Inovasi Mahasiswa Arsitektur Indonesia dalam Ajang Future Arc Prize 2018

Profesi arsitektur adalah salah satu profesi yang memiliki potensi besar ke depannya. Guna mendukung kemahiran mahasiswa dalam bidang arsitektur, maka digelar berbagai ajang perlombaan. Seperti pada 17 April 2018 lalu, 3 tim mahasiswa Arsitektur UII mengikuti ajang “Future Arc Prize” 2018 di Jakarta kategori student dan profesional.

Terdapat dua tim dalam kategori student, tim pertama beranggotakan Muhammad Alim Hanafi (angkatan 2014), Rhizky Annisa Ridyna Gunaedi (angkatan 2015), Dida Laily Chaerunnisa (angkatan 2015), Mutia Muyasari (angkatan 2015), dan Intan Widiyanti Utami (angkatan 2015). Sedangkan tim kedua beranggotakan Satria Agung Permana (angkatan 2014), Intan Dwi Septiani (angkatan 2015), dan Yushna Septian A (angkatan 2013 mahasiswa PPAr UII).

Adapun tim ketiga dalam kategori professional beranggotakan Arif Rasipu (angkatan 2011), Wan Habib (angkatan 2012), Peda Bayu Yunanto (angkatan 2012), M Giffarul Asrori (angkatan 2014), dan Kartikya Ishlah Uatami (angkatan 2014).

Satu hal yang membanggakan, ketiga tim UII mendapatkan penghargaan dalam kategori citation merit award yang termasuk prestisius karena berkompetisi di ajang internasioanal.

Disampaikan Muhammad Alim Hanafi, timnya mengangkat karya berjudul “Code Kampung Bio+Nomy Booster” yang membahas infrastruktur hijau di kawasan perkampungan dan pemikiran strategi untuk mewujudkannya.

“Dalam perencanaan disediakan suatu bangunan sebagai ruang publik yang juga berfungsi lain sebagai penangkap air hujan. Selanjutnya air diolah secara bio-water filtration dan disimpan dalam tangki air yang terletak di bawah bangunan”, jelasnya.

Satria Agung Permana, anggota Tim dua mengatakan timnya tertarik membangun kota biofilik di Yogyakarta. Menurutnya, proyek yang dikerjakan itu akan memaksimalkan potensi biofilik yang dihasilkan. Visi dalam menjalankan proyek ini adalah masyarakat mencintai alam. Penambahan biofilik akan membuat kota seperti hutan yang memiliki keyamanan dan kesegaran.

Sementara Arif Rasipu, anggota tim ketiga memaparkan “The Bio-Factor(y)” dengan lokasi proyek di Semarang, Indonesia. “Kami mengangkat permasalahan penggunaan plastik. Pada umumnya plastik dibuat dari polystyrene plastic seeds yang sulit diurai dan mengahasilkan polusi karbon”, paparnya.

Menanggapi permasalahan tersebut, ia menawarkan ide untuk mengganti bahan baku dalam pembuatan plastik dengan serat alami dari tanaman jagung, singkong atau serat kayu. “Maka dari itu dalam perencanaan ini terdapat gagasan untuk melakukan revolusi hijau terhadap industri plastik yang dapat meningkatkan rantai ekosistem. Material yang digunakan sebagai sumber ditanaman dan dikelola oleh pabrik”, jelasnya.

Kelebihannya adalah akan menekan pengeluaran modal, mengurangi produksi karbon, penghijauan, sehat, ramah lingkungan dan nyaman bagi para pekerja. (NR/ESP)