Hukum yang Manusiawi

Atas nama UII, saya menyambut baik penulisan dan penerbitan buku berjudul Metodologi Hukum Hak Asasi Manusia: Nalar, Praktik, dan Tantangannya dalam Sistem Peradilan Indonesia yang diluncurkan dan didiskusikan hari ini. Saya juga ingin mengajak semua hadirin untuk memberikan apresiasi yang tinggi kepada ikhtiar kolektif ini, yang melibatkan penulis lintas lembaga dan dengan dukungan penuh dari The Norwegian Center for Human Rights (NCHR) atau Norsksenter for menneskerettigheter, Universitas Oslo.

Kita semua berharap, kehadiran buku langka ini akan menjadi referensi bermakna untuk pembaruan hukum di tanah air, terutama terkait inklusi hukum hak asasi manusia dalam sistem peradilan di Indonesia.

 

Hukum kontekstual

Saya harus melakukan pengakuan di depan. Latar belakang saya sama sekali tidak terkait dengan hukum.

Saya diberi buku yang akan diluncurkan beberapa waktu lalu. Tentu, saya menyambutnya dengan antusias dan memulai membacanya. Paling tidak sebagian isi buku. Bagian epilog yang ditulis oleh Bapak Andriaan Bedner pun saya baca. Meski tidak dapat mencerna semua poin, saya sebagai orang awam hukum, menangkap banyak poin penting.

Saya pun akhirnya teringat kisah Nenek Minah yang terjadi 14 tahun lalu, pada 2009.

Nenek Minah, pada saat itu, selepas memanen kedelai di Perkebunan Rumpun Sari Antan (RSA), Purwokerto. Dalam perjalanan pulang melihat kakao matang di perkebuan tempat ia bekerja, dan dia ingin memetiknya. Tiga buah kakao dipetiknya dan diletakkan di bawah pohon.

Dia ingin mengambil biji kakao untuk disemai di kebunnya sendiri. Mandor perkebunan memergokinya. Nenek Minah langsung meminta maaf dan menyerahkan ketiga kakao tadi.

Sekitar seminggu kemudian, Nenek Minah menerima surat panggilan dari kepolisian atas dugaan pencurian. Proses hukum pun bergulir.

Akhirnya Nenek Minah dijatuhi hukuman 1 bulan 15 hari karena mencuri 3 buah kakao seberat 3 kg seharga Rp6.000, meski dia tak perlu menjalani hukuman itu, dengan catatan tidak melakukan tindak pidana lain selama masa percobaan tiga bulan.

Tentu, di luar kapasitas saya untuk membahas kasus ini lebih lanjut. Namun, hati nurani saya melihat ada yang “aneh” dalam kasus tersebut. Apalagi jika dikaitkan dengan kasus-kasus besar lain, seperti korupsi.

Sekilas saya lacak latar belakang Nenek Minah. Dia miskin. Untuk ongkos perjalanan menghidiri sidang dengan biaya ojek dan angkutan umum Rp50.000 juga sangat berat.

Banyak pertanyaan yang muncul di benak saya: Apakah itu yang dinamakan keadilan? Apakah hukum memang harus saklek atau kaku tanpa melihat konteks? Ataukah ada perspektif lain?

 

Tirani meritokrasi

Pekan lalu, oleh seorang kawan, saya diberi hadiah sebuah buku, berjudul The Tyranny of Merit. Penulisnya Michael J. Sandel, profesor di Harvard Law School.

Pesan besar yang diusung oleh buku ini adalah, bahwa ketika kesenjangan atau ketimpangan masih ada dan apalagi tajam, prinsip meritokrasi hanya akan mendemoralisasi atau melemahkan semangat mereka yang tertinggal.

Dalam tafsiran sederhana saya, jika hak-hak dasar manusia atau warga negara belum bisa terpenuhi maka maka lapangan permainan tidak akan menjadi landai. Akibatnya, dapat dipastikan jika ada kompetisi atau tuntutan untuk patuh kepada standar tertentu, ada pihak yang merasa diuntungkan. Iklusivitas dan keadilan kemudian dipertanyakan.

Apakah mungkin ini juga berlaku dalam hukum? Saya dengar jika dalam hukum juga ada pilitik. Pembentukan hukum sebagai “standar” bersama, juga katanya tidak selalu kalis dari kepentingan. Ada potensi hak-hak dasar manusia diabaikan.

Jika ini benar, maka paling tidak sebagian hukum positif yang berlaku mengandung ruh ketimpangan. Apakah mungkin meritokrasi dalam konteks kesetaraan di depan hukum masih valid?

Saya tidak akan masuk lebih dalam, karena di luar kapasitas saya. Saya menyerahkan kepada ahlinya untuk mendiskusikannya.

 

Epilog

Sebelum mengakhiri sambutan. Izinkan saya, atas nama UII, khusunya Pusat Studi Hak Asasi Manusia (PusHAM) UII, dalam kesempatan baik ini menyampaikan terima kasih kepada Direktur The Norwegian Center for Human Rights (NCHR), Oslo University, Norway, diwakili oleh Aksel Tømte.

NCHR sudah memberi dukungan yang luar biasa kepada PusHAM UII sejak 2006 sampai saat ini, dan hanya mengalami hiatus selama dua tahun pada 2017-2018. Selama periode kerja sama tersebut, NCHR sudah mengucurkan dana sekitar Rp36 miliar untuk beragam program bersama.

Sampai saat ini, lebih dari 350 dosen dari seluruh Indonesia telah menjadi alumni pelatihan Hukum HAM yang diselenggarakan oleh PusHAM UII. Buku yang diluncurkan secara terbuka hari ini adalah yang ke-9 dengan dukungan penuh dari NCHR.

UII juga mengucapkan terima kasih kepada Yang Mulia Ketua Mahkamah Agung yang telah memberikan ruang sangat besar kepada PusHAM UII untuk belajar dan berkontribusi melalui Badan Litbangdiklatkumdil Mahkamah Agung. Insyaallah, kontribusi tersebut terus menempa dan memantapkan posisi PusHAM UII sebagai bagian institusi pembaru hukum di Indonesia.

Terima kasih sekali lagi saya sampaikan kepada semua narasumber, penulis buku, pembahas, dan hadirin sekalin. Selamat berdiskusi.

 

Referensi

Sandel, M. J. (2020). The tyranny of merit: What’s become of the common good?. Penguin UK.

Sambutan pada peluncuran buku Metodologi Hukum Hak Asasi Manusia: Nalar, Praktik, dan Tantangannya dalam Sistem Peradilan Indonesia pada 12 Desember 2023.