Mengenang 15 Tahun Gempa DIY-Jateng

Mengenang 15 tahun gempa bumi Daerah Istimewa Yogyakarta dan Jawa Tengah, 27 Mei 2006 yang lalu, Simpul Pemberdayaan Masyarakat untuk Ketangguhan Bencana Universitas Islam Indonesia (SPMKB UII) mengadakan diskusi bersama Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Bantul.

Diksusi online melalui Zoom (26/5), dimoderatori Dr. Dwi Handayani, S.T., M.Sc., selaku Kepala SPMKB UII. Seperti diketahui, gempa bumi telah mengguncang Yogyakarta dan Jawa Tengah dengan kekuatan 5,9 skala Richter pukul 05.53 WIB. Bencana ini menimbulkan kerusakan pada konstruksi rumah maupun bangunan. Bahkan korban yang meninggal dunia mencapai 5.800 orang dan 20.000 orang mengalami luka-luka.

Dalam sambutannya, Wakil Rektor Bidang Networking dan Kewirausahaan UII Ir. Wiryono Raharjo, M.Arch., Ph.D., mengaku baru pertama kali mengalami gempa terparah di tahun 2006. Menurutnya, meski gempa bumi terjadi begitu dahsyat namun tampaknya sekarang banyak orang yang telah melupakan kejadian bersejarah tersebut. Padahal baginya proses rehabilitasi dan rekonstruksi setelah bencana itu menjadi perbincangan menarik. “Walaupun kita berharap tidak terjadi lagi, tapi dari bencana gempa itu kita perlu terus belajar dan bangkit agar siap menghadapi bencana ke depan dengan persiapan penuh,” ujarnya.

Dosen Program Studi Arsitektur UII ini menambahkan bahwa gempa bumi telah menghancurkan kota Yogyakarta dan sebagian daerah Jawa Tengah. Adanya rasa kepedulian dan persaudaraan yang tinggi antara warga Yogyakarta dan Jawa Tengah, beberapa bulan setelah terjadinya gempa, Kota Yogyakarta dan Jawa Tengah kembali dibangun. Antar tetangga saling membantu dalam membangun tempat tinggal. Ia berharap, UII terus berkomitmen menjadi kampus yang tanggap dan siap berkontribusi dalam menghadapi setiap bencana yang dialami negeri Indonesia, melalui SPMKB UII salah satunya.

Rektor UII periode 2006-2010; 2010-2014 Prof. Dr. Edy Suandi Hamid, M.Ec. mengaku memiliki memori dan pengalaman sendiri selama terjadi bencana gempa bumi 2006. Di waktu itu, is harus memimpin delapan fakultas di lima lokasi yang berbeda. Masa itu, dirinya harus merespon setiap dampak gempa bumi secara cepat, mulai dari para mahasiswa UII yang menjadi korban, mobilisasi sumber daya, alokasi dana kampus untuk bantuan para korban. Terlebih 2006 juga sudah sering terjadi erupsi Merapi.

“Saya seperti bernostalgia. Subuh itu banyak orang berteriak, gelas pecah berjatuhan, buku di rak jatuh. Tapi saya masih berpikir positif karena jam 8 pagi nya ada wisuda pertama yang saya pimpin setelah tujuh hari menjabat. Di jalan menuju kampus saya lihat banyak korban dan bangunan runtuh, waktu itu saya belum mendengarkan radio dan membuka internet,” katanya dengan raut wajah sedih.

Mantan Rektor UII yang sekarang menjabat sebagai Rektor Universitas Widya Mataram ini melanjutkan kisahnya. Sampai di kampus, sudah banyak calon wisudawan dan keluarganya sudah berkumpul. Akhirnya diadakan rapat dadakan, dan diputuskan wisuda tetap berlangsung dengan cepat. ” Wisuda berjalan karena ada beberapa wali mahasiswa sudah datang dari Aceh yang belum lama dilanda gempa dan tsunami juga. Jika wisuda ditunda, mereka mengaku belum tentu dapat ke Jogja lagi karena ongkos pesawat,” ceritanya.

Sementara pembicara berikutnya, Dosen UII sekaligus Pengarah BNPB RI, Inventor & Inovator BARRATAGA (R) & SIMUTAGA (R) Prof. Ir. Sarwidi, MSCE., Ph. D. A-Utama menjelaskan bahwa bencana gempa bumi tidak dapat ditunda terjadinya. Ketika banyak orang persiapan menghadapi erupsi Merapi, namun tiba-tiba muncul gempa bumi yang super dahsyat di Yogyakarta dan Jawa Tengah. Ia mengaku selama hidupnya, baru tahun 2006 mengalami gempa terbesar.

Dalam menghadapi bangunan yang runtuh akibat gempa itu, ia harus menggunakan teori-teori yang lebih detail dibandingkan runtuhan bangunan biasa. Cara melihat apakah terjadi gempa besar atau ringan di setiap daerah dapat dilihat dari bangunan yang ada di daerah tersebut. Jika banyak bangunan utuh maka tidak terlalu besar goncangan bumi di daerah itu. Sebaliknya, jika banyak runtuhan maka gempa yang terjadi sangat kencang.

“Selama terjadi gempa, yang terpenting adalah keselamatan diri dan keluarga kita. Jika ada rumah masih kokoh dapat difungsikan dulu untuk keselamatan dan kesehatan korban yang luka. Selain pemerintah yang turut tangan, institut dan kampus juga harus berkontribusi,” ujarnya.

Di sisi lain, Kepala Badan Penanggulangan Bencana Kabupaten Bantul Drs Dwi Haryanto, M.Si, menyampaikan bahwa pemulihan pasca bencana gempa bumi di Kabupaten Bantul relatif cepat. Adanya sikap “nrima lan pasrah” atau “menerima dan pasrah” pada diri masyarakat Bantul lah yang menjadi kekuatan dalam bertahan dan saling membantu. Selain itu, proses pemulihan didorong juga dengan produk hukum mengenai penanggulangan bencana. Produk hukum tersebut diantaranya, UU Nomor 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, Peraturan Presiden No. 8 tahun 2008 tentang BNPB, serta Peraturan Kepala BNPB Nomor 3 tahun 2008 dan Permendagri No. 46 tahun 2008 terkait pembentukan BPBD di tingkt provinsi dan kabupaten.

Demi menghadapi bencana bencana yang mungkin terjadi lagi, Dwi Haryanto menyebut telah melakukan beberapa kajian kebencanaan di wilayah Kabupaten Bantul. Setelah terjadi bencana gempa bumi 2006, Bantul telah melahirkan 37 Kelurahan Tangguh Bencana, 27 Sekolah telah memenuhi Kriteria Satuan Pendidikan Aman Bencana, 78 Kelurahan telah memiliki forum PRB, serta telah diberi edukasi mengenai penanggulangan bencana dimulai dari level keluarga. “Bencana alam terjadi di luar kendali kita, yang ada dalam kendali kita adalah sikap kita dalam menghadapi bencana tersebut,” tutupnya. (SF/RS)