Masa Depan Perguruan Tinggi

Pandemi Covid-19 merupakan musibah untuk umat manusia. Tak satu bangsa pun di jagad ini yang terhindar. Perbedaannya ada pada respons yang dilakukan, baik oleh warga maupun pemerintah. Dampaknya pun melingkupi semua sektor. Memang ada sektor yang mendapatkan durian runtuh, seperti layanan data dan konferensi daring. Tetapi lebih banyak sektor yang terdampak buruk. Sektor pendidikan, termasuk perguruan tinggi (PT), pun tak luput darinya.

Namun demikian, PT tidak punya pilihan lain selain bertahan sekuat tenaga. Beragam ikhtiar diupayakan. Tidak hanya di tataran pembelajaran, tetapi juga aspek keberlangsungan organisasi. Tidak selalu mudah. Juga, tidak selalu diapresiasi oleh pihak lain. Tetapi, itu bukan alasan untuk mengibarkan bendera putih, tanda menyerah. Tingkat endurans setiap PT berbeda. Kondisi lebih dari 100 PT swasta (PTS) yang merupakan rumah terbesar mahasiswa di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) sangatlah bervariasi.

 

Dulu dua, kini empat

Dulu, ketika situasi normal, perhatian PT, secara sederhana diarahkan ke dua aspek: menjaga kualitas akademik dan keberlangsungan organisasi. Tetapi kini, ketika pandemi datang, ada dua aspek lain yang masuk radar: keselamatan jiwa dan keberlangsungan pembelajaran. Kedua aspek ini menduduki peringkat pertama dan kedua, sedang kualitas akademik dan keberlangsungan organisasi, tergeser menjadi yang ketiga dan keempat. Keempat aspek ini saling berkelindan.

Untuk aspek keselamatan jiwa, nampaknya semua PT sudah melakukan mitigasi secara serius, sesuai dengan kondisinya masing-masing. Aspek keberlangsungan akademik, salah satunya, diikhtiarkan dengan pembelajaran daring. Beragam teknologi digunakan, mulai dari media sosial sampai dengan layanan konferensi video. Niatnya jelas, menyelamatkan pembelajaran mahasiswa.

Apakah tanpa masalah? Tidak. Ada beragam isu yang mengikutinya. Kesiapan dosen dalam penggunaan teknologi dan pengembangan konten pembelajaran, adalah dua di antaranya. Isu lain ada di sisi mahasiswa. Sumber daya pendukung menjadi perintang, termasuk kualitas koneksi Internet dan konsekuensi biayanya. Tidak kalah penting adalah kesiapan mahasiswa menjadi pembelajar mandiri.

Di awal pelaksanaan pembelajaran daring, tidak jarang kita lihat ‘jeritan’ mahasiswa karena hidupnya dipenuhi dengan tugas tiada henti. Karenanya, tanpa bermaksud menjadikan mahasiswa manja dan kehilangan daya juang, takaran pembelajaran daring yang pas memang perlu dicari, termasuk teknologi pendukungnya.

Hal ini dilakukan untuk mencari keseimbangan baru yang menjadikan fokus PT bergeser ke aspek kualitas akademik. Meski di awal pandemi, ada ruang toleransi yang longgar, tetapi ke depan, aspek ini perlu kembali mendapatkan perhatian serius. Kegiatan akademik lain, termasuk penelitian dan publikasi, harus tetap berjalan dengan baik, meski dengan beberapa keterbatasan karena mobilitas fisik yang tidak mudah lagi dilakukan.

Aspek keberlangsungan organisasi (termasuk di dalamnya kesehatan finansial), meski menempati peringkat buncit, tapi bukan berarti tidak penting. Tanpa ini, ketiga aspek lain di atas, tidak mungkin dijalankan dengan baik.

 

Aspek lain

Namun ada aspek lain yang jarang masuk radar: dampak pembelajaran daring terhadap roda ekonomi lokal. Nah, terkesan tidak berhubungan kan? Ketika pandemi dan sebagian besar mahasiswa pendatang ke kampung halaman, maka bahan bakar pemutar roda ekonomi lokal berkurang secara signifikan.

Kita simulasikan. Survei yang dilakukan oleh Bank Indonesia Yogyakarta menemukan bahwa pengeluaran bulanan setiap mahasiswa pendatang adalah Rp 3.028.850. Ini di luar biaya pendidikan yang dibayarkan ke PT yang proporsinya jauh lebih kecil. Cacah mahasiswa PTS di DIY yang terekam di LLDikti V adalah 260.000 lebih. Jika 70 persen (182.000) adalah mahasiswa pendatang dan 70 persen (127.400) darinya sekarang berada di kampung halaman, maka ada potensi pengurangan uang beredar Rp 385,87 miliar per bulan alias Rp 12,86 miliar per hari.

Terlihat sangat jelas hubungan antara pembelajaran daring dan melambatnya roda ekonomi lokal. Karenanya, dampak pandemi ke sektor pendidikan, bukan melulu masalah akademik, tetapi terkait sangat erat dengan masalah ekonomi.

Sebagian mahasiswa nampaknya harus menuntasnya studinya segera dan tidak semuanya dapat dijalankan secara daring. Mereka harus kembali secara fisik ke DIY. Populasi mahasiswa yang hadir secara fisik akan berangsur bertambah, meski dalam kecepatan yang lambat. Karenanya, ketika situasi sudah mengizinkan mahasiswa pendatang untuk kembali ke DIY, hal ini patut disambut dengan suka cita. Tidak hanya oleh warga kampus, tetapi juga oleh warga masyarakat.

 

Permanen

Di masa depan, pembelajaran daring dapat menjadi permanen. Atau paling tidak, durasi pelaksanaannya diperpanjang, karena sampai hari ini masih sulit untuk mengatakan pandemi di Indonesia sudah dapat dikendalikan. Tambahan cacah kasus terkonfirmasi masih belum turun secara konsisten. Bisa jadi di DIY sudah terkendali, tetapi mahasiswa yang kuliah di DIY berasal dari seluruh Indonesia dan bahkan mancanegara. Tentu kita semua berdoa pandemi segera sirna, tetapi isu ini harus dalam radar pengambilan keputusan.

PT yang akan menjalankan pembelajaran daring secara permanen nampaknya perlu memasukkan variabel ekonomi lokal. Tidak salah menyatakan bahwa alam akan membimbing kita kepada titik ekuilibrium baru, namun ikhtiar tetap harus dijalankan.

Ada dua pilihan. Pertama, pembelajaran daring menjadi substitusi atau pengganti pembelajaran luring, seperti yang selama masa pandemi dijalankan. Jika ini pilihannya, maka mahasiswa tidak perlu hadir secara fisik di kampus dalam sebagian besar masa studinya. Dampaknya terhadap perputaran roda ekonomi lokal akan sangat terasa.

Kedua, pembelajaran daring menjadi suplemen atau penambah. Ketika pandemi usai, pembelajaran luring tetap berjalan secara fisik. Namun, PT dapat menggunakan pembelajaran daring, selain untuk komplemen atau pelengkap pembelajaran luring, juga digunakan untuk memperluas basis mahasiswa. Singkatnya, pilihan ini sejalan dengan semangat demokratisasi pendidikan yang membuka akses lebih luas tanpa hadir secara fisik di kampus. Manfaat kehadiran PT akan semakin luas dan roda ekonomi lokal tetap berputar dengan baik. Ini pilihan yang paling masuk akal dan sekaligus sensitif dengan isu lokal.

Rasa-rasanya, tidak sulit membayangkan bahwa waktu itu akan tiba, dalam waktu yang tidak terlalu lama lagi. Masa depan memang bisa dimulai kapan saja.

Versi lebih ringkas tulisan ini telah dimuat di Kolom Analisis SKH Kedaulatan Rakyat, 16 Juli 2020.