, ,

Memadukan Agama, Rasionalitas dan Kemanusiaan

Ramadhan Dermawan - UII

Bagi umat muslim menjalankan ibadah puasa Ramadan di tengah pandemi Covid-19 tentu terasa berbeda, terlebih bila dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Karena segala aktivitas termasuk ibadah harus dilakukan di rumah untuk mencegah penyebaran virus semakin meluas. Tak sepenuhnya mengutuk keadaan pandemi seperti sekarang ini, disisi lain hal yang perlu kita sadari bahwa ada beberapa hikmah tersembunyi yang bisa kita petik dalam menjalankan ibadah puasa di masa pandemi Covid-19 ini.

Topik tersebut diangkat oleh Program Studi Pendidikan Agama Islam Universitas Islam Indonesia (UII) dalam sebuah kajian online bertemakan “Refleksi Ramadan di Tengah Pandemi: Memadukan Agama, Rasionalitas, dan Kemanusiaan,” pada Senin (18/5), disampaikan oleh Ustadz Supriyanto Abdi, S.Ag., M.CAA, dosen Program Studi Pendidikan Agama Islam UII.

Menurut Ustadz Supriyanto Abdi mengawali materinya banyak hikmah yang tersembunyi di dalam menjalankan ibadah puasa Ramadan. Yang pertama, Pentingnya Penguatan Kesadaran Ketuhanan. Salah satu hikmah tersembunyi dalam menjalankan ibadah puasa di bulan Ramadan adalah adanya sumber energi ganda/lebih besar untuk menyelami dan menjelajahi kesalaman spiritual kedirian.

“kita seperti mendapatkan energi ganda di dua sisi yaitu sisi di masa pandemi Covid-19 dan di masa Ramadan, keduanya sama-sama melengkapi dan memberi suasana yang bisa mendukung untuk penguatan kesadaran ketuhanan kita,” jelasnya.

Di samping itu Ustadz Supriyanto Abdi menyebutkan suatu istilah yang disebut Spiritual Distancing, istilah ini dimaknai dengan (jarak spiritual) yaitu dengan menjaga jarak antara jiwa kita dengan segala hal yang berbau kenikmatan material dan hasrat libidinal ketimbang pencerahan spiritual. Hal ini perlu kiranya kita terapkan dalam menjalani ibadah puasa Ramadan agar tidak menggoyahkan kekhusyuan sehingga menggapai esensi ibadah yang hakiki dan tidak menjadikan Ramadan dan lebaran sebagai rutinitas festival yang tak berbekas secara spiritual.

Kedua, Pentingnya penguatan nalar keagamaan yang rasional dan holistik. Musibah kemanusian merupakan takdir Allah yang tidak lepas dari hukum kausalitas (sebab-akibat) yang harus di analisis dengan seksama. Sehingga kita harus bijak dalam menyikapi ini dengan menunjukkan sikap rasional dengan menaati prosedur kesehatan yang ditetapkan oleh ahli kesehatan dan harus dibarengi dengan kesungguhan berdoa kepada Allah agar menghentikan musibah ini.

Ketiga, pentingnya penguatan kesadaran kemanusiaan. Wabah Covid-19 adalah ujian ketangguhan keimanan sekaligus sensitivitas kemanusiaan. Dari dua sisi ini, berpuasa di tengah pandemi ini menguji apakah kita sudah benar-benar beriman dan memiliki kepedulian kepada sesama. Dalam konteks ujian seperti ini, beragama di masa pandemi Covid-19 tidak bisa dilakukan secara egoistis. Misalnya, tetap bersikeras pergi ke masjid tanpa menghiraukan anjuran pemerintah dan seruan fatwa dalam upaya memutus mata rantai penyebaran virus.

Ia pun berpesan hakikat iman yang benar ialah saat orang lain merasa aman dan nyaman dengan kehadiran kita. Itulah makna bersatunya agama dan kemanusiaan. Beragama yang tidak mencelakakan orang lain dan tidak pula membuat orang lain merasa terancam karena agama diturunkan untuk membaawa rahmat bagi siapa saja di jagat raya (rahmatan lil ‘alamin). (HA/RS)