FH UII Gelar Seminar Nasional Bertajuk Evaluasi Pemilu 2024

Fakultas Hukum Univeristas Islam Indonesia (FH UII) menggelar seminar nasional dan call for papers bertajuk Pelaksanaan Pemilu 2024: Evaluasi dan Gagasan ke Depan. Kegiatan ini dilaksanakan pada Selasa (8/5) di Auditorium Lantai 4 Gedung FH UII. Kegiatan yang membahas gagasan ke depan dan evaluasi untuk pelaksanaan pemilu yang lebih baik ini menghadirkan Prof. Dr. Mohammad Mahfud MD., S.H, S.U, M.I.P. sebagai keynote speaker.

Sementara itu hadir sebagai narasumber antara lain Vid Adrison, S.E., M.A., Ph.D (Dosen FEB Universitas Indonesia), Eko Riyadi S.H., M.H (Dosen FH UII), Prof. Dr. Ni’matul Huda, S.H., M.Hum (Guru Besar Hukum Tata Negara FH UII/Ketua APHTN-HAN DIY), dan Bivitri Susanti, S.H., LL.M (Dosen STH Jantera). Pada penyelenggaraan Call for Papers ini, terdapat sebanyak 45 pemakalah yang juga turut hadir untuk menyampaikan presentasi.

Kegiatan seminar nasional diawali dengan sambutan dari Dr. Sri Hastuti Puspitasari, S.H., M.H selaku Wakil Dekan Bidang Sumber Daya FH UII. Dalam sambutannya, ia menaruh harapan agar kegiatan ini dapat membuat gagasan yang hebat untuk pemilu ke depan.

“Topik seminar pada hari ini tentunya masih aktual walaupun putusan sudah final, tapi bagi kalangan akademisi perguruan tinggi hal ini belum selesai untuk kita diskusikan, lihat celah-celahnya. Alhamdulillah narasumber pada hari ini sangat kampiun dibidangnya. Mudah-mudahan acara ini dapat melahirkan gagasan-gagasan brilian dan lebih jauh demokrasi Indonesia di masa yang akan datang. Selamat mengikuti seminar dan call for papers, semoga kita dapat memetik manfaat dari kegiatan hari ini,” tutur Dr. Sri Hastuti

Prof. Mahfud saat menyampaikan pidato kunci menyampaikan bahwa putusan MK sudah final, penting menjaga negara sesuai konstitusi. “Putusan MK sudah final dan mengikat sehingga saya harus menerima vonis MK tersebut karena saya mengikuti kaidah hukmul haakim yarfa’ul khilaaf yaitu putusan hakim itu menghilangkan persengketaan, tutur Prof. Mahfud.

“Saat menjadi ketua MK, saya juga marah kalau ada yang menggugat putusannya. Keputusan hakim mengakhiri perselisihan sehingga tidak membuat negara menjadi kacau dan rakyat menjadi korban. Bagi kita yang penting negara tetap harus berjalan tidak boleh mandeg apalagi kacau karena perselisihan yang tak kunjung selesai. Perjalanan menjaga negara dan munculnya pemerintahan sesuai dengan konstitusi menjadi keharusan yang harus dinomor satukan. Marilah sekarang kita cari tempat-tempat berjuang lain untuk memperbaiki hukum di negara.” terang Prof. Mahfud

Prof. Mahfud melanjutkan paparannya terkait dengan evaluasi dalam penyelenggaraan negara khususnya pemilu. “Secara hukum memang sudah selesai, tapi secara politik belum. Masih banyak yang harus dilakukan. Perlu ada pengontrolan agar pemerintah tetap pada tracknya dan tujuan negara dapat tercapai sehingga jangan pernah lelah untuk mengambil posisi untuk tetap berjuang, banyak hal yang bisa dilakukan contohnya ormas-ormas, kampus-kampus harus tampil, konsolidasi publik oleh civil society dan masih banyak yang lainnya,” paparnya..

Narasumber seminar, Vid Adrison dalam materinya banyak membahas tentang korelasi dan implikasi ekonomi dalam penyelenggaraan pemilu 2024, khususnya dalam interaksi pra dan pasca pemilu serta political cycle.

“Dalam pemilu, kemungkinan mendapat kandidat kompeten lebih kecil jika kandidat tersebut tidak didukung petahana, khususnya terkait bansos. Mengapa bansos efektif meningkatkan suara petahan atau kandidat yang didukung petahana karena bansos bisa diklaim 100% karena kebijakan pemerintah, bansos menyasar kelompok miskin yang mana nilai uangnya sebesar 200 ribu itu jauh lebih tingi bagi masyarakat miskin dibanding masyarakat berpenghasilan tinggi, dan perilaku myopic atau kecenderungan memperhatikan sesuatu yang lebih dekat terjadi dibanding dengan sudah lama terjadi ” tandas Vid Adrison

“Evaluasi yang bisa saya berikan untuk pemilu yang akan datang perlunya pengaturan untuk mengurangi potensi penyalahgunaan anggaran untuk meningkatkan keterpilihan petahana/kandidat yang didukung petahana dan perlunya regulasi agar persaingan electoral menjadi sehat,” tambah Vid Adrison.

Eko Riyadi sebagai panelis berikutnya menjelaskan tentang partisipasi politik masyarakat dalam pemilu. Ia menyatakan enggan menyebut masyarakat dengan ‘voters’ dan lebih memilih ‘citizens’, sebab bila menjadi seorang voters, ia akan ‘ditinggalkan’ setelah kandidat terpilih.

“Masyarakat seperti the ‘stepping pedestal’ left behind’ (undak-undakan yang ditinggalkan setelah kandidat naik). Maka dari itu, ketika memilih melaksanakan pemilu harus benar-benar memahami apa yang para kandidat lakukan,” ujar Eko Riyadi.

Bivitri yang juga merupakan salah satu tokoh penting dibalik film kontroversial ‘Dirty Vote’, banyak membongkar problematika dalam praktik penyelenggaraan pemilu. “Ada tiga isu yang ingin saya angkat yang pertama itu isu lama yang menguat yakni presidential threshold yang menguatkan elite yang berimplikasi pada kualitas demokrasi yang menurun dan dana kampanye dan politik uang yang semakin menjadi-jadi,” ungkapnya.

Isu kedua yaitu isu baru, ada 4 yakni nepotisme dalam bentuk penyalahgunaan kekuasaan, tidak profesionalnya penyelenggara pemilu dengan banyaknya pelanggaran-pelanggaran yang terjadi tetapi tidak diindahkan, pembajakan Mahkamah Konstitusi yang mulai nampak dari beberapa putusan yang tidak mempunyai penalaran hukum yang wajar, dan masalah pendidikan politik serta pembodohan struktural yang pada dasarnya warga yang kurang melek politik mudah dimanipulasi politikus.

“Isu ketiga yaitu refleksi yang membutuhkan perombakan besar diakibatkan oleh kartel politik dan oligarki yang menguat dan warga semakin dijauhkan dari politik yang berimplikasi pada tidak adanya supply and demand dalam politik seperti kurangnya menuntut hak jika menuntut dibungkam, tidak ada adanya insentif membenahi hak-hak dasar warga, dan oligarki yang merajalela,” jelas Bivitri

Bivitri juga menyampaikan evaluasi untuk penyelenggaraan praktik pemilu. “Evaluasi ke depan berupa perombakan sistem khususnya perombakan partai politik. Kekuatan oposisi sangat dibutuhkan karena oposisi menjadi kekuatan penyeimbang dan penjagaan. “Kita harus create the demand tidak bisa hanya bergantung pada lembaga politik formal, perlu ada upaya yang membuat warga yang lebih sadar dan kritis,” tambahnya.

Narasumber selanjutnya, Prof. Ni’matul Huda, menebalkan paparan-paparan narasumber lainnya mengenai catatan dan desain pemilu ke depan dilihat dari segi konstitusi. “Desain kelembagaan dan tata kerja antar lembaga penyelenggaraan pemilu perlu ditata ulang agar ke depannya dapat lebih tegas, jelas, dan sinergis,” terangnya.

“Presiden, wakil presiden, dan menteri-menteri harus bisa memberikan keteladanan dan tegas untuk menjaga netralitas ASN. Perlu ada larangan bagi petahana dalam penggunaan sumber daya daerah untuk politisasi bantuan sosial, perlu adanya pengawasan untuk kekuasaan eksekutif, dan antisipasi adanya potensi politisasi birokrasi di daerah melalui promosi mutasi pejabat di daerah,” tutur Prof. Ni’matul Huda.

Seminar nasional ditutup dengan sesi diskusi. Selanjutnya, acara presentasi Call for Papers dilaksanakan secara hybrid di Mini Auditorium, Ruang Erasmus, dan melalui zoom meeting. (AHR/RS)