Bisakah Keadaan Kahar Berlaku untuk Pandemi Covid-19?

Informasi pandemi - berita UII

Hingga saat ini pandemi Covid-19 telah ditetapkan sebagai bencana nasional. Hal itu mengacu pada Keputusan Presiden (Keppres) Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2020 tentang Penetapan Bencana Non-Alam Penyebaran Coronavirus Disease 2019 (COVID-19). Imbas yang terjadi atas ditetapkannya Keppres tersebut menyebabkan beberapa aktifitas terhambat. Akibatnya tidak sedikit orang yang gagal memenuhi hak dan kewajiban masing-masing hingga salah satunya harus memberikan ganti rugi. Inilah yang disebut dengan force majeure atau keadaan kahar.

Force Majeure merupakan istilah dari bahasa Prancis, sedangkan dalam bahasa Belanda dikenal sebagai Overmacht, sehingga pengertian secara bahasa Indonesia artinya keadaan kahar. Menurut istilah, keadaan kahar adalah peristiwa atau akibat yang tidak dapat diantisipasi (tidak terduga) atau dikendalikan secara wajar.

Menanggapi hal itu, dosen FH UII Dr. Siti Anisah, S.H., M.Hum membahasnya secara daring yang difasilitasi Pusat Studi Hukum FH UII. Menurutnya, pandemi telah mempengaruhi masing-masing pihak dengan cara yang berbeda.

“Ada yang memiliki kemungkinan untuk memperoleh pemulihan, ada yang telah mempersiapkan tindakan preventif untuk itu. Untuk menetapkan apakah pandemi Covid-19 adalah peristiwa Force Majeure harus dilakukan berdasarkan kasus per kasus, kecuali kontrak dengan jelas mencantumkan bahwa pandemi salah satu dari force majeure”, ujarnya.

Force Majeure dalam Burgerlijk Wetboek ditemukan dalam pasal 1244, dimana di dalamnya terdapat kata “harus” yang artinya bahwa pasal tersebut tidak dapat disimpangi. Adapun unsur-unsur yang harus dipenuhi dalam keadaan memaksa, debitur tidak memenuhi prestasi, ada sebab yang terletak di luar kesalahan debitur yaitu terjadinya peristiwa yang menghalangi, dan faktor penyebab tidak dapat diduga sebelumnya dan tidak dapat dipertanggungjawabkan kepada debitur.

Overmacht / Force Majeure tidak hanya dikenal dalam ranah hukum saja, namun juga dikenal di bidang lain seperti ekonomi, sosial, dan sebagainya. Namun konsep Force Majeure sendiri dalam ranah hukum belum memiliki unifikasi konsep, sehingga menimbulkan berbagai macam konsep dan variasi Force Majeure dalam berbagai macam bidang hukum.

Sementara itu, pembicara lain Dr. Suparman Marzuki, SH, M.Si menyampaikan, “Saat ini Indonesia sedang menghadapi wabah, sehingga berbagai macam regulasi dibuat untuk menenangkan kondisi masyarakat. Namun, pembuatan regulasi tersebut ternyata terkesan tidak adanya kesiapan dalam tata aturan pembuatan regulasi sehingga memberikan kesan yang cukup ganjil”.

Ia menambahkan di tengah kesulitan ini jangan sampai adanya pemanfaatan terhadap Force Majeure. Misalnya, dengan penerapan PSBB ataupun social distancing, banyak dari masyarakat mengalami keterbatasan dalam melaksanakan aktivitasnya yang menyebabkan kurangnya pemenuhan pokok sehari-hari.

Sebagai contoh, seseorang mencuri dikarenakan kebutuhan pangan saat ini sudah cukup sulit untuk dicari dan jika tidak mendapatkannya akan mengalami kelaparan. Maka ia akan mencuri atau menghalalkan segala cara agar kebutuhan pangannya terpenuhi. Dapatkah alasan tersebut berlandaskan Force Majeure? Jika alasan tersebut dibenarkan, bukankah hal itu bisa menimbulkan kerusuhan?

“Jika seperti yang sudah dikaitkan dengan munculnya implikasi yang sudah merambah ke segala penjuru, maka dapat timbul skenario penyelewengan hukum dapat dilaksanakan dengan beralaskan asas Force Majeure ini”, pungkasnya. (MRA/ESP)