak dilakukan secara benar dan tepat dari ketentuan hukum pidana. Fenomena kasus 6 laskar FPI ini, membuktikan masih lemahnya penegakkan hukum di Indonesia ini, serta menambahnya permasalahan pelanggaran HAM yang sulit untuk dituntaskan di negeri ini. (EDN/RS)