Meneladani Sosok K.H. Wahid Hasyim, Tokoh Pendiri UII

Pondok Pesantren Universitas Islam Indonesia (UII) menyelenggarakan Kajian Tokoh Pendiri UII yang bertajuk “K.H. Wahid Hasyim: Perjuangan, Peranan dan Keteladanan”, pada Ahad (5/11). Acara yang digelar di Aula Pondok Pesantren UII Putra, Condongcatur, tersebut ditujukan dalam mengkaji sejarah figur penting salah satu pendiri UII yang dahulu bernama Sekolah Tinggi Islam (STI), yakni K.H. Wahid Hasyim.

Ustaz Tajul Muluk, S.Ud., M.Ag., selaku Pengasuh Pondok Pesantren UII Putri, pada sambutannya menerangkan alasan penyelenggaraan kajian tokoh yang kini diabadikan sebagai nama Gedung Fakultas Ilmu Agama Islam (FIAI) UII tersebut direfleksikan dari slogan pesantren, yakni ikhlas mengabdi, ukir prestasi, dan melanjutkan semangat pendiri.

“Bagaimana kita tahu semangat pendiri kalau tidak kita coba untuk menggali seperti apa semangatnya. Bagaimana kiprah beliau, semangat beliau, peranan beliau dalam masa-masa perjuangan, baik untuk Republik Indonesia ataupun secara spesifik untuk UII,” ungkapnya.

Menurut Ustaz Tajul, cerita dari masa lalu memiliki keterkaitan dengan kehidupan di hari ini, sebab kebutuhan akan semangat dari orang-orang yang hidup di masa lalu. “Kesedihan-kesedihan Nabi Muhammad seringkali diobati oleh Allah dengan tasliyah-tasliyah pelipur lara tentang cerita-cerita masa lalu … default-nya manusia ini supaya berangkat dari sejarah. Supaya bisa, paling tidak, tidak kehilangan arah, juga bisa melanjutkan sejarah yang baik daripada orang-orang sebelum kita,“ jelasnya.

Lebih lanjut, Ustaz Tajul berharap agar berlangsungnya kajian tersebut dapat bermanfaat dan mengobarkan gairah serta semangat belajar segenap hadirin, terutama untuk para santri Pondok Pesantren UII yang dibina untuk menjadi kader ideologis UII.

“Yang diharapkan tumpuan besar dari UII itu yang melanjutkan untuk perjuangan para pendiri itu adalah santri-santri ini. Kalau kita belajar di tempat yang dirintis oleh orang-orang hebat, insyaallah kita kecipratan kehebatannya,” terangnya.

Pada diskusi tersebut, turut hadir Dr. K.H. Aguk Irawan, MN, penulis novel “Sang Mujtahid Islam Nusantara”. Kyai Aguk menyampaikan kiprah K.H. Wahid Hasyim sebagai salah satu figur penting pada masa menjelang dan setelah kemerdekaan, termasuk dari perannya di Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI) serta anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI).

Dalam perdebatan mengenai bentuk negara, disebutkan bahwa pidato K.H. Wahid Hasyim membawakan konsep dasar negara dari poin-poin pada Piagam Madinah (Shahifah al-Madinah) yang kemudian disepakati menjadi Piagam Jakarta.

“Poin-poin banyak sekali dipidatokan, kemudian dasar lima itu disepakati, termasuk yang pertama adalah yang alot itu yang pertama. Sebelum jadi Ketuhanan Yang Maha Esa, adalah Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya,” ungkapnya.

Lebih lanjut, Panji Kumoro, M.Phil., menyatakan bahwa salah satu yang membuat K.H. Wahid Hasyim spesial adalah ungkapan-ungkapan yang senantiasa beliau sisipkan di dalam buku harian. Satu di antaranya adalah mengenai peran dalam mencetak sejarah dengan menghadirkan bekas-bekas kebaikan yang dapat bertebaran hingga detik ini.

“‘Membaca sejarah, mempelajari sejarah itu penting. Akan tetapi, jauh lebih penting dari itu adalah membuat sejarah.’ Dan ternyata apa yang beliau tuliskan tersebut itulah yang kemudian menjadi takdir dan jalan hidup beliau,” tutur sejarawan Masjid Syuhada tersebut.

Menurutnya, pemikiran-pemikiran K.H. Wahid Hasyim yang brilian tidak hanya dipengaruhi proses belajar-mengajar dari guru maupun murid-murid beliau, namun juga terasah dengan proses dialektika dan perdebatan serta berinteraksi bersama para tokoh bangsa yang lain.

“Masa pergaulan beliau bertemu dengan dengan Soekarno, Maramis, kemudian Agus Salim, dan kemudian Hatta dan lain sebagainya. Tokoh-tokoh yang kemudian tidak hanya bermanis-manis dalam bertutur, tapi juga menggembleng ideologi beliau,” terangnya.

Selain itu, K.H. Wahid Hasyim juga melakukan pembaharuan pendidikan Islam dengan mendirikan Madrasah Nizamiyah di Pesantren Tebuireng yang mengajarkan ilmu-ilmu umum di samping ilmu agama. Mengingat pemahaman masyarakat pada masa itu, Ustaz Panji menilai bahwa inisiasi reformasi pendidikan oleh K.H. Wahid Hasyim sangat melampaui zaman.

“Kalau menggunakan kosa kata atau kemudian cara metode pengajaran Barat, jika menggunakan kacamata kaum Muslimin sebagian besar pada saat itu, ya ‘haram’ dan ‘kafir’ itu semuanya, termasuk membuat klasikal-klasikal, kelas-kelas seperti itu. Tapi pada saat itu beliau mampu kemudian berani menentang arus tadi,” sebutnya.

Hadir pula pada kajian tersebut, Direktur Pondok Pesantren UII, Dr. Tamyiz Mukharrom, M.A., Pengasuh Pondok Pesantren UII Putra, Dr. Suyanto, S.Ag., M.S.I., M.Pd., serta segenap santri putra maupun putri Pondok Pesantren UII. (JRM/RS)