Mengkaji Dugaan Pelanggaran HAM Tiongkok atas Pandemi Covid-19

covid-19

Dunia masih berperang menghadapi pandemi virus corona (Covid-19). Bahkan Tiongkok yang merupakan tempat awal mula kejadian ini pun bersiap menghadapi kemungkinan pandemi ke-2. Namun, tuntutan demi tuntutan terus dilontarkan terhadap Tiongkok atas merebaknya pandemi. Sebuah organisasi non-pemerintah di India menjadi salah satu pihak yang meminta Dewan Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk mengusut dugaan pelanggaran oleh Tiongkok atas merebaknya pandemi Covid-19 secara global.

Hal itu turut disinggung Eko Riyadi, S.H., M.H. selaku Direktur Pusat Studi HAM (PUSHAM) UII dalam diskusi daring bertema “Peluang Memanfaatkan Mekanisme HAM PBB untuk Menangani Pandemi Covid-19”. 

Ia berpendapat bahwa pihak yang menuding Tiongkok melakukan pelanggaran HAM harus bisa membuktikan pelanggaran tersebut. Hal ini sejalan dengan asas actori incumbit probatio yang artinya siapa yang mendalilkan maka dia harus membuktikan.

“Berdasarkan kasus ini pelanggaran yang dikenakan mengarah kepada hak atas kesehatan, di mana hak yang dilanggar disi ialah negara secara sengaja (commission) atau gagal (omission) memenuhi kewajiban positifnya menyediakan layanan kesehatan dan prasyarat dasar kesehatan”, ungkapnya.

Tidak hanya itu, Tiongkok telah lama dituding melanggar kebebasan berekspresi, yang secara sengaja atau gagal menjalani kewajiban negatifnya dalam melindungi kebebasan mencari, menerima atau menyebarkan ide dan informasi. Tuduhan tersebut muncul lantaran otoritas Tiongkok dinilai lambat dalam memberikan informasi serta protokol kesehatan mengenai Covid-19 kepada WHO. Keterlambatan atau kelalaian tersebut menyebabkan WHO juga terlambat dalam memberikan peringatan kepada negara lain.

Bunyi tuntutan yang dilemparkan oleh All India Bar Association (AIBA) kepada Dewan HAM PBB adalah adequately compensate the national community and member state and particularly India,  for surreptitiously developing a biological weapon capable of mass destruction of mankind throughout world and also for serious physical, psychological, economic and social harm caused to these states due to the inaction and negligence to respec the international obligations as provided

“Memberikan kompensasi yang memadai bagi komunitas nasional dan negara anggota dan terutama India, karena secara diam-diam mengembangkan senjata biologis yang mampu menghancurkan umat manusia secara massal di seluruh dunia dan juga untuk kerusakan fisik, psikologis, ekonomi dan sosial yang serius yang disebabkan oleh negara-negara ini karena tidak adanya tindakan dan kelalaian untuk merespons kewajiban internasional sebagaimana ditentukan”.

Adapun pelanggaran yang dituduhkan organisasi non-pemerintah itu meliputi gangguan masyarakat, kegiatan berbahaya yang tidak normal, pelanggaran tugas, memungkinkan transmisi Covid-19, menimbun peralatan pelindung pribadi. 

Sementara itu, Prof. Dr. Sefriani, S.H., M.Hum selaku guru besar Hukum Internasional FH UII menilai tuntutan-tuntutan tersebut memiliki bukti yang tidak akurat dikarenakan hanya berdasarkan pada apa yang disampaikan oleh media global berbasis di Amerika Serikat seperti New York Times dll. 

Kasus ini dibawa oleh International Council of Jurist (ICJ) ke Dewan HAM PBB dikarenakan sulitnya mekanisme penyelesaian sengketa dalam Hukum Internasional. Hampir semua mekanisme penyelesaian sengketa ini dalam Hukum Internasional mensyaratkan kesepakatan bersama kedua belah pihak yang bersengketa untuk tidak memilih mekanisme tersebut. (MRA/ESP)