Kunci Meraih Kesehatan Jiwa Menurut Imam Ghazali

Fakultas Ilmu Agama Islam Universitas Islam Indonesia (FIAI UII) mengadakan kajian kitab Ihya’ Ulumuddin karya Imam Ghazali secara daring pada Rabu (20/4). Acara ini menghadirkan pembicara, Dr. Drs. Asmuni, MA. yang juga dosen FIAI UII.

Diungkapkan Asmuni, jika berbicara an-nafs dalam kitab ini, maka ada relasi kuat antara jiwa yang sehat dengan amal perbuatan utama atau istimewa. Jiwa dengan akhlak terpuji memiliki hubungan yang sangat penting. Jika jiwa sehat maka adanya dorongan untuk melakukan amalan utama atau al-fadhilah

Ia menambahkan jiwa yang sehat selalu merindukan al-fadhillah dan cenderung ke perbuatan-perbuatan yang terpuji secara alami. Adanya al-fadhilah maka tuntutan an-nafs dalam kondisi sehat semakin kuat. Ketika jiwa menafikan al-fadhilah, kemudian melihat ke perbuatan yang tidak terpuji maka ini menunjukkan jiwa yang sakit atau tidak sehat.

“Jika jiwa sakit, condong ke perbuatan kejelekan,” ucap Asmuni. Ia mengatakan cara mengobati jiwa yang sakit yaitu dengan melakukan amalan perbuatan yang terpuji atau al-fadhilah. Hal ini sesuai yang dikatakan Ibnu Maskawaih dan sejalan pula dengan Imam Ghazali. Bahwasannya kecenderungan jiwa kepada perbuatan terpuji atau sesuatu yang terburuk berarti keluar dari sifat alami. Sesungguhnya jiwa tidak menghendaki perbuatan yang buruk. 

Asmuni memberikan ilustrasi terkait hal itu. Misalnya, setan akan menggoda manusia dari arah depan, belakang, kiri dan kanan. Setan tidak berani masuk jalur atas, karena jalur atas tempatnya malaikat untuk mencatat amal baik dan buruk manusia. Begitu pula setan tidak berani masuk jalur bawah, karena jalur bawah ada bumi tempat manusia bersujud. 

Bentuk godaan setan sangat variatif dan dia tidak peduli tingkat kemaksiatan yang level rendah atau tinggi. Terpenting bagi setan adalah ada kemaksiatan yang dilakukan manusia secara berkelanjutan sekecil apapun itu. “Jika hawa nafsu, menggoda manusia tidak terlalu kreatif,” ujar Asmuni.

Menurut Imam Ghazali, riyadhoh diartikan sebagai bagaimana manusia melakukan sesuatu secara maksimal untuk mengalahkan segala bentuk godaan, baik setan atau hawa nafsu. Manusia yang mampu mengalahkan godaan, agar sampai pada posisi yang disebut dengan istilah istikamah yakni diartikan sebagai kesehatan jiwa. 

Mengobati Jiwa Yang Sedang Sakit

Orang yang cenderung meninggalkan ketenangan berarti menunjukkan bahwa jiwanya sedang sakit. Cara mengobatinya dengan menghapus atau meninggalkan ar-razilah (kejelekan). Dihapus sedemikian rupa untuk berusaha menarik al-fadhilah (keutamaan). “Ketika kita dihiasi dengan ar-razilah maka obatnya adalah al-fadhilah.” tegas Asmuni. 

Ketika orang melampaui batas melakukan kegiatan yang utama (al-fadhilah), maka harus seimbang dengan kehidupan sosial yang nyata, sampai bertemu fase ketenangan. Penciptaan fisik manusia tidak secara sempurna, melainkan disempurnakan melalui fase-fase perkembangan dengan pendidikan atau gizi. Demikian pula dengan an-nafs. “Artinya yaitu diciptakan dalam keadaan kurang sehingga bisa disempurnakan.” ucap Asmuni.

Cara menyempurnakan nafs dengan pendidikan, membersihkan atau memurnikan akhlak dan banyak menambah ilmu. Ulama-ulama terdahulu mementingkan 2 ilmu: ilmu Fiqih yang mengatur agama serta ilmu kedokteran yang mengatur fisik. Sedangkan ilmu yang lain hanya sebagai sarana saja. 

Puasa dipandang dapat menyeimbangkan batin manusia. Terdapat keterkaitan agar prioritas manusia simbang antara akhirat dan dunia. “Inilah yang sebetulnya fungsi puasa, tidak terlena dengan aspek-aspek yang sifatnya materi, tetapi juga mementingkan rohani.” tegas Asmuni.

Terakhir, Imam Ghazali mengatakan bahwa ibadah puasa tidak akan diterima jika menganut paham kapitalistik dan materialistik. Karena hal ini tidak seirama dengan filosofi yang dianut. Pendidikan yang terkandung dalam ibadah puasa setelah melihat ontologi puasa menurut Imam Ghazali ada 3: Tarbiyah imaniyah, tarbiyah amaliyah, tarbiyah ilmiah, dan tarbiyah khuluqiyyah. (LMF/ESP)